Senin, 31 Januari 2011

Kerajaan Sumedang Larang


Sejarah  Kerajaan Sumedang Larang (kini kabupaten sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti kerajaan padjajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (kerajaan Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.
No. Masa[1] Tahun
1 Kerajaan Sumedang Larang 900 - 1601
2 Pemerintahan Mataram II 1601 - 1706
3 Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) 1706 - 1811
4 Pemerintahan Inggris 1811 - 1816
5 Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie 1816 - 1942
6 Pemerintahan Jepang 1942 - 1945
7 Pemerintahan Republik Indonesia 1945 - 1947
8 Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda 1947 - 1949
9 Pemerintahan Negara Pasundan 1949 - 1950
10 Pemerintahan Republik Indonesia 1950 - sekarang

Asal-mula nama

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

Pemerintahan berdaulat

No.
Nama[1] Tahun
1
Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang

a Prabu Guru Aji Putih 900

b Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela 950

c Prabu Gajah Agung 980

d Sunan Guling 1000

e Sunan Tuakan 1200

f Nyi Mas Ratu Patuakan 1450

g Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata 1530 - 1578

h Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya 1578 - 1601
2
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II

a R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I 1601 - 1625

b Pangeran Rangga Gede 1625 - 1633

c Pangeran Rangga Gempol II 1633 - 1656

d Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III 1656 - 1706
3
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang

a Dalem Tumenggung Tanumaja 1706 - 1709

b Pangeran Karuhun 1709 - 1744

c Dalem Istri Rajaningrat 1744 - 1759

d Dalem Anom 1759 - 1761

e Dalem Adipati Surianagara 1761 - 1765

f Dalem Adipati Surialaga 1765 - 1773

g Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) 1773 - 1775

h Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775 - 1789

i Dalem Aria Sacapati 1789 - 1791

j Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata 1791 - 1800

k Bupati Republik Batavia Nederland 1800 - 1810

l Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte 1805 - 1810

m Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte 1810 - 1811

n Bupati Masa Pemerintahan Inggris 1811 - 1815

o Bupati Kerajaan Nederland 1815 - 1828

p Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung 1828 - 1833

q Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit 1833 - 1834

r Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 - 1836

s Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih 1836 - 1882

t Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah 1882 - 1919

u Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang 1919 - 1937

v Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri 1937 - 1942

w Bupati Masa Pemerintahan Jepang 1942 - 1945

x Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia 1945 - 1946
4
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia

a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946 - 1947
5
Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia

a Raden Tumenggung M. Singer 1947 - 1949
6
Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan

a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1949 - 1950
7
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia

a Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) 1950

b Raden Abdurachman Kartadipura 1950 - 1951

c Sulaeman Suwita Kusumah 1951 - 1958

d Antan Sastradipura 1958 - 1960

e Muhammad Hafil 1960 - 1966

f Adang Kartaman 1966 - 1970

g Drs. Supian Iskandar 1970 - 1972

h Drs. Supian Iskandar 1972 - 1977

i Drs. Kustandi Abdurahman 1977 - 1983

j Drs. Sutarja 1983 - 1988

k Drs. Sutarja 1988 - 1993

l Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra 1993 - 1998

m Drs. H. Misbach 1998 - 2003

n H. Don Murdono,SH. Msi 2003 - 2008

o H. Don Murdono,SH. Msi 2008 - 2013

Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
  1. Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
  2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
  3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
  4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
  5. Santowaan Cikeruh.
  6. Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
  1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
  2. Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi
  3. Kiyai Kadu Rangga Gede
  4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
  5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
  6. Raden Ngabehi Watang
  7. Nyi Mas Demang Cipaku
  8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
  9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
  10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
  11. Nyi Mas Rangga Pamade
  12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
  13. Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
  14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
  15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Pemerintahan di bawah Mataram

Dipati Rangga Gempol

Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubahnya menjadi 'kebupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dipati Rangga Gede

Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Dipati Ukur

Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggung jawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.

Pembagian wilayah kerajaan

Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian[2]:
  • Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
  • Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
  • Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wadana Bupati (kepala para bupati) Priangan.

Peninggalan budaya

Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.

