Senin, 26 Desember 2011

Sosialisme Borjuis Kecil dan Sosialisme Proletar

Diterbitkan: 7 November (25 Oktober) 1905 dalam Proletary No. 24 dan Collected Works, Volume 9, halaman 438-46
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Progress Publishers, Moskow, USSR, 1966
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Anonim

Dari bermacam doktrin sosialis, Marxisme-lah yang saat ini paling dominan di Eropa. Perjuangan untuk mencapai masyarakat sosialis hampir sepenuhnya dipahami oleh Marxisme sebagai perjuangan kelas buruh di bawah pimpinan partai-partai Sosial-Demokratis. Dominasi sosialisme proletariat ini berdasar pada ajaran Marxisme tidak dicapai seketika, tetapi semata setelah terjadi perjuangan panjang menentang bermacam doktrin usang, sosialisme borjuis kecil, anarkisme dan lain-lain. Sekitar 30 tahun yang lalu Marxisme tidak dominan, sekalipun di Jerman. Pandangan yang berlaku di negara tersebut bersifat transisi, bercampur baur dan eklektis, terletak diantara sosialisme borjuis kecil dan sosialisme proletariat. Doktrin-doktrin yang paling menyebar dikalangan buruh maju di negara-negara Romawi, di Perancis, Spanyol dan Belgia adalah Proudhonisme, Blanquisme [1] dan anarkisme yang nyata-nyata mengekspresikan cara pandang borjuis kecil, bukan proletariat. Apa yang menyebabkan cepat dan tuntasnya kemenangan Marxisme dalam dekade terakhir ini? Ketepatan pandangan Marxis dalam banyak hal telah dibuktikan oleh semua perkembangan masyarakat kontemporer baik ekonomi maupun politik, dan oleh seluruh pengalaman gerakan revolusioner serta perjuangan kelas-kelas tertindas. Kemunduran borjuis kecil, cepat atau lambat, tak dapat dielakkan akan mengakibatkan kepunahan segala macam prasangka borjuis kecil. Sementara itu tumbuhnya kapitalisme dan kian dalamnya perjuangan kelas dalam masyarakat kapitalis jadi agitasi terbaik bagi gagasan sosialisme proletar. Keterbelakangan Rusia itulah pada dasarnya yang bisa menjelaskan tetap kokohnya bermacam doktrin sosialis usang di sana. Seluruh sejarah aliran pemikiran revolusioner Rusia sepanjang perempat terakhir abad 19 adalah sejarah perjuangan Marxisme melawan sosialisme borjuis kecil Narodnik. [2] Meskipun kemajuan pesat dan keberhasilan luar biasa gerakan kelas pekerja Rusia pun sudah berhasil membuahkan kemenangan bagi Marxisme di Rusia tapi berkembangnya sebuah gerakan petani yang jelas revolusioner – khususnya revolusi petani terkenal di Ukraina tahun 1902 [3] - di satu sisi malah membangkitkan lagi Narodnisme kuno. Teori-teori Narodnik yang kuno dengan diwarnai oleh oportunisme Eropa yang populer masa itu (Revisionisme, Bernteinsime [4] dan kritisisme atas Marx), mendadani seluruh persediaan ideologis asli golongan yang umum disebut Sosialis-Revolusioner. [5] Itulah sebabnya mengapa masalah kaum petani menonjol dalam pertentangan Marxis melawan Narodnik sejati maupun golongan sosialis-revolusioner.
Untuk satu hal tertentu, Narodnisme adalah sebuah doktrin yang integral dan konsisten. Narodnisme menolak adanya dominasi kapitalisme di Rusia; menentang peran buruh pabrik sebagai pemimpin garis depan perjuangan kaum proletar; menolak pentingnya sebuah revolusi politik dan kebebasan politik borjuis; ia menyerukan perlu segera dilaksanakannya sebuah revolusi sosialis yang berangkat dari komune petani berikut bentuk-bentuk pertanian kecil-nya. Semua yang masih bertahan dalam teori integral ini sekarang hanyalah serpihan-serpihan saja, tapi untuk secara pandai memahami kontroversi-kontroversi yang berlangsung saat ini,dan menjaga supaya kontroversi itu tidak melorot menjadi sekedar perang mulut, orang semestinya ingat akar-akar Narodnik yang paling dasar dan umum yang sekaligus merupakan akar kesalahan Sosialis-Revolusioner kita.
