Senin, 08 November 2010

KONSEP DAN TEORI KURIKULUM

TEORI KURIKULUM
Teori kurikulum adalah suatu perangkat pernyataan yang memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut terjadi karena adanya penegasan hubungan antara unsure-unsur kurikulum, karena adanya petunjuk perkembangan/penggunaan dan evaluasi kurikulum.
Konsep terpenting yang perlu mendapat penjelasan dalam teori kurikulum adalah konsep kurikulum.
1. Konsep kurikulum
Konsep terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori kurikulum adalah konsep kurikulum. Ada tiga konsep tentang kurikulum, kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang studi.
a. Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi:
Suatu kurikulum, dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.
b. Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem:
Yaitu sistem kurikulum. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara me­nyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyem­purnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
c. Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi:
Yaitu bidang studi kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan percobaan, mereka menemukan hal-hal barn yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.
Seperti halnya para ahli ilmu sosial lainnya, para ahli teori kurikulum juga dituntut untuk:
(1) mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari istilah-istilah teknis,
(2) mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah ada dalam pengetahuan-pengetahuan baru,
(3) melakukan penelitian inferensial dan prediktif,
(4) mengembangkan sub­subteori kurikulum, mengembangkan dan melaksanakan model-model kurikulum.
Keempat tuntutan tersebut menjadi kewajiban seorang ahli teori kurikulum. Melalui pencapaian keempat hal tersebut baik sebagai subtansi, sebagai sistem, maupun bidang studi kurikulum dapat bertahan dan dikembangkan.
http://www.facebook.com/profile.php?id=100000529106035

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA TAKSONOMI BLOOM DAN KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(Oleh : Dedi Hendra, Ab)
A. Konsep Taksonomi Bloom
1. Pengertian
Taksonomi berasal dari bahasa Yunani tassein berarti untuk mengklasifikasi dan nomos yang berarti aturan. Taksonomi berarti klasifikasi berhirarkhi dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Semua hal yang bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian- sampai pada kemampuan berpikir dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi (http://en.wikipedia.org/wiki/Bloom%27s_Taxonomy).
Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh Benjamin Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan. Konsep ini mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
2. Tujuan Pendidikan Taksonomi Bloom
Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.[1]
Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain,[2] yaitu :
  1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
  2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
  3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu: cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, dan pengamalan.
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.
B. Konsep Pendidikan dalam Perspektif Islam
1. Dalil Al-Qur’an
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ {125}
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Berdasarkan ayat diatas kita mendapatkan tiga konsep dasar yang menjadi pedoman dalam dalam melakukan pendidikan, dengan kata lain pendidikan dituntut untuk bisa mencapai kepada tiga aspek tersebut, guna untuk mendapatkan hasil pendidikan yang sesuai dengan harapan.
1. Al-Hikmah
Kata  الحكمةberasal dari bahasa arab, dari wazan  حكم yang mempunyai arti  صار حكيما (Menjadi seorang Hakim) .[3] kata Al-hikmah juga bisa berarti العلم  (pengetahuan), keadilan, falsafah, kebijaksanaan, dan uraian yang benar [4]. Al-hikmah berarti mengajak kepada jalan Allah dengan cara keadilan dan kebijaksanaan, selalu mempertimbangkan berbagai faktor dalam proses belajar mengajar, baik faktor subjek, obyek, sarana, media dan lingkungan pengajaran. Pertimbangan pemilihan metode dengan memperhatikan audiens atau peserta didik diperlukan kearifan agar tujuan pembelajaran tercapai dengan maksimal. Imam Al-Qurtubi menafsirkan Al-hikmah dengan “kalimat yang lemah lembut”. Beliau menulis dalam tafsirnya :
وأمره أن يدعو إلى دين الله وشرعه بتلطف ولين دون مخاشنة وتعنيف, وهكذا ينبغي أن يوعظالمسلمون إلى يوم القيامة[5]
Artinya : Nabi diperintahkan untuk mengajak umat manusia kepada “dienullah” dan syariatnya dengan lemah lembut tidak dengan sikap bermusuhan. Hal ini berlaku kepada kaum muslimin seterusnya sebagai pedoman untuk berdakwah dan seluruh aspek penyampaian termasuk di dalamnya proses pembelajaran dan pengajaran. Hal ini diinspirasikan dari ayat Al-Qur’an dengan kalimat “qaulan layinan”. Allah berfirman :