Sabtu, 01 Januari 2011

NAPAK TILAS SEJARAH JAWA BARAT

BAGIAN SATU


Dinamika Istilah Sunda dan Jawa Barat
Sebelum lebih jauh menelusuri sejarah Jawa Barat, ada beberap hal yang sedari awal mesti disikapi secara arif—terutama—ketika istilah Jawa Barat dan Sunda berada dalam satu topik pembahasan. Apalagi dalam konteks otonomi daerah yang bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di wilayah Jawa Barat penyandingan kedua istilah tersebut dinilai kurang tepat. Tanpa bermaksud memperuncing klaim beberapa pihak yang berbeda pendirian dalam menyikapi pemakaian istilah Jawa Barat dengan istilah Sunda. Perlu kiranya diawal bab ini dituturkan terlebih dahulu mengenai bagaimana perkembangan pengertian, kedudukan dan relasi dari kedua istilah tersebut. Hal ini penting mengingat secara historis keduanya telah mengalami perubahan pengertian dan tafsiran yang tidak jarang menimbulkan kebingungan dan keragu-raguan dalam penggunaannya.
Salah seorang sejarawan R.W. van Bemmelen [1949] berpandangan bahwa Sunda merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar [circum-Sunda Mountain System] yang panjangnya sekitar 7.000 km. Dataran Sunda tersebut terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian utara yang meliputi Kepulauan Fhilipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat mulai Maluku bagian selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam [India].
Dengan demikian, bagian selatan hingga dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan yang dimulai dari Pulau Banda di timur hingga ke arah barat melalui pulau-pulau di Kepulauan Sunda Kecil [the Lasser Sunda Islands] yang di dalamnya termasuk pulau Jawa, Sumatera, Kepulauan Andaman, dan Nikobar samapai ke Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini bersambung dengan kawasana sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Shul di timur [Bemmelen, 1949:2-3]. Selain itu, dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula terminologi Sunda Besar dan Sunda Kecil. Pemakaian terminlogi Sunda Besar ditujukan pada deretan pulau yang berukuran besar. Di antaranya: Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merujuk pada pulau-pulau yang berukuran kecil, seperti, Provinsi Bali, Nusa Tenggara, dan Timor [Bemmelen, 1949: 15-16].
Istilah Sunda yang mengacu pada pengertian wilayah di bagian barat pulau Jawa muncul pertama kalinya pada abad 11 Masehi dengan ditemukannya prasasti di desa Cibadak, kabupaten Sukabumi yang mencatat istilah tersebut. Dalam prasasti yang berangka tahun 952 Saka—sama dengan tahun 1030 Masehi—itu termaktub pengakuan Sri Jayabhupati yang menyebut dirinya sebagai raja kerajaan Sunda [Pleyte, 1916: 201-218].
Meski dalam prasasti Sri Jayabhupati itu tidak disebutkan waktu berdirinya kerajaan Sunda, informasi mengenai siapa pendiri pertama kerajaan Sunda bisa ditemukan dalam sumber sekunder yang tertuang dalam naskah Nagarakretaabhumi. Jika merujuk sumber yang satu ini, maka dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda didirikan pertama kali oleh Maharaja Tarusbawa [Pleyte, 1914: 257-280]. Dalam naskah yang berbahasa Sunda Kuno itu tercatat bahwa Maharaja Tarusbawa memerintah pada tahun 591-645 Saka yang bertepatan dengan tahun 669/670-723/724 Masehi. Keberadaan Maharaja Tarusbawa disinyalir sebagai penerus raja-raja Tarumanagara [Atja dan Ayatrohaedi: 1986: 157, 227]. Berpijak dari data ini, maka—untuk sementara—bisa disimpulkan bahwa kerajaan Sunda berdiri pada akhir abad ke-7 Masehi atau abad ke-8 Masehi.
Selain prasasti dan naskah di atas, pemakaian istilah Sunda untuk menandai sebuah nama kerajaan atau wilayah bisa dilacak juga dari prasasti Kabantenan yang ditemukan di Bekasi. Dalam prasasti itu dikemukakan adanya tempat (dayeuhan) yang bernama Sunda-sembawa, di samping  tempat  lain yang bernama jayagiri. Kedua tempat  itu berada di wilayah Kerajaan Sunda [Sutaarga, 1984:33]. Menurut Saleh Danasasmita kemungkinan yang dimaksud dengan dayeuhan bernama Sundasembawa itu adalah nama daerah mandala, sebuah daerah suci tempat ritual keagamaan. [Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986: 2-7].
Lebih dari itu, kita juga bisa membaca empat naskah berbahasa Sunda Kuno lainnya yang dibuat pada akhir abad ke-15 atau abad ke-16 Masehi. Adapun keempat naskah itu adalah: [1] Carita Parahiyangan [Atja, 1967], Sanghyang Siksakanda Ng Karesian [Atja & Saleh Danasasmita, 1977], Sewaka Darma [Danasasmita et.al., 1987], dan Bujangga Manik [Noorduyn, 1982: 413-442]. Keempat naskah ini menyebut nama wilayah Sunda bersama atau dalam hubungan dengan nama wilayah lain, seperti Jawa, Lampung, Baluk, dan Cempa. Menurut data dari naskah yang disebut terakhir juga dijelaskan tentang batas wilayah Sunda dengan wilayah Jawa, yaitu Sungai Cipamali—sekarang Kali Pemali—yang berdekatan dengan Brebes. Hal ini bisa terbaca dari tulisan, “sadatang ka tungtung Sunda, meu[n]tasing di Cipamali, datang ka alas Jawa,” yang berarti, “setibanya di ujung [wilayah] Sunda lalu menyeberangi sungai Cipamali, maka sampailah di tanah Jawa.” [Noorduyn, 1982: 415]. Perbatasan wilayah Sunda juga diabadikan dalam tradisi lisan Sunda berupa pantun lakon Ciung Wanara yang kisahnya diakhiri dengan sumpah dan kesepakatan antara dua tokoh  utama kakak-beradik, yaitu Ciung Wanara dan Hariang Banga, bahwa mereka akan menyudahi pertengkaran dan bersepakat untuk membagi wilayah kekuasaan di Pulau Jawa atas dua bagian, Sunda dan Jawa dengan menjadikan Sungai Cipamali sebagai batas kedua wilayah itu. Selain itu keduanya juga sepakat untuk secara turun temurun akan memerintah di wilayah kerajaan masing-masing yaitu Ciung Wanara di Pajajaran [Sunda] dan Hariang Banga di Kerajaan Majapahit [Jawa]. Lebih lanjut diceritakan bahwa Ciung Wanara pergi ke barat sambil berpantun, sedngkan Hariang Banga pergi ke timur sembari menembang [Pleyte, 1911:85-134; 1913: 281-428]. Menurut Edi S. Ekadjati ada sebuah naskah yang ditulis di Sumedang pada tahun 1846 yang masih menyakatakan bahwa batas Kerajaan Sumedanglarang—penerus Kerajaan Sunda—di sebelah timur adalah Lépén [Sungai] Pemali [Ekadjati, 1984: 100, 336, 339].
Sementara itu, keberadaan Kerajaan Sunda disaksikan oleh beberapa orang Portugis pada awal abad ke-16 Masehi. Kesksian pertama diberikan oleh Tome’ Pires, seoran gPortugis yang mengadakan perjalanan keliling Kepu lauan Nusantara dengan menggunakan kapal laut pada ahun 1513 M. Dalam ekspedisi itu. Pires antara lain mengunjungi pesisir utara pulau Jawa dan mampir  di beberapa kota pelabuhan, termasuk kota-kota pelabuhan yan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Menurutnya, pada waktu itu kerajaan Sunda menempati wilayah yang disebut tanah Sunda. Masih menurut Pires, tanah Sunda terpisah dengan tanah Jawa yang batasnya ditandai dengan keberadaan sungai Cimanuk yang sekaligus merupakan kota pelabuhan yang terletak dimuara sungai. Kota pelabuhan ini merupakan bagian ujung imur wilayah Kerajaan Sunda. Sedangakan kota pelabuhan Cirebon yang terletak di sebelah timur Cimanuk, dianggap tidak terasuk wilayah kerajaan Sunda [Cortesao, 1944:166-174]. Dari sini kita bisa menangkap bahwa Tome’ Pires ingin mengatakan wilayah kekuasaan kerajaan Sunda itu meliputi wilayah dari Cimanuk ke barat sampai daerah Banten.
Pemetaan wilayah yang dilakukan Pires terhadap Sunda dan Jawa hanya didasarkan pada segi geografis, bahasa dan agama saja, tanpa memperhatikan kondisi daerah pedalaman dan masa lalu daerah itu. Mungkin Pires tidak sempat mengamati keadaan daerah pedalaman seperti Galuh yang pada saat dirinya melakukan ekspedisi masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Hal ini bisa dimaklumi mengingat  ekspedisi yang dilakukannya sepintas lalu. Meski demikian dalam catatannya, Pires mengungkapkan bahwa pada saat itu di wilayah pesisir sedang terjadi proses perubahan wilayah kekuasaan, penduduk, dan agama [Ekadjati, 1995: 5-6]. Selain Pires ada beberapa orang Portugis lainnya yang juga mengunjungi bagian barat pulau Jawa, seperti De Barros bersama rombongan yang dipimpin Henriques de Leme menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Sunda berada di pedalaman yang disebutnya Dayo [Raffles, 1817: xxii; Hageman, 1867: 210-215, 227-228; Djajadiningrat, 1913: 73-79].
Beberapa karangan sejarah sejak abad ke-19 Masehi yang ditulis R. Friederich, K.F. Holle, C.M Pleyte, maupun H.Ten Dam yang menyebut Pajajaran sebagai sebuah nama kerajaan Sunda merujuk pada istilah atau kata yang termaktub dalam prasasti Batutulis, cerita pantun, dan tradisi lisan. Sementara itu jika mengacu pada pendapat Sutaarga [1984:49-53] dan Ayat  Rohaedi [1986] yang mengatakan bahwa Pajajran atau lebih lengkapnya Pakwan Pajajaran adalah nama ibu kota kerajaan, bukan nama kerajaannya. Hal ini dikarenakan ibu kota Kerajaan Sunda mengalami beberapa kali perpindahan [Galuh, Pakwan, Kawali, Saunggalah, Pakwan Pajajaran], maka untuk menunjuk periode tertentu kerajaan Sunda, disebut nama ibu kotanya. Dengan kata lain kerajaan Sunda yang dimaksud para sejarawan tadi adalah masa kerajaan Sunda yang beribu kota di Pakwan Pajajaran. Sebuah periode kerajaan Sunda yang gemilang namun sekaligus merupakan moment keruntuhannya.