Kaum Narodnik beranggapan bahwa kaum Muzhik adalah manusia Rusia masa depan. Pandangan ini tak pelak berkembang karena keyakinan mereka pada masa depan kapitalisme. Sedangkan kaum Marxis beranggapan bahwa buruh pekerja adalah manusia masa depan, dan perkembangan kapitalisme Rusia baik di bidang pertanian maupun industri makin menegaskan pandangan mereka. Gerakan kelas pekerja di Rusia telah berhasil memperoleh pengakuan bagi keberadaannya sendiri. Tetapi bagi gerakan petani, masih ada jurang pemisah antara Narodisme dan Marxisme hingga sekarang, yang mana hal ini terungkap dalam penafsiran mereka yang berbeda atas gerakan (petani) ini. Bagi kaum Narodnik, gerakan petani tersebut dengan sendirinya membuktikan kekeliruan Marxisme. Ini adalah gerakan yang bekerja untuk suatu revolusi sosialis yang langsung; gerakan ini tidak mengakui kebebasan politik borjuis; gerakan yang berangkat dari produksi skala kecil dan bukan produksi berskala besar. Singkatnya, bagi kaum Narodnik, gerakan petani lah yang benar-benar sosialis sejati dan segera merupakan gerakan sosialis. Kesetiaan Narodnik pada komune petani dan bentuk tertentu anarkisme Narodnik sepenuhnya bisa menjelaskan mengapa kesimpulan demikian yang selalu terumuskan. Bagi kaum Marxis, gerakan petani adalah gerakan demokratik, bukan gerakan sosialis. Di Rusia, seperti juga kasus di negara-negara lain, gerakan ini pasti sejalan dengan revolusi demokratik, revolusi yang borjuis kandungan sosial ekonominya. Gerakan yang sampai titik akhirnya memang tidak ditujukan untuk menggoyang pondasi tatanan borjuis, menentang prodksi komoditi atau melawan kapital. Sebaliknya gerakan itu ditujukan untuk menentang hubungan pra-kapitalis, hubungan perhambaan kuno di wilayah pedesaan dan melawan tuan-tanahisme, yang menjadi kunci seluruh kelangsungan hidup pemilikan hamba-hamba. Konsekuensinya kemenangan penuh gerakan petani ini tak akan menghapus kapitalisme; malahan sebaliknya, gerakan ini akan menciptakan pondasi lebih luas lagi bagi perkembangan kapitalisme, akan mempercepat serta memperdalam perkembangan kapitalis sejati. Kemenangan penuh pemberontakan kaum petani hanya bisa menciptakan benteng bagi republik demokrasi borjuis, yang didalamnya tumbuh untuk pertama kalinya suatu perjuangan proletariat melawan kehendak borjuasi dalam bentuk yang paling murni. Lantas, ada dua pandangan bertentangan yang harus dimengerti dengan jelas oleh siapapun yang ingin mempelajari jurang perbedaan prinsipil antara Sosialis-Revolusioner dan Sosialis-Demokrat. Merujuk ke salah satu pandangan, gerakan petani adalah gerakan sosialis, sedangkan merujuk ke pandangan lain gerakan petani adalah gerakan borjuis-demokratik. Dengan ini orang bisa lihat betapa gobloknya ungkapan orang-orang Sosialis-Revolusioner kita ketika mereka mengulang beratus kali (lihat, misalnya, dalam Revolutsionnaya Rossiya, no. 75) bahwa Marxis ortodoks telah mengabaikan masalah petani. Hanya ada satu cara untuk memberantas kebodohan berbahaya macam ini dan itu bisa diakukan dengan mengulang ABC; menyusun pandangan-pandangan Narodnik yang secara konsisten sudah kuno itu, dan beratus bahkan beribu kali menekan bahwa perbedaan yang sesungguhnya di antara kita itu tidak terletak pada soal berhasrat atau tidak berhasrat pada masalah petani, juga tidak terletak pada mengakui atau tidak mengakui masalah petani, tapi terletak pada perbedaan penilaian kita atas gerakan petani dan masalah petani saat ini di Rusia. Dia yang berkata bahwa Marxis mengabaikan masalah petani di Rusia adalah, pertama, seorang pengabai absolut. Sebab seluruh tulisan prinsipil Marcis Rusia, mulai dari tulisan Plekhanov Our Differences (muncul kurang lebih 20 tahun yang lalu), telah mencurahkan tenaga untuk menjelaskan kesalahan pandangan-pandangan kaum Narodnik mengenai masalah petani Rusia. Kedua, dia yang menyatakan bahwa Marcis mangabaikan masalah petani jelas menunjukkan hasratnya untuk menghindari keharusan memberi penilaian yang lengkap atas perbedaan prinsipil yang sesungguhnya, memberi jawaban atas pertanyaan apakah gerakan petani sekarang ini adalah gerakan borjuis atau tidak, apakah gerakan itu secara obyektif diarahkan untuk menghancurkan kelangsungan hidup penghambaan atau tidak.
Kaum Sosialis-Revolusioner tidak pernah memberikan, dan tidak selalu dapat memberikan satu jawaban jelas dan tepat pada masalah itu karena mereka menggapai-gapai tanpa harapan di antara pandangan kuno Narodnik dan pandangan Marxis saat ini mengenai masalah petani di Rusia. Kaum Marxis menyatakan bahwa kaum Sosialis-Revolusioner mewakili pendirian kaum borjuis kecil (mereka adalah ideolog kaum borjuis kecil) dengan alasan yang kuat bahwa mereka tidak dapat membersihkan diri dari ilusi-ilusi kaum borjuis kecil dan bayangan Narodnik dalam menilai gerakan buruh tani.