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan lancar manakala ada interaksi yang kondusif antara guru dan peserta didik. Komunikasi yang arif dan bijaksana memberikan kesan mendalam kepada para siswa sehingga “teacher oriented” akan berubah menjadi “student oriented”. Guru yang bijaksana akan selalu memberikan peluang dan kesempatan kapada siswanya untuk berkembang.
Al-Hikmah dalam tafsir At-Thobari adalah menyampaikan sesuatu yang telah diwahyukan kepada nabi, dan Ath-Thobari menguraikan :
[6]يقول بوحى الله الذى يوحيه اليك, وكتابه الذى نزله عليك  بالحكمة
Hal ini hampir senada dengan Mustafa Al-Maroghi bahwa Al-Hikmah cenderung diartikan sebagai sesuatu yang diwahyukan. [7] Demikian pula dalam tafsir Al-Jalalain Al-hikmah diartikan dengan Al-Qura’nul kariem sebagai sesuatu yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. An-Naisaburi menegaskan bahwa yang dimaksud Al-hikmah adalah tanda atau metode yang mengandung argumentasi yang kuat (Qoth’i) sehingga bermanfaat bagi keyakinan. Beliau menulis :
بالحكمة ) اشارة الى استعمال الحجج القطعية المفيدة لليقين[8])
Nampak dengan gamblang sebenarnya yang dimaksud adalah sebuah metode penyampaian ilmu (transfer of knowlead ) dengan lemah lembut, tetapi juga tegas dengan mengunakan alasan-dalil dan argumentasi yang kuat sehingga dengan proses ini para peserta didik memiliki keyakinan dan kemantapan dalam menerima materi pelajaran serta memiliki pengetahuan yang bermanfaat dan berharga bagi dirinya, serta merasa memperoleh ilmu yang berkesan dan selalu teringat sampai masa yang akan datang.
2. Mauidzah Hasanah
Mauidzah Hasanah terdiri dari dua kata “al-Mauidzah dan Hasanah”. Al-mauidzah dalam tinjauan etimologi berarti “pitutur, wejangan, pengajaran, pendidikan, sedangkan hasanah berarti baik. Bila dua kata ini digabungkan bermakna pengajaran yang baik. Ibnu Katsir menafsirkan Al-mauidzah Hasanah sebagai pemberian peringatan kepada manusia, mencegah dan menjauhi larangan sehingga dengan proses ini mereka akan mengingat kepada Allah. Ibnu Katsir menulis sebagai berikut :
والموعظة الحسنة أي بما فيه من الزواجر والوقائع بالناس ذكرهم بها ليحذروا بأس الله تعالى[9]
At-Thobari mengartikan mauidzah hasanah dengan “Al-ibr al-jamilah” yaitu perumpamaan yang indah berasal dari kitab Allah sebagai hujjah, argumentasi dalam proses penyampaian.[10] Pengajaran yang baik mengandung nilai-nilai kebermanfaatan bagi kehidupan para siswa. Mauidzah hasanah sebagai prinsip dasar melekat pada setiap da’i (guru, ustadz, mubaligh) sehingga penyampaian kepada para siswa lebih berkesan. Siswa tidak merasa digurui walaupun sebenarnya sedang terjadi penstransferan nilai.
Al-Imam Jalaludin Asy-Syuyuti dan Jalaludin Mahali mengidentikan kata “Al-Mauidah” itu dengan kalimat مواعظه أو القول الرقيق artinya perkataan yang lembut [11]. Pengajaran yang baik berarti disampaikan melalui perkataan yang lembut diikuti dengan perilaku hasanah sehinga kalimat tersebut bermakna lemah lembut baik lagi baik.
Dengan melalui prinsip mauidzoh hasanah dapat memberikan pendidikan yang menyentuh, meresap dalam kalbu sehingga seorang peserta didik tidah hanya memiliki kecerdasan otak akan tetapi juga memilki kecerdasan spiritual.
3. Mujadalah
Kata mujadalah berasal dari kata “jaddala” yang makna awalnya percekcokan dan perdebatan[12]. Kalimat “jaddala” ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya dalam surat Al-Kahhfi ayat 54 (وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلً), dalam surat Az-Zukhruf ayat : 56, (َقَالُوا أَآلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ). Kalimat “jadala” dengan berbagai variasinya juga bertebaran dalam Al-Qur’an, seperti pada surat (2:197), (4:107,109), (6:25, 121), ( 7 : 71), ( 11:32,74), (13:13), (18:54,56(, (22:8,68), Bahkan ada surat yang bernama “Al-Mujaadilah” (perempuan-perempuan yang mengadakan gugatan) Mujadalah dalam konteks dakwah dan pendidikan diartikan dengan dialog atau diskusi sebagai kata “ameliorative” berbantah-bantahan. Mujadalah berarti menggunakan metode diskusi ilmiyah (ketrampilan)yang baik dengan cara lemah lembut serta diiringi dengan wajah penuh persahabatan sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah SWT[13].
Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirmya bahwa mujadalah ini adalah cara penyampaian melalui diskusi dengan wajah yang baik kalimat lemah lembut dalam berbicara, yang seperti firman  Allah:

إلى فرعون في قوله “فقولا له قولا ولا تجادلوا أهل الكتاب إلا بالتي هي أحسن إلا الذين ظلموا منهم” الآية
فأمره تعالى بلين الجانب كما أمر به موسى وهارون عليهما السلام حين بعثهما لينا لعله يتذكر أو يخشى[14]
           
Metode penyampaian ini dicontohkan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ketika berdialog-diskusi dan berbantahan dengan Fir’aun. Sedangkan hasil akhirnya dikembalikan kepada Allah SWT. Sebab hanya Allahlah yang mengetahui orang tersebut mendapat petunjuk atau tidak.
Metode diskusi yaitu cara penyampaian bahan pelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bisa memiliki ketrampilan dalam membicarakan, menganalisa guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternative pemecahan masalah. Dalam kajian metode mengajar disebut metode “hiwar” (dialog). Diskusi memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para siswa untuk mengeksplor pengetahuan yang dimilikinya kemudian dipadukan dengan pendapat siswa lain. Satu sisi mendewasakan pemikiran, menghormati pendapat orang lain, sadar bahwa ada pandapat di luar pendapatnya dan disisi lain siswa merasa dihargai sebagai individu yang memiliki potensi, kemampuan dan bakat bawaannya.
2. Tujuan Pendidikan Islam [15]
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan dalam Al-quran (Islam) ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat az- Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.

3. ANALISIS
Dari hasil analisa perbandingan tentang konsep tujuan pendidikan dalam Al-Quran dengan Taksonomi Bloom, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan tentang konsep tujuan pendidikan tersebut, yang meliputi :
1. Proses pendidikan itu itu harus dengan “Al-Hikmah” dalam arti seorang pendidik harus memiliki ilmu yang mempuni untuk diajarkan kepada anak didiknya serta bijaksana dalam melakukan proses pendidikan itu sendiri demi untuk terpenuhinya kebutuhan kognitif peserta didik tersebut.
2. Seorang pendidik harus memilki sifat yang baik dan lembut (Mauidzah Hasanah), serta dalam proses belajar mengajar harus senantiasa melalui pendekatan psikologis guna untuk implementasi terhadap peserta didik dalam menumbuhkan kecerdasan Afektifnya.
3. Dalam proses belajar mengajar seorang guru harus memiliki kreatifitas serta keahlian, yang dapat disalurkan kepada anak didiknya guna untuk menumbuh kembangkan potensi yang dimilki oleh seorang anak dalam mengembangkan kreatifitasnya (Psikomotorik). Misalnya dengan cara ; diskusi (Mujadalah) dan lainnya.
4. Teori Taksonomi Bloom yang diusung oleh Barat tersebut ternyata telah terlebih dulu di ungkapkan dalam Al-quran, dan pantas teori ini di diklaim sebagai Teori Timur(Islam).







[1]. http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom

[2]. Ibid
[3]. Al-munjid fi al-Lughah wa al-A’lam,Al-Maktabah As-Syarqiyyah Dar al-Masyriq,Beirut.Cet ke 41,Thn.2005.hal:726. Pendapat ini penulis ambil dengan maksud bahwa, antara lughah dan kalimat terdapat kesamaan dalam arti dan tujuan penekanan makna sebagaimana yang akan diterangkan selanjutnya dalam pengertian bahasa arab.
[4]. Husen Al-Habsy, Kamus Arab Lengkap, ( Bangil : YAPPI, 1989), hlm. 64
[5]. Imam Al-Qurtubi., Loc.,Cit,.
[6]. Ja’far Muhmaad ibn Jarir Ath-Thobarii, Tafsir Ath-Thobari ; Jami’ul Bayan Ta’wilul Qur’an, ( Bairut-Libanon : Darul kutubul Ilmiuah, 1996), hlm. 663.
[7]. Al-Mustofa Al-Maroghi, Loc.Cit,
[8] An-Naisaburi, Tafsir Ghoroibil Qur’an wa roghoibil Furqon, ( Bairut-Libanon : Darul kutubul Ilmiuah, 1996), hlm. 316
[9]. Ibnu Katisr., Loc., Cit.
[10] Ath-Thobari, Loc. Ci
[11] Jalaludin Asy-Syuyuti dan Jalaluddin Mahalli, Loc., Cit.
[12] Husen Al-HAbsyi., Op.Cit., hlm. 43
[13]. Imam Al-Baidhowi, Tafsir Al-Baidhowi ; Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil ( Bairut-Libanon : Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1408 H/1988M), hlm. 571. Nama lengkap Al-Imam Al-Baidwowi adalah Nashiruddin Abi said Ibn Umar Muhammad ASy-yaeroji Al-Baidhowi
[14]. Ibnu Katsir., Loc.,Cit.
[15]. Ahmad Tafsir., Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam., PT. Remaja Rosdakarya., Bandung, 2001

Jumat, 05 November 2010

PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN

Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain. 

Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”

Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.

Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.

Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.

Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.

Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik. 

PAULO FREIRE

Paulo Freire (Politik Pendidikan;1999): “panggilan sejati manusia (Man’sontological Vocation) itu adalah menjadi pelaku, bukan penderita yangsadar, yang bertindak mengatasi dunia dan realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Manusia adalah penguasa atas dirinya, maka panggilan manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas”.
Tanggal 2 Mei bangsa Indonesia mengenalnya dengan hari pendidikan Nasional. Apakah tujuannya hanya untuk mengenang tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara? Saya pikir tidak, ada yang lebih dari itu, bagaimana bangsa ini selalu diingatkan tentang realiatas dunia pendidikan dari masa ke masa.
Saya ingin mengingatkan bahwa bangsa ini mempunyai suatu tujuan yang mulia tentang rakyatnya, bagaimana pendiri bangsa ini merumuskannya dalam pembukaan UUD 1945 sebagai suatu tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak hanya itu bangsa ini mengaturnya dalam UU sistem pendidikan nasional, UU no 20 tahun 2003 tersurat dengan jelas bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Berdasarkan pada UU yang telah di buat dan langsung melihat pada kenyataan dilapangan, maka saya akan berkata bahwa saya kecewa dengan bangsa ini dalam hal pendidikan. Kewajiban pemerintah dalam hal menyelenggarkan pendidikan dasar pun saat ini masih sangat jauh dari harapan.
Saya pernah beberapa kali melakukan penelitian lapangan ke daerah, keluar dari Jakarta, yang ada adalah keperihatinan saya terhadap sarana pendidikan yang ada di daerah, saya pernah berada di pinggiran laut di Sidorajo, sebuah daerah pertambakan, sarana sekolah hanya ada gedung SD yang terbuat dari kayu, sarana sekolah lanjutannya harus kekota dan itu membutuhkan waktu yang lama itupun dengan ojek dan masih banyak anak yang berusaha untuk sekolah dengan menumpang mobil truk pasir. Memperihatinkan. Kondisi di pingiran Sidoarjo ini tidak jauh berbeda ketika saya berada di kepulauan Riau, Pulau Tebing Tinggi, dan Tanah Grogot, Kalimantan Timur. Hal yang disebutkan di atas merupakan sesuatu yang dapat saya lihat, bicara pendidikan dari sisi sarana. Bagaianmana jika kita melihat pendidikan Indonesia dari sisi kualitas pendidikannya?
Mengungkapkan mengenai apa yang ditelah dihasilkan secara kualitas, maka saya akan berkata kualitas pendidikan nasional kita adalah kualitas pendidikan Indonesia hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada saat ini menurut pendapat saya hanya membuat anak didik itu pintar akan tetapi tidak cerdas. Seperti yang diungkapkan oleh DR.Arief Rahman, Pakar pendidikan, bahwa pelaksanaan pendidikan di Indonesia dinilai “malas” untuk mengukur hal-hal yang lebih bersifat holistik. Selama ini penilaian terhadap anak didik hanya berdasarkan kecerdasan intelektual (kepintaran), bukan pada aspek-aspek lain seperti Spiritual, Emosional, Sosial maupun Jasmani.