Naskah lain yang bisa kita rujuk sebagai bahan pengetahuan mengenai kerajaan Sunda bisa dilacak dari sumber yang berasal dari Jawa ketika kerajaan Majapahit berkuasa, yang selalu menyebut kerajaan atau wilayah bagian barat pulau Jawa itu adalah Sunda. Dalam naskah Pararaton, misalnya, yang bertutur tentang kerajaan Singosari dan Keraajan Majapahit, menyebutkan Sunda sebagai kerajaan yang berdiri sendiri dengan struktur hirarki sebagaimana layaknya sebuah kerajaan. Dalam naskah ini pula terungkap peristiwa yang disebut Pasunda Bubat [Brandes, 1896: 28-29; Kern, 1920: 36-37] atau perang Bubat yang melibatkan pertempuran antara pengiring raja Sunda dengan pasukan Majapahit di daerah Bubat di dekat sungai yang lokasinya tidak jauh dari ibu kota Majapahit. Pertempuran itu tak terhindarkan karena penolakan Prabu Maharaja, sebagai Raja Sunda [1350-1357 terhadap keinginan Gajah Mada sebagai Patih Majapahit, yang hendak mempersunting putri Raja Sunda bernama Dyah Pitaloka untuk dijadikan istri Hayam Wuruk, raja Majapahit [1350-1589]. Peritiwa perang Bubat itu kemudian dituangkan dalam karya sastra Jawa berjudul Kidung Sunda [Berg, 1927 : 1-161; 1928 : 9-33] dan juga dalam naskah Nagarakretabhumi dari Cirebon. Sedangkan dalam naskah Negarakretagama karangan Mpu Prapanca, seorang Pujangga keraton Majapahit pada masa Hayam Wuruk mash berkuasa [1364] tidak sediktipun menyinggung perang Bubat. Tidak disinggungnya peristiwa Pasunda Bubat dalam naskah yang disebut terakhir itu, menurut dugaan Pigeaud [1962 :36, 291] berdasarkan asumsi Mpu Prapanca bahwa tragedi itu bisa mengganggu ketenteraman batin raja Hayam Wuruk.
Beberapa naskah yang berasal dari Jawa sejak jaman Majapahit [abad ke-17 Masehi] cenderung menyebut Pajajaran sebagai nama kerajaan di bagian barat pulau Jawa. Tak jauh berbeda dengan sumber yang berasal dari Cirebon dan Banten sesudah abad ke-18 M, yang hampir selalu menyebut Pajajaran—bukan Sunda lagi—sebagai  nama kerajaan yang berada di bagian barat pulau Jawa. Menurut Edi S. Kajati [1995 : 7] penyebutan itu juga kemungkinan banyak dipengaruhi oleh tradisi lisan yang berkembang di tatar Sunda sendiri.
Kekalahan dalam perang Bubat menandai awal keruntuhan kerajaan Sunda pada tahun 1957 dan mengakibatkan terpecahnya beberapa wilayah yang pada masa Prabu Maharaja merupakan wilayah kesatuan dari otoritas kerajaan Pakwan Pajajaran. Beberapa wilayah tersebut adalah : Sumedanglarang, Banten, Cirebon, dan Galuh. Hanya saja  Sumedanglarang dan Galuh memfusikan wilayahnya dan memakai Priangan untuk menyebut wilayahnya [Haan, 1910, 1912]. Tahapan berikutnya, bekas wilayah kerajaan Sunda itu disebut dengan Tanah Sunda atau Tatar Sunda atau Pasundan [Walbeen, 1857; Haeman, 1867, 1869, 1870; Chips, 1886]. Namun dalam perkembangan selanjutnya nama Priangan dipandang sebagai pusat tanah Sunda [Pasoendan, 1925].
Istilah Sunda juga dipakai ketika merujuk pada sebuah komunitas masyarakat yang lebih tenar dengan sebutan urang Sunda [orang Sunda]. Dalam konteks ini ada dua kriteria pengertian orang Sunda. Pertama, kriteria yang berdasarkan hubungan darah atau keturunan. Dalam hal ini urang Sunda itu berarti orang yang mengakui dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda [Warnaen et.al., 1987 : 1]. Kedua, kriteria yang berdasarkan faktor sosial dan budaya, yang berarti orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma serta nilai-nilai budaya Sunda.
Bagi sebagian komunitas yang tinggal di daerah pesisir, seperti penduduk Cirebon, orang Sunda biasa disebut urang gunung, wong gunung, dan tiyang gunung yang berarti orang gunung [ENI, IV, 1921; Rosidi, 1984; 129 Adiwilaga, 1975]. Tampaknya, anggapan yang mengatakan bahwa pusat Tanah Sunda berada di Priangan yang merupakan daerah pegunungan dengan puncak-puncaknya yang relatif tinggi, menjadi alasan bagi orang-orang pesisir untuk menyebut orang Sunda dengan orang Gunung. Hal ini diperkuat sebagian pendapat yang menyatakan bahwa peranan orang Sunda di daerah pesisir sejak akhir abad XVI sudah berakhir dan beralih ke daerah pegunungan atau pedalaman.
Istilah Sunda juga seringkali disandingkan dengan istilah kebudayaan yang berarti sebuah kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda dan umumnya berdomisili di Tatar Sunda. Dalam bangunan kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia, kebudayaan Sunda digolongkan ke dalam kebudayaan daerah seperti yang termaktub dalam UUD 1945, terutama penjelasan pasal 32 dan pasal 36.
Selain itu, ada juga yang menggunakan istilah Sunda dalam kaitannya dengan kepentingan pemetaan. Dalam topografi “The Hammond World Atlas” [1980: 82] tertera kalimat Sunda Island yang artinya Kepulauan Sunda dan digunakan sebagai sebutan bagi  seluruh kepulauan yang ada di Nusantara. Hal ini masih sejalan dengan peta yang pernah dibuat oleh Portugis dan Belanda di masa lalu yang membagi Nusantara menjadi dua gugusan kepulauan: Kepulauan Sunda Besar [Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi] dan Kepulauan Sunda Kecil [Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur].
Sementara itu, seperti sudah menjadi anggapan umum dan tercatat dalam banyak literatur bahwa istilah Jawa Barat diambil dari terjemahan West Java. Beberapa sejarawan, seperti Edi S. Ekadjati berpendapat bahwa penggunaan istilah West Java dimulai pada abad XIX Masehi yang momentumnya bertepatan dengan jatuhnya Pulau Jawa ke tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai bagian dari strategi mereka dalam memantau wilayah jajahannya dan sekaligus untuk kepentingan administrasi mereka.
Pembagian teritorial Pulau Jawa menjadi tiga daerah militer oleh penguasa Hindia Belanda dinilai strategis untuk memudahkan militer Belanda dalam mematahkan perlawanan yang tak jarang terjadi dibeberapa daerah. Lebih-lebih pasca terjadinya Perang Dipenogoro [1825-1830] mendorong mereka untuk memecah kesatuan Pulau Jawa menjadi Daerah Militer I West Java, Daerah Militer II Midden Java, dan Daerah Militer III Oost Java [Ali, 1975:11-12]. Bagi sebagian orang Belanda, pembagian Pulau Jawa sudah dimulai sejak tahun 1705 manakala kerajaan Mataram menyerahkan wilayah bagian barat pulau Jawa kepada Belanda [VOC], minus wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Banten. Tahun berikutnya barulah ditentukan batas wilayah antara Mataram dan Kumpeni, yaitu Sugai Cilosari di utara dan Sungai Cidonan di selatan. Pada masa kekuasaan dipegang Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels [1808-1811 batas di sebelah selatan digeser ke sebelah barat, sehingga sungai Citanduy menjadi pembatasnya [Ali, 1975: 11-12]. Meski demikian, saat itu istilah West Java belum dikenal.
Memang, terhitung sampai tahun 1816  istilah istilah West Java belum cukup tenar, sehingga tak heran jika seorang sejarawan Belanda, Thomas Stanford Raffles tidak menggunakan istilah tersebut dalam karya tulisnya yang menelusuri sejarah Jawa. Dalam tulisannya, ia berpendapat bahwa pada mulanya orang Eropa mengira Pulau Jawa itu berada pada satu tangan kekuasan, tetapi ternyata menurut sejarah wilayah itu terbagi dua yang dikuasai oleh dua kekuasaan yang masing-masing berdiri sendiri. Pembagian wilayah itu dipisahkan oleh Sungai Cilosari yang merupakan perbatasan antara daerah irebon dengan daerah Brebes. Satu bagian berada di sebelah barat dan bagian lain berada di sebelah timur yang menjadi tempat tinggal keturunan dua bangsa. Penuturannya mengenai pembagian wilayah Pulau Jawa, Raffles menggunakan nama daerah dalam lingkup keresidenan. Wilayah sebelah barat terdiri atas keresidenan Banten, Batavia, Priangan, dan Cirebon. Sedangkan wilayah sebelah timur dinyatakannya sebagai eastern districts [daerah-daerah sebelah timur] dan tidak menggunakan istilah East Java atau Centeral Java [Raffles, I, 1978: 8; II, 1978; 256].
Menurut pendapat Edi S. Ekadjati [1995: 10-11] kemungkinan orang pertama yang menggunakan istilah Midden Java [Jawa Tengah], adalah J. Hageman Jcz. yang  termaktub dalam tulisannya mengenai sejarah Pulau Jawa. Tepatnya, ketika Hageman menyoal Perang Dipenogoro, yang menyebut istilah Midden Java satu kali saja, itupun tercantum dalam catatan kaki di akhir tulisannya [Hageman, 1856: 416]. Sementara Alfred Russel Wallace dalam bukunya yang bertutur mengenai perjalanannya di Kepulauan Nusantara—termasuk Pulau Jawa pada tahun 1861—hanya menyinggung istilah West Java dua kali. Namun ketika sampai pada topik pengembaraannya ke wilayah Pulau Jawa bagian timur, Wallace tidak memakai istilah  East Java, melainkan the east of Java. Begitupun saat ia bercerita mengenai wilayah Pulau Jawa bagian tengah, dirinya menggunakan istilah the centre of Java yang mengarah pada wilayah Yogyakarta dan Surakarta [Walace, 1902: 80, 86-88]. Sedangkan penggunaan istilah West Java dipakai oleh S. Coolsma untuk judul bukunya yang diterbikan pada 1879, di dalam bukunya, ia mengungkapkan bahwa Pulau Jawa tebagi atas dua bagian, yaitu West Java dan Oost Java [Coolsma, 1879].
Pemakaian istilah West Java, Oost Java dan Midden Java mulai resmi digunakan dan populer terhitung sejak tahun 1925 yang sekaligus menandai terbentuknya kesatuan administrasi pemerintahan berupa daerah otonom di tingkat provinsi. Provincie West Java lebih dulu dibentuk pada tahun 1925, setahun kemudian dibentuklah Provincie Midden Java dan Provincie Oost Java. Adapun wilayah pembatas antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh Mataram dan Kumpeni [1706], dengan penggeseran wilayah yang dilakukan oleh Gubernur-Jenderal Daendels. Dengan demikian provinsi Jawa Barat terdiri atas wilayah Banten, Batavia [Jakarta], Priangan, dan Cirebon [Staatblad no. 235 dan 378 tahun 1925].