Itulah sebabnya mengapa kita mengulang ABC sekali lagi. Untuk apakah perjuangan kaum petani di Rusia saat ini? Untuk tanah dan kebebasan. Arti penting apa yang bakal dimiliki oleh seluruh kemenangan gerakan ini? Setelah meraih kemerdekaan, gerakan tersebut akan menghapuskan kekuasaan para tuan tanah dan birokrasi dalam adiminstrasi negara. Setelah berhasil menjaga tanah, gerakan itu akan memberikan tanah para tuan tanah kepada para petani. Akankah kemerdekaan penuh dan perampasan tanah dari para tuan tanah tersebut juga berarti penghapusan produksi komoditi? Tidak, tidak akan. Akankah kemerdekaan penuh dan perampasan tanah tuan tanah tersebut mengganti bentuk pertanian individual dengan bentuk rumah tangga petani atas dasar, tanah komunal, atau tanah yang "disosialkan"? Tidak, tidak akan. Akankah kemerdekaan penuh dan perampasan tanah tuan tanah menjembatani jurang dalam yang memisahkan petani kaya, yang memiliki sekian kuda dan sapi, dari pertanian-cangkulan, buruh harian, misalnya: jurang pemisah antara borjuis petani dengan proletar pedesaan? Tidak, tidak akan! Sebaliknya, makin tuntas sosial-estate (para Tuan Tanah) yang paling tinggi itu dienyahkan dan dilenyapkan maka akan makin dalamlah perbedaan kelas antara borjuis dan proletariat. Apakah yang secara obyektif bakal punya arti dengan adanya kemenangan penuh kebangkitan perlawanan buruh tani? Kemenangan tersebut akan menghilangkan seluruh kelangsungan hidup perhambaan, tetapi sama sekali tidak menghancurkan sistem ekonomi borjuis atau menghancurkan kapitalisme atau menghancurkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas – ke dalam golongan kaya dan miskin, borjuis dan proletar. Mengapa gerakan petani saat ini adalah gerakan borjuis-demokratik? Karena setelah menghancurkan kekuasaan birokrasi dan tuan-tuan tanah, gerakan itu akan menyusun sebuah sistem masyarakat demokratik, tapi bagaimanapun juga, itu dilakukan tanpa mengubah pondasi borjuis dari masyarakat demokratis tersebut, tanpa menghapuskan kekuasaan kapital. Bagaimanakah seharusnya buruh berkesadaran kelas, kaum sosialis, memandang gerakan petani saat ini? Ia harus mendukung gerakan ini, menolong petani dalam kondisi yang paling bertenaga, menolong mereka menyingkirkan tuntas segala kekuasaan birokrasi dan kekuasaan tuan-tuan tanah. Bagaimanapun, pada saat yang sama mereka harus menjelaskan kepada para petani bahwa tidak cukup cuma merobohkan kekuasaan birokrasi dan para tuan tanah. Ketika mereka merobohkan kekuasaan birokrasi dan para tuan tanah tersebut, saat itu juga mereka harus bersiap untuk menghapuskan kekuasaan kapital, kekuasaan borjuis, dan untuk maksud ini maka suatu doktrin yang sepenuhnya berwatak sosialis; yaitu Marxist, harus segera disebar, proletariat pedesaan harus dipersatukan, digalang bersama dan diorganisir untuk perjuangan melawan borjuis petani dan semua borjuis Rusia. Dapatkah seorang buruh yang berkesadaran kelas melupakan perjuangan demokratik demi perjuangan sosalis, atau melupakan perjuangan sosialis demi perjuangan demokratik? Tidak, seorang buruh yang berkesadaran kelas akan menyebut dirinya seorang sosial demokrat karena ia memahami kaitan dua perjuangan tersebut. Dia tahu bahwa tidak ada jalan lain yang bisa menyelamatkan jalan menuju sosialisme selain melalui demokrasi, kebebasan politik. Karenanya ia berjuang mencapai demokrasi sepenuhnya dan sekonsisten mungkin untuk mencapai tujuan puncak – sosialisme. Mengapa kondisi untuk perjuangan demokratik tidak sama dengan kondisi untuk perjuangan sosialis? Karena para buruh pekerja pasti akan memiliki sekutu yang berbeda di masing-masing dua perjuangan ini. Perjuangan demokratik dilakukan oleh buruh bersama dengan satu bagian dari borjuis, khususnya borjuis kecil. Di lain pihak, perjuangan sosialis dilakukan oleh buruh pekerja melawan seluruh borjuasi. Perjuangan melawan birokrat dan para tuan tanah dapat dan harus dilakukan bersama-sama dengan seluruh petani, bahkan bersama petani berkecukupan dan petani menengah. Di lain pihak, cuma berjuang bersama proletariat pedesaan sajalah, maka perjuangan melawan borjuis, dan karenanya juga berarti melawan petani berkecukupan, bisa diakukan dengan tepat. Bila kita selalu mengingat semua kebenaran Marxis yang elementer ini, yang oleh kaum Sosialis-Revolusioner selalu lebih suka dihindari, maka kita tak akan punya banyak kesulitan dalam menilai keberatan kaum Sosialis-Revolusioner "yang terakhir" atas Marxisme, seperti berikut ini:
"Mengapa itu perlu?" seruan dalam Revolutsionnaya Rossiya (no. 75), "Pertama mendukung kaum petani secara umum dalam melawan para tuan tanah, dan kemudian (yaitu, pada saat yang sama) mendukung kaum proletar menentang seluruh kaum petani, yang sekaligus sebagai ganti dari tindakan mendukung kaum proletar menentang para tuan tanah; dan apa yang Marxisme harus lakukan setelah itu, hanya surga yang tahu."
Ini adalah titik pandang anarkisme paling primitif, yang naif kekanak-kanakan. Selama berabad-abad dan bahkan ribuan tahun, manusia bermimpi melenyapkan "secara sekaligus" segala bentuk dan jenis penghisapan. Mimpi ini tetap sekedar mimpi sampai jutaan orang di seluruh dunia yang dihisap mulai bersatu untuk melakukan perjuangan konsisten, kokoh dan komprehensif merubah masyarakat kapitalis dalam arahan evolusi masyarakat tersebut yang terjadi secara alamiah. Mimpi-mimpi sosialis beralih menjadi perjuangan sosialis berjuta manusia hanya ketika sosialisme ilmiah Marx berhasil mengkaitkan desakan untuk berubah dengan perjuangan dari suatu kelas tertentu. Di luar perjuangan kelas, sosialisme hanyalah ungkapan kosong dan mimpi naif. Bagaimanapun, di Rusia, dua bentuk perjuangan yang berbeda dari dua kekuatan sosial yang berbeda tengah berlangsung di belakang penglihatan kita. Kaum proletar sedang berjuang melawan borjuasi, dimanapun hubungan-hubungan produksi kapitalis itu ada (dan hubungan produksi kapitalis itu ada – ini patut diketahui kaum revolusioner kita – bahkan dalam komune petani, misalnya: di tanah-tanah yang menurut titik pandang mereka telah seratus persenn "disosialisasikan"). Sedang sebagai bagian dari strata pemilik tanah kecil, borjuis kecil, kaum petani berjuang melawan seluruh kelangsungan hidup perhambaan, melawan birokrat dan para tuan tanah. Hanya mereka yang benar-benar mengabaikan ekonomi politik dan sejarah revolusi-revolusi dunia yang bisa keliru melihat bahwa ini adalah dua perang sosial yang terpisah dan berbeda. Menutup mata terhadap perbedaan perang-perang tersebut dengan cara menuntut suatu gerakan yang "sekaligus" sama saja menyembunyikan kepala di bawah ketiak orang dan menolak membuat analisis realita. Kaum sosialis-revolusioner yang telah kehilangan integritas pandangan-pandangan kuno Narodnik, bahkan telah merupakan ajaran-ajaran Narodnik itu sendiri. Seperti itu-itu juga ditulis dalam Revolutsionnaya Rossiya dalam artikel yang sama: "Dengan menolong kaum petani untuk mengenyahkan tuan tanah, tuan Lenin tanpa sadar sudah membantu berdirinya ekonomi borjuis kecil di atas reruntuhan pertanian kepitalis yang kurang lebih sudah berkembang. Tidakkah ini sebuah "langah mundur" dari titik pandang Marxisme ortodoks?"
Memalukan, saudara-saudara!! Mengapa anda lupa dengan tulisan orang-orang anda sendiri, Mr. V.V.! Periksa tulisannya, Destiny of Capitalism, juga Sketches, tulisan tuan Nikolai-on, [6] dan sumber-sumber lain tentang bijaknya anda. Anda kemudian akan mengingat kembali bahwa pertanian tuan tanah di Rusia itu memadukan dalam dirinya gambaran baik kapitalisme dan pemilikan hamba-hamba. Kemudian anda akan menemukan bahwa terdapat suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada sewa buruh, suatu sistem yang langsung mempertahankan sistem kerja tanpa upah. Jika lebih jauh lagi anda mencari pemecahan kesulitan tersebut pada buku macam Marxis ortodoks, seperti volume ke tiga Kapital-nya Marx, [7] anda akan temui bahwa dimanapun tak ada sistem kerja tanpa upah yang berkembang, dan dimanapun sistem itu tak bisa berkembang serta kemudian berubah menjadi pertanian kapitalis kecuali melalui perantaraan pertanian petani borjuis kecil. Dalam usaha anda menghalau Marxisme, anda malah mundur ke metode yang terlalu primitif, metode yang sudah demikian lampau digunakan; pada Marxisme secara langsung anda memberikan satu konsepsi pertanian kapitalis skala besar yang amat dangkal dan aneh melebihi konsep pertanian skala besar dengan dasar sistem kerja tanpa upah. Anda berpendapat bahwa karena hasil pertanian di tanah milik tuan tanah itu lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian petani maka perampasan tanah milik tuan tanah adalah suatu langkah yang terbelakang. Argumentasi ini layak dinyatakan oleh seorang anak sekolah dasar kelas 4. Sekedar pertimbangan, Tuan-tuan: memisahkan hasil-rendah tanah petani dari hasil-tinggi perkebunan tuan-tuan tanah ketika perbudakan dihapuskan, tidakkah itu merupakan sebuah "langkah mundur"?