Pembunuhan kreatifitas dan berkarya dalam pola yang terjadi di sistem pendidikan Indonesia lebih disebabkan karena adanya paradigma dalam pemerintah yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang saat ini sedang gencar-gencarnya di Indonesia. Indikator kepintaran yang dipakai menurut pendapat saya merupakan bentuk eksploitasi pemikirin dari anak didik, sehingga yang terjadi adalah penjejalan ilmu sebagai suatu barang jadi. Sistem pendidikan ini dalam pandangan Paulo Freire disebut dengan “sekolah model bank”. Sekolah model bank’ adalah istilah Freire untuk sekolah-sekolah formal pada umumnya yang seolah menabung dan menjejali ilmu pengetahuan sebagai barang jadi bagi para murid. Dalam sekolah model bank ini murid hanya penerima pasif dari ilmu yang sudah jadi, baku, dan tidak menyentuh kehidupan nyata sehari-hari mereka.
Jika pendidikan dibiarkan hanya mengunakan indikator kepintaran, seperti Ujian-ujian yang dilaksanakan, mengukur seorang mahasiswa dari Indek Prestasi (IP), maka itu menurut saya merupakan bentuk eksploitasi, bentuk pendidikan yang menindas bukan pendidikan yang membebaskan. Saya tidak keberatan IP menjadi ukuran, akan tetapi bukan hanya IP, harus diukur secara holistik semuanya, seperti apa yang diungkapkan DR. Arif Rahman.
Pendidikan janganlah dibiarkan menjadi suatu yang komersil, kalau seperti ini maka pendidikan hanyalah bagi mereka yang mempunyai ekonomi yang kuat, sedangkan bagi mereka yang miskin pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Saya sangat merasakan bahwa pendidikan di indonesia itu sulit di jangkau oleh masyarakat miskin, dan pendidikan semakin meminggirkan kaum kelas bawah. Sebaiknya kita harus mulai bertanya kepada penguasa negeri ini, sudahkan mereka mereka membaca dan memahami serta mengimplementasikan apa yang telah diamanatkan olehfounding father dalam UUD 1945 tentang tujuan negara ini…?
Paulo Freire menawarkan suatu alternatif mengenai pendidikan yang membebaskan bukan suatu pendidikan yang menindas. Solusi yang ditawarakan Paulo Freire, terlebih untuk mengatasi problema penindasan adalah model pendidikan yang membebaskan yang disebutnya sebagai konsientisasi(kesadaran). Konsientisasi mengacu pada proses dimana manusia, bukan sebagai resipen tetapi sebagai subyek yang mengetahui, menyadari secara mendalam kenyataan sosio-kultural yang membentuk kehidupan mereka dan kemampuan untuk merubah kenyatan itu sendiri.
Pola pemikiran Paulo Freire ini tentang kesadaran ini tidak terlepas dari pengaruh teologi pembebasan di Amerika Latin. Bagaimana para rohaniawan itu meninggalkan kemapanan gedung paroki untuk tinggal dikampung kumuh guna menghayati kemiskinan dan seraya mengajak masyarakt untuk belajar memperjuangkan haknya, yang pada akhirnya menjadi suatu pemikiran dan gerakan tersendiri yang di kenal dengan Teologi Pembebasan.
Paulo Freire tidak hanya berpikir tentang alternatif pendidikan yang membebaskan tapi juga turun langsung ke masyarakat menghabiskan waktunya beberapa tahun di Guenia-Bissau, Afrika Barat, untuk bersama-sama belajar bersama masyarakat dan mencari sistem pendidikan yang sesuai bagi kondisi khas masyarakat tersebut. Saya berpendapat bahwa kita dapat belajar dari apa yang dipikirkan serta yang dilakukan oleh Paulo Freire, kalau memang kita (kaum intelektual dan kelas menengah) merasa terpanggil untuk melakukan pembebasan, maka aksinya tidaklah dilakukan di atas menara gading yang steril.