Jawa Barat Perspektif Geografis
Kondisi dan Situasi Alam
Secara geografis, Jawa Barat, tempat kebudayaan Sunda lahir, tumbuh, dan berkembang, terletak pada posisi antara 50 50’ dengan 70 50’ Lintang Selatan dan antara 1040 48’ dengan 1080 48’ Bujur Timur. Luas wilayahnya 46.890 km2.
Wilayah Jawa Barat merupakan bagian integeral dari wilayah Republik Indonesia yang secara geografis berwujud kepulauan. Kepualaun ini biasa disebut Kepulauan Nusanatra, sebuah istilah yang telah dipakai sejak abad ke-14 Masehi, yaiut pada jaman Majapahit. Dewasa ini istilah tersebut digunakan pula untuk menamai sebuah konsep wawasan yang memandang kepulauan Indonesia sebagai kesatuan geografis, kesatuan wilayah, yaitu Wawasan Nsantara. Lokasi wilayah Republik Indonesia sendiri berada pada posisi antara 60 Lintang Utara dengan 110 Lintang Selatan dan antara 1400 Bujur Tmur. Luasnya mencapai 2.270.087 km2 [daratan], tetapi setelah digunakan sistem baru tentang wilayah negara dengan memasukkan wilayah perairan Indonesia berdasarkan UU No. 4/Prp, tahun 1960 maka luas keseluruahannya adalah 5.193.250 km2.
Sejak jaman tersier, sebagian besar wilayah Indonesia merupakan lautan. Dataran hanya terdapat di bagian barat Kalimantan yang bersatu dengan dataran Asia dan bagian selatan Irian yangbersatu dengan dataran Australia. Namun pada penghujung era ini—era Pleosin—terjadi lagi kegiatan alam yang mengakibatkan sebagian lautan menjadi dataran.
Perubahan luas lautan dan dataran terus berlanjut hingga memasuki jaman selajutnya, yaitu jaman Kuarter yang terdiri dari beberapa fase, di antaranya: Pleistosin, Sub-Holosin, dan Holosin. Perubahan-perubahan alam tersebut bukan saja disebabkan terjadinya orogenesa, kegiatan gungun berapi, gempa bumi, dan perubahan aliran sungai. Lebih dari itu, proses kegiatan alam ini juga dikarenakan terjadinya masa glasial dan interglasial pada masa Pleistosin sampai empat kali. Pada masa glasial bagian terbesar air di dunia membeku, sehingga berimbas pada penurunan permukaan air laut sampai 60-70 m. Tak heran jika pada masa ini luas daratan di seluruh wilayah Indonesia bertambah sehingga bersatu dengan Benua Asia. Dari proses ini menghasilkan terbentuknya dua dataran: dataran Sunda dan Sahul. Namun ketika memasuki masa interglasial air es—yang  pada masa glasial membeku—mencair dan membuat permukaan air laut naik. Kini pulau-pulau yang pada masa glasial menyatu kemudian membetuk pulau-pulau yang terpisah. Seperti, pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Irian dan lain-lain [Bemmelen, 1949; Heekeren,1972: 72].
Dilihat dari unsur-unsur utama fisiografi, Pulau Jawa dapat dibagi atas dua bagian. Pertama, bagian selatan yang mengandung genaticline dan berwujud daerah pegunugnan.kedua, bagian utara yang mengandung geosycline dan berwujud dataran rendah. Sedangkan berdasarrkan perbedaan-perbedaan fisografis dan strukturnya, Pulau Jawa dapat dibedakan menjadi empat bagian. Keempat bagian dimaksud adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan ujung timur Pulau Jawa [Oosthoek] berikut Pulau Madura dan Selat Madura [Bemmelen, 1949: 2-26]
Sementara itu, Jawa Barat menurut fisografisnya, meliputi wilayah antara Banten dengan Cirebon. Wilayah ini berwujud rendah alluvial di bagian utara dan pegunugnan bagian selatan. Perbandingan antara bagian daaran rendah dengan bagian pegunungan adalah satu banding tiga. Jadi lebih laus wilayah pegunungan daripada wilayah dataran rendah.
Adapun dataran-dataran tinggi di Jawa Barat, diperkirakan pertama kali muncul dari dasar laut pada akhir zaman Miosen yang merupakan bagian dari zaman Tertier. Proses terbentuknya gunung-gunung berapi, bukit-bukit, dan dataran-dataran tinggi di Jawa Barat berlanjut sampai penghujung zaman Tersier atau tepatnya zaman Pleosin. Sedangkan dataran-dataran rendah di bagian utara Jawa Barat pada umumnya terbentuk sebagai akibat pengendapan alluvial dan lahar dari pengikisan lapisan-lapisan vulkanis tertier pegunungan berapi di bagian selatan Jawa Barat. Dari keadaan alamnya, dataran Jawa Barat terbagi ke dalam lima dataran: Banten, Jakarta, Bogor, Bandung dan Pegunungan Selatan.
Pertama, dataran Banten, keadaan alamnya berhubungan erat dengan Selat Sunda dan Sumatera Selatan. Munculnya gunung-gunung berapi di dataran tersebut dan terjadinya endapan di kedua tepi Selat Sunda [Lampung dan banten] diakibatkan oleh lapisan tuffa yang diduga terjadi pada zaman Tersier menjelang zaman Kuarter. Sementara untuk dataran rendah yang ada di Banten diperkirakan terbentuk akibat pelipatan-pelipatan yang terjadi pada penghujung era Tersier oleh endapan tuffa kuarter dan alluvial.
Beberapa kompleks gunung di barat laut daerah Banten muncul di atas dataran rendah bagianutara. Kompleks-kompleks gunung tersebut di antranya: Kompleks Gunung Gede dengan ketinggian puncak 595 m yang ditandai oleh kota pelabuhan Merak sebagai kaki gunung sebalah barat, kompleks Danau yang mempunyai dua buah gunung, yaitu Gunung Karang [1.778 m] dan Gunung Pulosari [1.346 m]. Kedua gunung ini memiliki aktivitas letusan yang diikuti oleh gunug-gunung di Selat Sunda, antar lain Gunung Rakata [813 m]. Daerah Lampung dan Banten yang dipisahkan Selat Sunda ditutupi oleh tanah asam [acid] dan batu-batuan [tuff] dari letusan-letusan gunung berapi yang menjulang di sektiar daerah tersebut pada jaman Pleistosin. Kompleks Ujungkulon dengan puncak tertinggi berada di Gunung Payung [480 m] dan kompleks Pasir Honje dengan puncak setinggi 620 m di Banten tenggara dipisahkan oleh laut dari Pulau Jawa pada jaman Pleosin dan membentuk ujung Bukit Barisan di Pulau Sumatera. Tetapi garis yang menghubungkan kedua kompleks tersebut dengan Pulau Sumatera runtuh pada jaman Pleistosin dan reruntuhannya sekarang membentuk laut yangkedalamannya mencapi lebih dari 1.000 meter yang teletak di abgian selatan Selat Sunda [Edi S.  Ekadjati, 1995: 17-18]
Kedua, dataran Jakarta merupakan dataran rendah yang lebarnya sekitar 40 km dan meliputi daerah yang terbentang dari Serang, Rangkasbitung, Jakarta, hingga Cirebon. Rendahnya dataran Jakarta disebabkan pengikisan lapisan tertier pegunungan berapi dari daerah pedalaman, seperti, Gunuung Gede dan Gunung Pangrango. Sebagian besar dari dataran Jakarta ini terdiri atas endapan alluvial yang terbawa oleh aliran sungai dan lahar.
Ketiga, dataran Bogor merupakan komplek bukit dan pegunungan yang terletak di sebelah selatan dataran Jakarta. Lebar dataran ini 40 km dan terbentang dari Jasinga di perbatasan Bogor-Banten sekarang di sebelah barat ke arah timur hingga Kali Pemali [Sungai Cipamali] dan Bumiayu di wilayah Jawa Tengah sekarang. Dataran ini juga terdiri atas dua bagian. Pertama, bagian barat yang berpusat di Bogor dan berakhir di kompleks Gunung Sanggabuana di sebelah barat Purwakarta. Kedua bagian timur yang dibentuk oleh gunung-gunung baru, seperti kompleks pegunungang Sunda yang terdiri dari Gunung Burangrang [2.064 m], Tangkuban Parahu [2.076 m], Bukittunggul [2.209 m], Palasari, dan Manglayang; kompleks Gunugn Tampomas [1.684 m] dan kompleks Gunung Ciremai [3.078 m].
Keempat, dataran Bandung memiliki gugusan pegunungan depresif  akibat lapisan Tertier. Lebar dataran ini sekitar 20-40 km yang terbentang dari Teluk Pelabuhan Ratu di barat, melalui Lembah Cimandiri [daerah Sukabumi dengn puncak tertinggi 600 m], dataran tinggi Cianjur [puncak tertinggi 715 m], dataran tingi Garut [puncak tertinggi 711 m], dataran tingi Tasikmalaya dengan puncak tertinggi 315 m, hingga ke Lembah Citanduy di timur, dan berujung di Sagara Anakan. Secara struktural,  dataran ini memiliki geanticline paling banyak di Pulau Jawa. Adapun pembatas antara dataran Bandung dengan dataran Bogor  adalah deretan gunung yang terbentu pada jaman Kuarter, yang terdiri dari: Gunung Kendeng [1.370 m], Gagak [1.511 m], Salak [2.211 m], Pangrango [3.019 m], Gede [2.958 m]. Sedangkan antara dataran bandung dan dataran Pegunungan Selatan dibatasi oleh rentetan gunung yang lainnya, seperti, Gunung Patuha [2.429 m], Tilu [2.040 m], Malabar [2.321 m], Papandayan [2.622 m], dan Cikuray [2.821 m].
Selain itu, dataran Bandung juga memiliki tiga seksi, yaitu, seksi Garut, seksi Plateau Bandung, dan seksi Lembah Citanduy. Ketiga seksi tersebut dibatasi oleh deretan gunung. Seksi Garut dan seksi Plateau Bandung dibatasi oleh Gunung Guntur [2.249 m] dan Gunung Madalawangi [1.163 m]. Sedangkan seksi Garut dan seksi Lembah Citanduy dibatasi oleh barisan Gunung Galunggung [2.241 m], Gunung Talagabodas [2.201 m], dan Gunung Sadakeling [1.176 m]. Keberadaan Gunung Sawal yang sudah tidak aktif lagi menempati posisi terpisah di tengah-tengah Lembah Cintanduy. Sementara itu, di datran Lembah Citanduy bermunculan gunung-gunung kecil, di antaranya: Gunung Sangkur [365 m] yang berdekatan dengan Banjar, di sebelah barat Rawalabok.
Kelima, dataran Pegunungan Selatan yang dibentuk oleh pegunungan di Priangan Selatan terbentang dari Teluk Pelabuhan Ratu di barat hingga Pulau Nusakambangan di timur dengan lebar rata-rata 50 km, hanya di bagian timur menyempit hingga lebarnya ada yang beberapa kilometer saja. Jika dilihat dari segi fisiografinya, dataran ini memiliki tiga seksi, yaitu seksi Jampang di sebelah barat, seksi Pangalengan di tengah, dan seksi Karangnunggal di sebelah timur [Edi S. Ekadjati, 1995: 20, Yoseph Iskandar, 1997:2-4].
Ada fenomena menarik yang terjadi di seksi Jampang, yaitu munculnya permukaan tanah secara perlahan dari Samudera Hindia sampai ketinggian kira-kira 1.000 m—dengan beberapa pengecualian pada leher gunung berapi yang lebih tinggi seperti Gunung Malang [1.305 m]—untuk kemudian berbelok sampai ke daerah dataran Bandung. Adalah seksi Pangalengan merupakan bagian tertinggi di dataran Pegunungan Selatan ini, keberadaannya dikelilingi beberapa gunung yang sudah tidak aktif lagi, misalnya, Gunung Kancana [2.182 m]. Sementara itu proses peralihan antar ujung yang terangkat dari bagian tengah dataran ini dan dataran Bandung ditandai oleh serangkaian Gunung dari jaman Kuarter. Adapun seksi Karangnunggal kondisi alamnya tidak jauh berbeda dengan seksi Jampang, yang memiliki daerah pegunungan yang relatif rendah, selain Gunung Bangkok [1.144 m] jarang ada gunung lain yang ketinggian puncaknya mencapai lebih dari 1.000 m.