Sistem ekonomi tuan tanah di Rusia saat ini merupakan perpaduan antara ciri-ciri kapitalisme dan pemilikan-perhambaan. Secara obyektif, saat ini perjuangan kaum petani melawan para tuan tanah adalah perjuangan melawan kelangsungan hidup perhambaan. Tapi mencoba menghitung seluruh kasus individual, mempertimbangkan setiap kasusnya dan menentukan secara tepat dengan ukuran skala seorang ahli obat, untuk menemukan kapan berakhirnya masa pemilikan-perhambaan dan kapitalisme dimulai, itu berarti mencoba menganggap Marxis sama dengan sifat teliti dan cermat. Kita tidak bisa menghitung bagian apa dari harga bahan-bahan yang dibeli dari sebuah toko kecil, yang mewakili nilai lebih dan bagian apa dari harga itu yang mewakili penipuan atas kerja buruh, dan sebagainya. Apakah itu berarti kita harus membuang teori nilai kerja, saudara-saudara?
Ekonomi tuan tanah kontemporer memadukan gambaran kapitalisme dan perhambaan. Tetapi dari kenyataan tersebut hanya ilmuwan saja yang bisa berkesimpulan bahwa inilah tugas kita untuk mempertimbangkan, menghitung dan memaparkan tiap menit gambaran dalam katagori sosial ini dan itu. Oleh karenanya hanya kaum utopialah yang dapat berkesimpulan bahwa, "tidak ada kebutuhan" bagi kita untuk melukiskan perbedaan di antara dua perang sosial yang berbeda. Sehingga sebenarnya, satu-satunya kesimpulan sesungguhnya yang muncul adalah bahwa baik dalam program maupun taktik, kita harus memadukan perjuangan proletariat yang sejati melawan kapitalisme dengan perjuangan demokrasi secara umum (dan petani secara umum) melawan penghambaan.
Makin jelas gambaran kapitalis pada ekonomi tuan tanah semifeodal saat ini, maka makin mendesak keharusan untuk mengorganisir proletariat pedesaan secara terpisah, karena ini akan lebih cepat menolong kapitalis sejati atau proletariat sejati, pihak yang berantagonisme ini menegaskan posisi mereka dimanapun perampasan tanah terjadi. Makin jelas gambaran kapitalis dalam ekonomi tuan tanah, makin cepat perebutan yang demokratik memberi dorongan pada perjuangan yang sesungguhnya untuk sosialisme – dan konsekuensinya, makin bahayanya membangun cita-cita palsu revolusi demokratik melalui pemakaian slogan "sosialisasi". Ini adalah kesimpulan yang ditarik dari kenyataan bahwa ekonomi tuan tanah adalah percampuran antara kapitalisme dan hubungan-hubungan pemilikan-perhambaan.
Jadi kita harus menggabungkan perjuangan proletar yang sejati dengan perjuangan petani pada umumnya, tetapi tidak mencampuradukan keduanya. Kita harus mendukung perjuangan demokratik dan perjuangan petani secara umum, tetapi tidak menenggelamkan diri dalam perjuangan yang tak berwatak kelas itu; kita tidak pernah boleh mencita-citakan perjuangan itu dengan slogan-slogan palsu seperti "sosialisasi", atau melupakan kebutuhan untuk mengorganisir kaum proletariat urban dan pedesaan dalam sebuah partai kelas yang sepenuhnya mandiri dari Sosial-Demokrasi. Sambil memberikan dukungan sepenuhnya para demokratisme yang paling kokoh, partai tersebut tidak akan membolehkan dirinya dialihkan dari jalan revolusioner oleh mimpi-mimpi reaksioner dan usaha coba-coba melakukan "persamaan" dalam sistem produksi komoditi. Perjuangan kaum petani melawan para tuan tanah saat ini merupakan sebuah perjuangan revolusioner; perampasan tanah-tanah milik para tuan tanah pada tahap sekarang dari suatu evolusi ekonomi dan politik adalah revolusioner dalam setiap seginya dan kita mendukung serta menjaga tindakan Revolusioner-Demokratik ini. Tapi menyebut tindakan ini adalah "sosialisasi", dan menipu dirinya maupun rakyat dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya "persamaan" dalam pola penguasaan tanah di bawah sistem produksi komoditi, merupakan utopia kaum borjuis kecil yang reaksioner, pandangan yang kita letakkan pada kaum Sosialis-Reaksioner.