Al-Raji

A. Biografi
Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria Ibn Yahya Al-Razi Lahir di Rayy, suatu kota di Teheran, pada tanggal satu Sya’ban 251 H/856 M. Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang, atau lebih mungkin sebagai pemain kecapi. Awalnya ia meninngalkan musik untuk belajar alkimia kemudian ketika berumur tiga puluh atau empat puluh ia meninggalkan alkimia, karena matanya terserang penyakit akibat ekperimen yang dilakukannya. Itulah yang menyebabkan ia mencari dokter dan obat-obatan bahkan ia mempelajari ilmu kedokteran. Ia belajar ilmu kedokteran dari ‘Ali ibn Rabban Al-Thabari, beliau adalah seorang  dokter sekaligus filosof.
Al-Razi Pernah menjabat sebagai direktur rumah sakit di kota kelahirannya (Rayy). Kemudian juga direktur rumah sakit di Bagdad. Ia terkenal di barat dengan nama Rhazes dan buku-bukunya tentang kedokteran. Karangannya yang terkenal ialah “ Tentang Cacar dan Campak” yang di terjemahkan dalam berbagai bahasa di Eropa.[1]
Sepulangnya dari Bagdad, ia kembali ke Rayy dan disana ia mempunyai banyak murid. Sebagai mana yang di tuturkan al- Nadim dalam Fihrist,bahwa al-Razi kemudian menjadi syekh  “dengan kepala besar menyerupai karung” yang di kelilingi oleh banyak murid.[2]
Al- Razi adalah orang yang murah hati, sayang pada pasien-pasiennya, dermawan kepada orang-orang miskin, karena itu ia memberikan pengobatan sepenuhnya tanpa meminta bayaran sedikitpun. Jika tidak bersama murid dan pasiennya, ia selalu menghabiskan waktunya untuk menulis dan belajar.[3] Mungkin ini yang menyebabkan penlihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya ia menjadi buta. Ada yang mengatakan sebab kebutaanya karena banyak makan buncis (Baqilah)[4]Penyakitnya bermula dari rabun  dan akhirnya menjadi buta sama sekali. Ia pun menolak untuk di obati. Dan mengatakan bahwa pengobatan itu akan sia-sia belaka, karena sebentar lagi ia akan meninggal dunia. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 M.[5]
B. Filsafatnya Tentang Lima Kekal
Al-Razi adalah seorang rasionalis murni. Ia mempercayai hanya akal, di bidang kedokteran, studi klinis yang dilakukannya telah menghasilkan metode yang kuat tentang penemuan yang berpijak pada observasi dan eksperimen. Hal ini juga terbukti dari karangannya yang di terjemahkan oleh E.G. Browne dalam ArabianMedicine, ia menerjemahkan satu halaman yang mungkin di ambil dari hawi. Bunyi terjemahan tersebut ialah:
“Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyak manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh,dan yang tersembunyi dari kita…..dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahguan tertinggi yang dapat kita peroleh…..Jika akal sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh melecehkannya; kita tidak boleh menentukannya, sebab Ia adalah penentu, atau mengendalikannya, sebab Ia adalah Pengendali, atau memerintahnya, sebab Ia adalah pemerintah; tapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya; kita harus sesuai dengan perintahnya”.[6]
a.       Filsafat Lima Kekekalan
Filsafatnya yang terkenal denagan doktrin lima yang kekal; Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang Absolut, dan Zaman Absolut, dalam bahasa Arab :َالبَارِى تَعَالَى وَالنَّفْسُ الْكُلِّيَةِ وَالْهَيُوْ لاَ الاُوْلَى وَالْمَكَانُ الْمُطْلَقْ وَالزَّمَانُ المُطْلَقُ
Mengenai yang terakhir ia membuat perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu diantaranya (al-dahr, duration) dan (al-waqt, time). Yang pertama kekal dalam arti tidak bermula dan tak berakhir, dan yang kedua disifati oleh angka. Dia juga mengatakan dalam kemaujudan lima hal berikut adalah perlu: kesadaran bahwa materi terbentuk oleh susunan; ia berkaitan dengan ruang, karena itu harus ada ruang (tempat); pergantian bentuknya merupakan kekhasan waktu, karena ada yang dahulu dan ada yang berikut, dan karena waktu, maka ada kekunoan dan kebaruan, adanya kelebihtuaan dan kelebihmudaan; karenanya waktu itu perlu. Dalam kemaujudan, terdapat kehidupan, karena itu musti ada ruh? Dan dalam hal ini; mesti ada yang dimengerti dan hukum yang mengaturnya harus sepenuhnya sempurna; karena itu, dalam kenyataan ini, harus ada pencipta, yang bijaksana, mahatau, melakukan segala sesuatu sesempuna mungkin, dan memeberikan akal sebagai bekal mencari keselamatan.[7]
Dua dari yang lima kekal itu hidup dan aktif, Tuhan dan Roh. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, ruang dan masa.
Bagi benda (being) kelima hal ini ada;[8]
1.      Materi; merupakan apa yang bisa ditangkap dengan panca indra tentang benda itu.