Pegunungan di Jawa Barat
Berangkat dari paparan di atas, tampak jelas bahwa di wilayah Jawa Barat terdapat banyak gunung. Setidaknya ditemukan lebih dari tiga puluh gunung yang sebagian merupakan gunung berapi dan sebagian lagi gunung yang sudah tidak aktif lagi. Jika dilihat dari ranahnya, maka keberadaan gunung-gunung yang terdapat di wilayah ini, bisa diklasifikasikan sebagai berikut: untuk ranah atau daerah Banten terdapat Gunung Rakata, Karang, dan Pulosari. Daerah segi tiga Bogor-Sukabumi-Cianjur terdapat Gunung Salak, dan Pangrango. Delapan gunung berikutnya yang terdiri dari Gunung Malabar, Patuha, Tilu, Burangrang, Tangkuban Parahu, Bukitunggul, Palasari, dan Manglayang terdapat di zona Bandung. Sedangkan untuk Gunuung Papandayan, Mandalawangi, Haruman, Guntur, dan Cikuray termasuk ke daerah Garut. Daerah Tasikmalaya hanya memiliki dua gunung, yaitu Gunung Galunggung dan Talagabodas. Sementara untuk Ciamis, Sumedang, dan Kuningan, merupakan daerah yang masing-masing hanya punya satu gunung, yaitu Gunung Sawal, Tampomas, dan Ciremai. Selain itu, di selatan daerah Banten terdapat juga pegunungan yang memanjangarah barat-timur ang disebut dengan pegunungan Kendeng. Di antara gunung-gunung tersebut berdiri pula gunung-gunung kecil atau bukit-bukit yang sesungguhnya secara keseluruhan bisa dikategorikan sebagai gunung. Sebagai contoh konkrit, bisa dilihat di sektiar perbatasan daerah Kuningan dan Ciamis, misalnya, memanjang pegunungan dari barat ke timur sebagi lanjutan dari Gunung Ciremai, Gunung Sawal, dan Gunung Cakrabuana dengan ketinggian puncak yang kurang dari 1.500 m. Barisan gunung-gunung tersebut sampai memasuki wilayah Jawa Tengah dan bersambung dengan Gunung Selamet.
Jika mau dikalkulasikan maka luas pegunungan yang terdapat di Jawa Barat mencapai tiga perempat bagian dari luas keseluruhan wilayah Jawa Barat. Berkat wilayah pegunungan yang luas ini, region ini juga memiliki banyak sungai yang terdapat di setiap sela-sela kaki gunung dan bukit. Secara umum, di daerah hulu [pegunungan] lebar sungai-sungai yang ada relatif kecil dan kemudian semakin membesar ketika sampai ke daerah hilir [dataran rendah]. Para penduduk yang tempat tinggalnya dilewati sungai biasanya memberi nama daerahnya dengan menggunakan awalan ci, singkatan dari cai, yang dalam bahasa Sunda berarti air. Seperti, Ciujung, Ciliwung, Cimanuk, Cisanggarung, Cilaki, Cimandiri, atau Citanduy.
Sementara itu, jika diukur dari permukaan air laut [orografis], wilayah Jawa Barat dapat dibagi menjadi empat: [1] daerah yang ketinggian dari permukaan air laut mencapai antara 0-100 m, [2] daerah yang ketinggiannya mencapai 101-750 m, [3] daerah yang ketinggiannya mencapai 751-1.500 m, dan [4] daerah yang ketinggiannya mencapai lebih dari 1500 m. Daerah yang disebut pertama, dinamakan dataran rendah, berlokasi di sepanjang pantai. Dataran rendah di pantai utara Jawa Barat jauh lebih lebar dibanding dataran rendah yangberada di sepanjang pantai Selat Sunda dan Pantai Selatan. Di pesisir utara, lebar dataran rendah itu bisa mencapai puluhan kilometer, sedangkan untuk dataran rendah yang berada di pesisir selatan hanya beberapa kilometer saja, bahkan ada yang mencapai satu kilometer. Semakin masuk ke daerah pedalaman, ketinggian tanah di wilayah Jawa Barat makin meningkat. Daerah yang ketinggiannya mencapai lebih dari 1.500 m, biasanya berada di sekitar gunung-gunung.
Dari sini, bisa dibandingkan bahwa dataran rendah yang ada di Jawa Barat merupakan daerah yang paling luas, disusul secara berurutan oleh daerah yang ketinggiannya mencapai 10-750 m [dataran tinggi], daerah yang ketinggiannya mencapai 750-1.500 m [pegunungan], dan paling buncit daerah yang tingginya lebih dari 1.500 m [gunung]. Namun bila ketiga daerah [datarang tinggi, pegunungan, dan gunung] digabungkan, maka otomatis luas dataran rendah menjadi sedikit.
Layak untuk dikemukakan di sini bahwa kondisi luas dataran rendah di bagian utara Jawa Barat cenderung semakin bertambah akibat pendangkalan laut di pesisir Laut Jawa, terutama di daera yang ada muara sungianya. Pendangkalan itu disebabkan erosi tanah di daera pedalaman yang terbawa air hujan ke laut melalui aliran sungai. Penambahan luas wilayah dataran rendah tersebut berimbas pada persoalaan agraria yang menyangkut kepemilikan tanah. Kondisi sebaliknya terjadi di pesisir seatan Jawa Barat yang ditandai dengan berukurangnya luas daratan akibat terkikis gelombang laut secara terus menerus, meski dari segi kuantitas jauh lebih kecil dibandingkan dengan penambahan luas wilayah di pesisir utara.
Melalui proses alam, di wilayah Jawa Barat juga terdapat sejumlah danau atau yang dalam bahasa Sunda disebut Situ yang kemunculannya menambah variasi lingkungan alam. Danau yang tercipta dari hasil proses alam, untuk menyebut sebagiannya saja adalah: Situ Ciburuy, Situ Patengang, Situ Lembang di daerah Bandung, Situ Talagawarna di Bogor, Situ Panjalu di Ciamis, dan Situ Sanghyang di Majalengka. Sedangkan danau [waduk] dari hasil kreasi manusia bisa ditemukan di beberapa daerah. Seperti Waduk Dharma di daerah Kuningan, Waduk Jatiluhur di daerah Purwakarta, Waduk Cirata di Cianjur, dan Waduk Saguling di Bandung. Selain berfungsi sebagai penyimpan air, danau-danau tersebut juga berfungsi sebagai pencegah banjir, pembangkit tenaga listrik, tempat kegiatan perikanan, penyuplai air bagi lahan pertanian, dan tempat rekreasi.
Selain beberapa Sumber Daya Alam [SDA] yang telah disebutkan di atas, Jawa Barat juga memiliki kekayaan alam yang lain dan sekaligus mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia—meski yang lebih banyak menikmatinya hanya segelintir orang—seperti tambang emas di daerah Banten Selatan, mangan di Tasikmalaya Selatan, belerang di beberapa kawah gunung berapi, minyak bumi di Cirebon dan Indramayu, dan gas bumi di Bandung Selatan.