Catanan

1. Proudhonisme adalah sebuah aliran yang namanya berasal dari nama Pierre Joseph Proudhon (1809-1865), seorang sosialis borjuis kecil dan anarkis Perancis. Meskipun tajam mengkritik masyarakat kapitalis, Proudhon gagal memahami bahwa satu-satunya jalan untuk mengakhiri kemiskinan, ketidaksamaan, penghisapan dan kebusukan-kebusukan hubungan kapitalis lainnya adalah dengan menghapuskan hubungan itu. Blanquisme adalah sebuah trend dalam gerakan sosialis Perancis yang diwakili oleh tokoh revolusioner terkemuka dan eksponen komunisme utopia: Louise Auguste Blanqui (1805-1881). Menurut Lenin, kaum Blanquis "mengharapkan umat manusia akan dibebaskan dari perbudakan upah, tidak melalui perjuangan kelas tetapi melalui suatu persekongkolan yang ditumbuhkan oleh sekelompok kecil intelektual." (V. I. Lenin, Collected Works, vol. 10, hal.392).
2. Narodisme adalah sebuah trend borjuis kecil dalam gerakan revolusioner Rusia tahun 1860 an dan 1870 an.
3. Suatu referensi pada aksi-aksi revolusioner kaum petani gubernia Poltava dan Kharkov di wilayah Ukraina (Rusia Kecil) akhir bulan Maret dan awal April 1902. Revolusi-revolusi itu dipercepat oleh kondisi petani yang sangat berat dan diperburuk oleh kegagalan panen dan kelaparan. Kaum petani menyerang tanah-tanah milik tuan-tuan tanah, merampas makanan dan makanan ternak serta menuntut redistribusi tanah. Gerakan ini dipadamkan dengan kekerasan.
4. Bernsteinisme adalah trend oportunis dalam gerakan Sosial Demokrat internasional pada akhir abad 19. Paham tersebut mengambil nama dari seorang revisionis, Eduard Bernstein (1850-1932), pemimpin sayap kanan ekstrim partai Sosialis-Demokrat Jerman dan Internasional kedua. Bernstein menentang perjuangan revolusioner oleh kelas buruh dan diktator proletariat, menyerukan kolaborasi antara golongan proletar dan borjuis dan menggaungkan slogan: "Gerakan adalah segalanya, tujuan akhir bukan apa-apa", yang berarti mengganti perjuangan revolusioner untuk sosialisme dengan perjuangan untuk reformasi dalam kerangka negara borjuis.
5. Sosialis-Revolusioner (S.R.s) adalah sebuah partai borjuis kecil di Rusia yang terbentuk akhir tahun 1901 dan awal tahun 1902. Organ-organ resminya adalah koran Revolutsionnaya Rossiya (Rusia Revolusioner) (1900-1905) dan majalah Vetsnik Russkoi Revolutsii (Majalah Revolusi Rusia) (1901-1905).
6. V.V. adalah nama samaran V.P. Vorontsov, penulis buku Destiny of Capitalism in Russia. Nikolai-on adalah nama samaran N. Danielson, penulis buku Sketches on Our Post-Reform Socialist Economy. Voronstsov dan Danielson adalah idolog Narodisme Liberal di tahun 1880-an dan tahun 1890-an.
7. Lihat Karl Marx, Capital, Volume III, Bab. XVLII ("Genesis of Capitalist Ground-Rent" – "Munculnya sewa tanah kapitalis").

Pemikiran Tokoh Filsafat

Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam “Existentialism and Humanism[1]

Oleh: Hendar Putranto
( Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta )

Pengantar[2] :