Menurut al-Razi kemutlakan materi pertama terdiri atas atom-atom. Setiap atom mempunyai volume; kalu tidak, maka dengan pengumpulan atom-atom itu, tidak dapat dibentuk. Bila dunia di hancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Dengan demikian, materi berasal dari kekekalan, karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan.
Apa yang lebih padat menjadi unsur bumi (tanah), apa yang renggang dari unsur bumi menjadi unsur air, apa yang lebih renggang lagi menjadi unsur udara, dan yang jauh lebih jarang lagi menjadi unsu api.
Al-Razi memberikan dua bukti untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi. Pertama, penciptaan adalah bukti; dengan demikian mesti ada penciptanya. Apa yang diciptakan itu ialah materi yang terbentuk. Tetapi, mengapa kita membuktikan bahwa Pencipta ada terlebih dahulu dari apa yang dicipta ? dan bukannya yang diciptakan itu yang lebih dahulu ada ? bila benar bahwa wujud tercipta (atau lebih tepat: dibuat (masnu’) ) dari sesuatu dari kekuatan agen, maka kita dapat mengatakan, apabila agen ini kekal dan tak dapat di ubah denagan kehendak-Nya, maka yang menerima tindak kekuatan ini tentu kekal sebelum ia menerima tindak tersebut.[9]
Bukti kedua berlandaskan ketidakmungkinan penciptaan dari ketiadaan. Penciptaan, katakanlah, yang membuat sesuatu dari ketiadaan, lebih mudah daripada menyusunnya. Diciptakannya manusia oleh Tuhan dalam sekejap lebih mudah daripada menyusun mereka dalam empat puluh tahun. Ini adalah premis pertama. Pencipta yang bijak tidak lebih menghendaki melaksanakan apa yang lebih jauh dari tujuan-Nya daripada yang lebih dekat, kecuali apabila Dia tidak mampu melakukan apa yang lebih mudah dan lebih dekat. Ini adalah premis kedua. Kesimpulan dari premis-premis ini adalah bahwa keberadaan segala sesuatu pati disebabkan oleh pencipta dunia lewat penciptaan dan bukan lewat penyusunan. Tetapi apa yang kita lihat terbukti sebaliknya. Segala sesuatu di dunia ini dihasilakan oleh susunan dan bukan oleh penciptaan. Bila demikian  maka, Ia tidak mampu menciptakan dari ketiadaan, dan dunia ini wujud melalui susunan sesuatu yang asalnya adalah materi.[10]
2.      Ruang; kerena materi menagambil tempat.
Sebagaimana telah dibuktikan bahwa materi itu kekal, dan karena materi menempati ruang, maka ada ruang yang kekal. Alasan ini hampir serupa dengan alasan al-Iransyahri. Tetepi al-Iransyahri mengatakan bahwa ruang merupakan kekuasaan nyata tuhan. Al- Razi tak mengikuti definisi kabur gurunya. Bagi dia, ruang adalah tempat keberadaan materi.
Menurt al-Razi ruang ada dua macam: ruang universal atau mutlak, dan ruang tertentu atau relatif. Yang pertama tak terbatas, dan tidak bergantung kepada dunia dan segala yang ada di dalamnya.
Kehampaan ada di dalam ruang, dan karenanya, ia berada di dalam materi. Sebagai bukti dari ketidakterbatasan ruang, al-Iransyahri dan al-Razi mengatakan, bahwa wujud yang memerlukan ruang tidak dapat maujud tanpa adanya ruang, meski ruang bisa maujud tanpa adanya wujud tersebut. Ruang tak lain adalah tempat bagi wujud-wujud yang membutuhkan ruang. Yang berisi keduanya, yaitu wujud, atau bukan wujud. Bila wujud, maka ia harus berada di dalam ruang, dan di luar wujud ini adalah ruang atau tiada-ruang; bila tiada-ruang, maka ia adalah wujud dan terbatas. Bila bukan wujud, ia berarti ruang. Karenanya, ruang itu tak terbatas, bila orang berkata bahwa ruang mutlak ini tak terbatas, maka ini berarti bahwa batasannya adalah wujud. Karena setiap wujud itu berbatas, sedang setiap wujud berada di dalam ruang, maka ruang bagaimanapun tak terbatas. Yang tak terbaatas itu adalah kekal, karenanya ruang itu kekal.[11]
3.      Zaman; karena meteri berubah-ubah keadaannya, dan perubahan menandakan zaman, maka zaman itu mesti kekal  pula kalau materi kekal.
Zaman (waktu) merupakan substansi yang mengalir (jauhar yajri). Al-Razi menentang merka (Aristoteles dan para pengikutnya) yang berpendapat bahwa waktu adalah jumlah gerak benda, karena jika demikian, maka tidak mungkin bagi dua benda yang bergerak untuk bergerak dalam waktu yang sama dengan dua jumlah yang berbeda.
Al-Razi membagi waktu menjadi dua macam, yaitu: waktu mutlak dan waktu terbatas (mahsyur). Waktu mutlak adalah keberlangsungan (al-dahr). Ia kekal dan bergerak. Sedang waktu terbatas adalah gerak lingkungan-lingkungan, matahari dan bintang-gemintang. Bila anda berfikir tentang gerak keberlangsungan, maka anda dapat membayangkan waktu mutlak, dan ia itu kekal. Jika anda membayangkan gerak bola bumi, berarti anda membayangkan waktu terbatas.[12]
4.      Diantara benda-benda yang ada hidup dan oleh karena itu perlu ada roh. Dan diantara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciptaan-ciptaan yang teratur[13].
5.      Semua ini perlu ada Pencipta Yang Mahabijaksana lagi Mahatau (Tuhan).