Jawa Barat sebagai Kawasan Tropis
Sejatinya, puji syukur kita panjatkan kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan Kepulauan Nusantara ini dengan berbagai kekayaan dan keindahan alamnya. Dan seperti yang sudah banyak diketahui umum, bahwa Indonesia merupakan wilayah yang dilintasi garis khatulistiwa, sehingga hanya dua musim saja yang berlaku di bumi pertiwi ini, termasuk di dalamnya wilayah Jawa Barat. Terbentuknya kedua musim itu dikarenakan terjadinya perubahan arah angin bertiup setiap enam bulan. Pada enam bulan pertama [Maret-Agustus], biasanya angin bertiup dari arah timur atau tenggara [Benua Australia]. Namun angin model ini tidak membawa uap air, sehingga tidak mendatangkan hujan. Pada enam bulan selanjutnya [September-Februari] angin bertiup dari arah barat [Daratan Asia] yang mengandung banyak uap air, sehingga turunlah hujan di kepulauan di wilayah Nusantara. Musim hujan di Jawa Barat berlangsung lebih lama dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya. Tak heran jika angka rata-rata curah hujan mencapai 2.000 mm, bahkan di beberapa tempat bisa mencapai 3.000-5.000 mm [Garna, 1984: 12]. Bogor adalah contoh kota yang lebih sering diguyur hujan, sehingga kota itu dijuluki sebagai kota hujan.
Seorang ahli biologi dari Inggris, Alfred Russel Wallace pada tahun 1861 memberi kesaksian bahwa Jawa Barat merupakan wilayah yang banyak turun hujan. Tepatnya ketika Wallace memutuskan untuk meninggalkan wilayah Jawa Timur untuk kemudian mengunjungi Jawa Barat, dalam pengakuaannnya ia mengungkapkan, “... I then determined to leave East Java and try the more moist and luxurious districts at the western extremity of the islands,” [Wallace, 1902: 83] dan saat dirinya berada di Jawa Barat ia merasakan perbedaan suasana, sebagaiamana terungkap dalam tulisannya lebih lanjut, “...In the east of Java I had suffered from the intense heat and drought of the dry season…Here [West Java] I had got into the other extreme of damp, wet and cloudy weather, ...During the month which I spent in the interior of West Java, I never had a really hot fine day throughout. It rained almost every afternoon, or dense mist came down from the mountains, …” [Wallace, 1902: 87-88]. Biasanya, bulan Desember dan Januari merupakan bulan terbasah, sedangkan bulan Juli dan Agustus merupakan bulan terkering. Saat musim kemarau tiba, suhu udara mencapai titik terpanas pada tengah hari dan mencapai titik terdingin pada waktu tengah malam.
Ketika pulau-pulau di wilayah Indonesia bagian barat bersatu dengan daratan Asia dan pulau-pulau di ujung wilayah Indonesia bersatu dengan daratan Australia, di wilayah ini tumbuhlah beragam flora dan hiduplah bermacam binatang, disusul kemudian dengan hidupnya manusia. Makhluk-makhluk hidup tersebut datang dari arah psat daratan. Mengingat keberadaan lautan yang dalam, maka penyebaran makhluk hidup dari daratan Asia tidak bisa masuk ke arah timur. Tidak heran jika jenis flora, fauna, dan juga manusia beserta kebudayaannya memiliki perbedaan yang cukup mendasar antara wilayah Indonesia bagian barat dengan wilayah Indonesai bagian timur. Kedua wilayah tersebut dibatasi oleh garis Wallace, garis weber, dan garis Huxley. Pada waktu  pulaua-pulau itu terpisah lagi dengan induknya[masa interglasial], maka kehidupan makhluk hidup yang berkembang di masing-masing wilayah menyesaikan diri dengan kondisi lokal. [Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, I, 1984: 36-37].
Kondisi tanah yang ada di ilayah Jawa Barat pada umumnya, mengandung endapan alluvial dan debu vulkanis yang bisa menyuburkan berbagai jenis tanaman dan tumbuhan, baik tanaman peliharaan seperti pertanian maupun tumbuhan liar berupa hutan. Alfred Russel Wallace merupakan salah seorang saksi yang bisa dimintai keterangannya seputar berbagai jenis tanaman yang biasa tumbuh di daerah tropis sampai jenis tanaman yang biasa tumbuh di kawasan dingin seperti di Eropa. Keterangan yang dimilikinya merupakan hasil ekspedisi yang ia lakukan dari Bogor hingga puncak Gunung Pangrango guna mengobservasi dan mengumpulkan contoh segala jenis flora dan fauna yang tumbuh dan hidup di wilayah tersebut. Lagi-lagi Kebun Raya Bogor mrupakan bukti nyata bahwa hampir semua tanaman tropis dapat tumbuh dengan subur. Kebun di kompleks Istana Cipanas-Cianjur bukti lain yang tak terbantahkan bahwa sejumlah tanaman dan sayuran Eropa bisa tumbuh subur di situ.
Selain itu, hutan lebat yang tampak sepanjang jalan ditumbuhi aneka jenis pohon, mulai dari yang berukuran kecil [seperi lumut, anggrek] hingga yang berukuran besar [seperti rasamala, beringin] dan mulai dari yang tumbuh di dataran rendah hingga yang tumbuh di puncak gunung pada ketinggian 8.000 kaki lebih. Berbagai jenis tanamam yang tumbuh di sekitar Gunung Gede saja, tak kurang dari 300 jenis tanaman tumbuh dengan suburnya [Wallace, 1902: 85, 89-90]. Dalam rangkaian periode sejarah Jawa Barat tercatat beberapa jenis tanaman yang berkembang luas sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sebut saja tarum [indigo], padi, dan lada yang berkembang sampai abad XVII. Kopi, teh, kina, karet, tebu, kelapa sampai awal abad XX. Perkembangan mutkahir jenis-jenis tanaman seperti padi, teh, karet, kelapa, tebu, kelapa sawit, cokelat, dan sejumlah tanaman sayuran mempunyai nilai ekonomi tinggi di Jawa Barat. Sementara itu, jenis pohon berukuran besar yang dimanfatakan kayunya cukup berperan pula dalam kehidupan ekonomi masyarakat Jawa Barat. Bahkan pada awal abad ke-16 Masehi diberitakan oleh Tome’ Pires bahwa pesisir di wilayah Sunda banyak dijumpai pohon yang besar dan tinggi. Misalnya, pohon-pohon yang tumbuh di kiri-kanan pinggir Sungai Cimanuk yang dahan-dahan bagian atasnya bersentuhan, sehingga seolah-olah sungai itu bersatu [Cortesao, 1944: 166-168] dan juga adanya jenis kayu yang dihasilkan dari daerah Cirebon berkualitas tinggi untuk bahan pembuatan kapal laut. Kayu-kayu tersebut diekspor dari pelabuhan Cirebon [Cortesao, 1944: 183]
Areal hutan di wilayah Jawa Barat makin lama berkurang. Pengurangan luas areal hutan itu makin lama makin luas sejak dipergunakan untuk lahan perkebunan, pertanian [sawah dan ladang], pemukiman,dan industri serta diperlukan kayunya untuk bahan bangunan dan lain-lain. Hingga pada awal 1973 hutan di wilayah Jawa Barat luasnya, hanya tersisa 468.018,7 ha untuk hutan lebat, sedangkan untuk hutan sejenis dan hutan belukar tingal 567.036,6 ha saja [Direktorat Tata Guna Tanah, 1973: 7-8]. Fenomena ini menghasilkan banyak hutan gundul yang sering mengakibatkan banjir pada musim hujan karena air hujan tidak terserap oleh tanah dan pepohonan. Sebaliknya, pada musim kemarau terjadi kekeringan karena kekurangan air, sebab tidak ada persediaan air yang biasanya disimpan dalam hutan. Dalam pada itu, lapisan tanah bagian atasyang subur mudah trkikis oleh air hujan [erosi] yang berakibat hilangnya kesuburan tanah. Semua akibat tersebut sudah dan akan terus mendatangkan malapetaka dan penderitaan bagi kehidupan makhluk hidup, jika tak cepat melakukan antisipasi untuk menjaga kelestarian alam.
Seiring dengan tumbuhnya aneka macam tanaman, di wilayah Jawa Barat hidup pula berbagai jenis binatang [fauna], seperti serangga, burung, binatang melata, binatang menyusui, ikan. Nama Jawa Barat menjadi lebih terkenal di dunia internasional karena di daerah ini hidup binatang badak bercula satu yang keberadaannya kini hampir punah akibat ulah manusia. Kini binatang raksasa itu hanya bisa hidup di kawasan cagar alam Ujung Kulon. Jenis binatang lain yang punya kaitan erat dengan kehidupan sosial budaya di Jawa Barat adalah harimau, lutung, kera, kura-kura, buaya, kancil, kuda, kerbau, banteng,anjing, babi, burung beo, kucing, tikus, kupu-kupu, ulat, buruugn betet, burung tekukur, burung kutilang, ular sanca, danlain-lain. Menurut Alfred Russel Wallace, semuua jenis burung dan serangga yang khas Pulau jawa ditemukan di Jawa Barat dalam bjumlah yang banyak. Ia sendiri dalam jangka waktu satu minggu berhasil menangkap dan mengumpulkan tidak kurang dari 24 jenis burung yang tidak ditemukan di Jawa Timur, selanjutnya bertambah menjadi 40 jenis. Ia pun menemukan dan mengumpulkan berbagai jenis serangga dan kupu-kupu dari wilayah ini [Walaace, 1902: 86-87].