Ilustrasi Jean-Paul SartreFilsuf eksistensialis Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905. Karir filsafatnya baru mendapatkan perhatian yang besar dari publik intelektual setelah ia menulis dan menerbitkan L’être et le néant. Essai d’ontologie phénomenologique (1943). Dengan buku ini segera Sartre menjadi filsuf ternama dan diidolakan sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Meskipun buku ini mengorbitkan nama Sartre namun toh harus diakui bahwa tidak begitu banyak orang yang memahami pemikirannya yang memang rumit, khususnya yang berbicara tentang kesadaran. Untuk mempopulerkan idenya itu, maka tiga tahun kemudian Sartre mengeluarkan buku kecil berjudul L’existentialisme est un humanisme (1946). Lewat buku ini Sartre menyingkatkan pemikirannya sekaligus berupaya menanggapi sejumlah kritik yang dialamatkan kepadanya[3], khususnya dari kaum komunis dan pihak Kristen.
Buku itulah yang kini ingin kami eksplorasi dalam tulisan singkat ini. Adapun tujuan dekat dari penulisan ini adalah untuk memberikan sekelumit gambaran yang lebih terang mengenai eksistensialisme sebagaimana dimaksud Sartre dan dari situ kita bisa belajar sejumlah tema umum eksistensialisme seperti liberté (kebebasan), engagement (komitmen), angoisse (kecemasan), responsibilité (tanggungjawab), subjectivité (subjektivitas) dan bahwa ‘eksistensi mendahului esensi.’ Tujuan jauh dari tulisan ini adalah agar pembaca tergerak untuk langsung membaca dari sumber-sumber pertama dan bukan melulu tergantung dari keterangan yang diberikan dalam buku Sejarah Filsafat atau kritik atasnya. Selanjutnya diharapkan agar kita dapat menjadi kritis terhadap situasi dunia di sekeliling kita, kritis terhadap ideologi-ideologi yang bertebaran di sana-sini dan tidak lupa untuk menjadi kritis terhadap pemikiran Sartre dan terhadap diri sendiri. Tulisan akan dibagi menjadi 3 bagian pokok yang satu dengan lainnya saling berkaitan, walaupun mungkin secara longgar. Bagian pertama akan berbicara tentang eksistensialisme itu sendiri dengan keberagaman nuansanya. Dalam bagian kedua, penulis akan melihat apa yang dimaksud Sartre dengan humanisme. Pada bagian ketiga akan disampaikan sejumlah kritik atas pandangan Sartre. Mengingat keterbatasan ruang pengungkapan, tidak semua tema menarik yang dihantar oleh Sartre dalam bukunya tersebut akan penulis uraikan di sini.

Penjernihan istilah Eksistensialisme oleh Sartre

Atas sekian banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu Eksistensialisme, Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak, “Eksistensialisme itu tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme, misalnya dituduh sebagai nama lain dari pesimisme, quietisme[4], bahkan filsafat keputus-asaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat darinya[5]. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan bahwa kejelekan atau keburukan itu diidentikkan dengan eksistentialisme[6]. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan filsafat kaum bourgeois.
Dari pihak Katolik, seperti Mlle.Mercier, dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-ihwal yang memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu melulu voluntary. Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai.
Ada lagi yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke-terisolir-annya. Dan ini, dalam pandangan kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada subjektivitas murni---seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cogito-nya---karenanya, eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang tentang solidaritas.
Namun, apakah memang tepat tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Sartre dan eksistensialisme ini? Bagaimana Sartre membela dirinya dan membela paham yang ia anut? Pertama, ia sendiri juga menyayangkan bahwa istilah “eksistensialisme” dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga istilah “eksistensialisme” nyaris tidak punya arti apa-apa lagi[7]. Kedua, guna meluruskan salah-kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human universality of condition[8]. Dua definisi yang baru saja disebut di sini hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi[9] dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif. Apa maksud Sartre dengan proposisi ini?
Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife).[10] Seorang pembuat pisau kertas, disebut artisan, tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae) serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain, produksinya mendahului eksistensinya. Di sini, kita memandang dunia dari sudut pandang teknis. Namun, hal itu berbeda tatkala kita membayangkan Allah sebagai Sang Pencipta yang berarti mengatribusikan padaNya kualitas “seorang” supernatural artisan. Apapun doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa tatkala Allah menciptakan, Ia tahu persis apa yang sedang Ia ciptakan. Dengan begitu,  tiap individu manusia adalah realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu, manusia memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang esensi dirinya, di mana masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi tentang Manusia, entah itu animal rationale (Aristoteles), atau wild man of the woods (Rousseau), man in the state of nature (Thomas Hobbes), dan the bourgeois (Karl Marx).
Justru pandangan di mana “esensi manusia mendahului eksistensinya” seperti ini yang keliru dan dikritik tajam oleh Sartre. Bagi Sartre, jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya ada sebelum esensinya, sebuah makhluk yang eksis sebelum ia dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu adalah manusia.
Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia). Singkatnya, Manusia adalah[11].
Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari eksistensialisme: Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya?
Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis----bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya ini yaitu tentang humanisme.