Kebijakan Tuhan itu maha sempurna. Ketidaksengajaan tidak dapat di sifatkan kepadan-Nya. Kehidupan berasal darinya sebagaimana  sinar datang dari matahari. Ia mempunyai kepandaian sempurna dan murni. Tuhan menciptakan sesuatu, tiada bisa menandingi-Nya, dan tak sesuatupun yang dapat menolak kehendaknya.
C. Filsafatnya Tentang Roh dan Materi
Sungguhpun materi pertam kekal, alam tidak kekal. Alam diciptakan Tuhan, bukan dalam arti creatio ex nihilio (penciptaan dari tidak ada), teapi dalam arti di susun dari bahan yang telah ada. Menurut al-Razi, Tuhan pada mulanya tidak beniat membuat alam ini. Tetapi pada suatu ketika, keabadian yang lain yaitu roh tertarik dan mencintai materi pertama, bemain dengan materi pertama itu, tetapi materi pertama berontak. Tuhan menolong roh dengan membentuk alam ini dalam susunan yang kuat sehingga roh dapat mencari kesenangan materi didalamnya.
Tuhan tahu bahwa pengikatan ini merupakan sebab kejahatan, tetapi setelah hal itu terjadi, Tuhan mengarahkan ke jalan yang yang sebaik mungkin. Akan tetapi beberapa kejahatan tetap ada; sumber seluruh kejahatan, susunan roh dan materi ini sepenuhnya tak dapat di murnikan.[14]
Tuhan mewujudakan manusia dan di dalamnya mengambil tempat. Terikat pada materi, roh lupa pada asalnya dan lupa bahwa kesenangannya yang sebenarnya bukan terletak dalam persatuan dengan materi tetapi dalam melepaskan diri dari materi. Oleh karena itu mewujudkan akal, yang berasal dari zat Tuhan sendiri. Tugas akal ialah untuk menyadarkan manusia yang telah terpedaya oleh kesenangan materi, bahwa alam materi ini bukanlah alam yang sebenarnya. Alam yang sebenarnya dan kesenangan sebenarnya berada di luar alam materi dan alam itu dapat di capai hanya dengan falsafat. Roh akan tetap tinggal di alam materi ini, selama ia tidak dapat menyucikan diri dengan falsafat. Apakah dalam bentu reingkarnasi atau dalam bentuk pindah dari suatu planet ke planet yang lain, seperti pendapat alkindi, tidak jelas. Tetapi kalau seluruh roh sudah bersih, seluruhnya akan kembali ke alam asalnya. Pada ketika itu alam materi akan hancur, dan roh dan materi kembali ke asalnya semula. Alam ini adalah terbatas dan hanya satu, dan di luar alam terdapat tuhan.[15]
D. Filsafatnya Tentang Rasio dan Agama
Al-Razi adalah seorang rasionalis murni yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan perlunya nabi-nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini.
Manusia dalam pendapatnya, pada dasarnya mempunyai daya beerfikir yang sama besarnya, dan perbedaan timbul karena berlainan suasana perkembangannya.
Para nabi menurut pendapatnya, membawa kehancuran bagi manusia, dengan ajaran-ajaran mereka yang saling bertentangan. Bahkan ajaran-ajaran itu menimbulkan perasaan benci-membenci diantara umat manusia yang terkadang meningkat menjadi peperangan agama.
Semua agama ia kritik. Orang tunduk agama, menurut pendapatnya, karena tradisi, kekeuasaan yang ada pada pemuka-pemuka agama, dan karena tertarik pada upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa rakyat yang sederhana dalam pemikiran. Quran baik dalam bahasa dan gaya manapun dalam isi tidak merupakan mukjizat. Al- Razi lebih mementingkan buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan daripada buku-buku agama. Teteapi sungguhpun ia menentang agama pada umumnya, ia bukan seorang ateis, malahan seorang monoteis yang percaya pada adanya satu Tuhan, sebagai penyusun dan pengatur alam ini.
Dalam falsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, ia memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali pada Tuhan dengan meninggalkan alam materi. Untuk kembali ke Tuhan roh harus terlebih dahulu di sucikan dan yang dapat menyucikan roh ialah ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Pemahaman al-Razi dekat menyerupai zahid (زَاهِدْ) dalam hidup kebendaan. Tetapi ia menganjurkan moderasi, jangan terlalu mencari kesenangan. Manusia harus menjauhi kesenangannya yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya manusia jangan pula sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri.
Kesimpulan
Al-Razi tidak mempunyai tidak memiliki sistem filsafat yang teratur, tetapi melihat masa hidupnya, ia mesti dipandang sebagai pemikir yang tegar dan liberal di dalam islam, dan mungkin di sepanjang sejarah pemikiran manusia.
Ia adalah seorang rasiaonalis murni, sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala prasangka, dan sangat berani dalam mengemukakan gagasannya tanpa tedeng aling-aling.
Ia mempercayai manusia, kemajuan, Tuhan Mahabijak, tetapi ia tidak mempercayai agama manapun.
PUSTAKA
Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisme dalam Islam.
Syarif,ed. Para Filusuf Islam. Bandung: Mizan,1996.