Jawa Barat di Era Reformasi
Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan Propinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Propinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat. Selama lebih kurang 50 tahun sejak pembentukannya, wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Barat baru bertambah 5 wilayah, yakni Kabupaten Subang (1968), Kota Tangerang (1993), Kota Bekasi (1996), Kota Cilegon dan Kota Depok (1999). Padahal dalam kurun waktu tersebut telah banyak perubahan baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, maupun kemasyarakatan.
Dalam kurun waktu 1994–1999 secara kuantitatif jumlah wilayah pembantu gubernur tetap 5, kabupaten tetap 20, kota bertambah dari 5 pada tahun 1994 menjadi 8 pada tahun 1999. Kota administratif berkurang dari 6 menjadi 4, karena kotif Cilegon dan Depok pada tahun 1999 berubah status menjadi kota otonom. Dengan ditetapkannya UU No.23 Tahun 2000, wilayah administrasi pembantu gubernur wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Propinsi Banten. Dengan demikian saat ini Jawa Barat terdiri dari 16 Daerah Kabupaten, 6 Daerah Kota, 447 Kecamatan, 5.347 Desa dan 399 Kelurahan.
Jawa Barat merupakan salah satu Propinsi di Indonesia yang memiliki alam dan pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta Sumber Daya Perekonomian.

Geografi
Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50' - 7°50' LS dan 104°48' - 104°48 BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di Selatan dan Selat Sunda di barat. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera Indonesia, 4 Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat Sunda), luas wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha.
Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdatar rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan tengah.

Topografi
Ciri utama daratan Jawa Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi. Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100– 1.500 m dpl, wilayah dataran luas di utara ketinggian 0 –10 m dpl, dan wilayah aliran sungai.

Iklim
Iklim di Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 90 C di Puncak Gunung Pangrango dan 34 0 C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun.

Populasi
Berdasarkan hasil Sensusnas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat setelah Banten terpisah berjumlah 34.555.622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk meningkat menjadi 35.500.611 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar 1.022 jiwa per Km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk selama dasawasra 1990–2000 mencapai angka 2,17 %.


Sosial Budaya
Masyarakat Jawa Barat di kenal sebagai masyarakat yang agamis, dengan kekayaan warisan budaya dan nilai-nilai luhur tradisional, serta memiliki prilaku sosial yang berfalsafah pada silih asih, silih asah, silih asuh, yang secara harfiah berarti saling mengasihi, saling memberi pengetahuan dan saling mengasuh diantara warga masyarakat.
Tatanan kehidupannya lebih mengedepankan keharmonisan seperti tergambar pada pepatah; Herang Caina beunang laukna yang berarti menyelesikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru atau prinsip saling menguntungkan.
Masyarakat Jawa Barat memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai kebajikan. Hal ini terekspresikan pada pepatah ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan; yang berarti konsisten dan konsekuen terhadap kebenaran serta menyerasian antara hati nurani dan rasionalitas, seperti terkandung dalam pepatah sing katepi ku ati sing kahontal ku akal, yang berarti sebelum bertindak tetapkan dulu dalam hati dan pikiran secara seksama.
Jawa Barat dilihat dari aspek sumber daya manusia memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia dan sebagai Propinsi yang mempunyai proporsi penduduk dengan tingkat pendidikan, jumlah lulusan strata 1, strata 2 dan strata 3, terbanyak dibandingkan dengan propinsi lain.[]

Daftar Pustaka
Ali, Moh. et.al, Sejarah Jawa Barat: Suatu Tanggapan, Bandug, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat, 1975.
Alisjahbana, Samiati, A Preliminary Study of Clas Sturctures Among the Sundanese in the Prijangan, Ithaca, N.Y.: Cornel University, 1975.  
Atja, Carita Parahijangan. Bandug: Jajasan Kebudayaan Nusalarang. [Edisi baru disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia dan disusun bersama Saleh Danasasmita: Carita Parahijangan. Bandung: Proyek Permuseuman Jawa Barat, 1975.
Ayatrohaedi, Sadjarah Sunda, Bandung, Ganaco, 1975.
Bemmeln, P. van, The Geology of Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff, 1975.
Chijs, J.A van der, Babad Tanah Paseondan. Batavia: Landsdrukkerij, 1880.
Coolsma, S., Twaalf volklezingen over West Java; Het Land, de Bewoners en de Arbeid der Nederlandsche Zendings verenigin. Rotterdam: D. van Sin & Zoon, 1879.   
Cortesao, Armando, The Suma Oriental of Tome’ Pires. London: The Hakluyt Society, 1944.
Danasasmita, Saleh, “Latar belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Galuh dengan Pajajaran”. Sejarah Jawa Barat dari Masa Prasejarah Hingga masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran, 1975.           
Ekadjati,  Edi S., Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah Paseondan. Batavia: Landsdrukkerij, 1995.
Ekadjati,  Edi S., “Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat”, dalam Sejarah Jawa Barat: Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat, 1975.
Garna, Yudistira K., “Gambaran Umum Daerah Jawa Barat dan Pola Kampung Sunda”, Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Girimukti Pusaka, 1984.        
Iskandar, Yoseph, Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten, 1997.  
Kantor Sensus & Statistik Jawa Barat, Statistik Jawa Barat. Bandung, 1999. 
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1980.      
Pemerintah, Daerah, Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No 01 tahun 2001 tentang Rencana Strategis Propinsi Jawa Barat. Bandung, 2001.
Raffles, Thomas Stamford, The History of Java. 2 vol. London [Penerbitan baru: 1978]
Rosidi, Ajip, “Ciri-ciri Manusia Sunda”, Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Girimukti Pusaka, 1984.           
Suhamihardja, A. Suhandi, “Organisasi dan Struktur Sosial Masyarakat Sunda dan Agama, Kepercayaan, dan Sistem Pengetahuan”, dalam Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Girimukti Pusaka, 1984.
Suryanegara, Ahmad Mansur,  Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. cet. IV. Bandung: Mizan, 1998.           
Wallace, Alfred Russel, The Malay Archipelago. New York: Dover Publications, 1902.
Warnaen, Suwarsih., et.al., Pandangan Hidup Orang Sunda. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda [Sundanologi] Depdikbud, 1987.