Humanisme dalam pandangan Sartre

Di atas sudah kita singgung secara sepintas bahwa Sartre menempatkan martabat manusia lebih luhur daripada benda-benda. Dengan ini saja kita bisa beranggapan bahwa yang menjadi pusat perhatian Sartre adalah manusia dengan segala kompleksitas eksistensinya. Pandangan Humanisme yang kalau kita lacak dalam sejarah pemikiran Barat sebenarnya bertolak dari gerakan Humanisme di Eropa pada abad ke-15 dengan tokohnya yaitu Erasmus Huis. Gerakan Humanisme ini mencapai puncaknya pada saat Revolusi perancis (k.l. 1789-1799) di mana kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité)
dan persaudaraan (fraternité) menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak hanya manusia sebagai individu yang bebas dan otonom (dalam artian menentukan dirinya sendiri), namun juga kesadaran akan nilai intrinsik dari manusia itu sendiri dan tempatnya sebagai pusat dari realitas. Lalu, apakah Sartre sebenarnya hanya mengulangi apa yang sudah didengung-dengungkan beberapa ratus tahun sebelumnya dengan mengatakan humanisme? Apa yang baru dalam konsepsi Sartre tentang humanisme? Apa hubungannya eksistensialisme dengan humanisme?
Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya[12].  Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan dan kemanusiaan, dan untuk itu Allah harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip Dostoevsky[13], “Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan.” Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre. Manusia lantas tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is.”[14] Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia. Namun tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. A man is no other than a series of undertakings that he is the sum, the organisation, the set of relations that constitute these undertakings. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. I ought to commit myself and then act my commitment. Dan komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang  mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi[15], Sartre mau membangun kerajaan manusia (bukan Kerajaan Allah!) sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi. Subyektivitas sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Sebabnya apa? Meminjam istilah yang digunakan Descartes, namun sekaligus mengoreksinya, dalam kesadaran cogito, aku berpikir, tidak hanya diri sendiri yang ditemukan namun juga orang lain. Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian. Penyingkapan jati diriku pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasanku. Berhadapan baik dalam artian “bagi” atau “melawan.” Dengan begitu, kesadaran akan diriku dalam dunia ini sifatnya adalah inter-subjectivity. Berkenaan dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya a human universality of condition. Tanpa bermaksud masuk ke dalam detil dari uraian ini, cukuplah dikatakan di sini bahwa human universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan pemilihan lagi dan lagi selama hidupnya. Sebagai penutup dari bagian ini, kiranya pantas diajukan argumen ketiga yang memberikan ciri pada humanisme Sartre. Berangkat dari keberatan yang diajukan pada Sartre, “nilai-nilaimu itu tidaklah serius sebab bukankah kamu sendiri yang memilih mereka,”[16] Sartre menyanggahnya demikian. Pertama, Sartre sudah menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan nilai-nilai bagi manusia. Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create) nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Dan penemuan nilai-nilai ini berarti bahwa tidak ada yang à priori dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa jika belum dihayati. Dan penghayatan ini, engkau sendirilah yang menetukannya. Dan nilai atau makna atas kehidupan ini tak lain tak bukan adalah sesuatu yang engkau pilih. Karenanya menjadi jelas bahwa selalu ada kemungkinan untuk menciptakan sebuah komunitas manusia. Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia maksud dengan humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori yang meninggikan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan sebagai nilai tertinggi (supreme value).[17] Bagi Sartre ini humanisme yang absurd sebab hanya anjing atau kuda yang paling mungkin berada dalam posisi untuk melontarkan penilaian umum atas apa manusia itu. Seorang eksistensialis tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih harus ditentukan[18]. Humanity yang absurd semacam ini akan menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte (Comtian humanism), dan berpuncak pada Fascisme.
Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Karena manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya sendiri, self-surpassing, dan mampu meraih obyek-obyek hanya dalam hubungannya dengan ke-self-surpassing-annya, maka ialah yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian self-surpassing). Dan relasi antara transendensi manusia dengan subjectivitas (dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri melainkan selalu hadir dalam semesta manusia) itulah yang disebut Sartre dengan existential humanism. Ini disebut humanisme karena mengignatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak[19] secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.

Kritik dan tanggapan atas pandangan Sartre

Jeff Mason dalam tulisannya di philosophers.net[20] pernah mengatakan bahwa lebih indah dan lebih aman bagi manusia jika ia memiliki esensi lebih dulu daripada eksistensi. Ia dapat beristirahat dengan damai dalam relung nasib dan tidak perlu berjuang dengan susah-payah untuk mendefinisikan diri. Kalau itu yang terjadi, tidak perlu ada pilihan-pilihan eksistensialis, tidak akan ada tanggungjawab yang tak terpikul, tidak akan ada kecemasan yang mengalir. Kiat tinggal berharap akan imortalitas dan dunia “di sana.” Namun justru di sinilah kritik Sartre masuk dan mengena. Kita tidak bisa menipu diri sendiri (self-deception atau istilah Sartre mauvaise foi) dengan menghindar dari tanggungjawab pelibatan (engagement), lebih-lebih dalam artian sosial-politis. Walter Kaufmann bagaimanapun juga menafsirkan situasi manusia yang Sartre bangun dengan filsafatnya sebagai situasi yang absurd dan tragis. Dunia Sartre lebih dekat dengan dunia Shakespeare yang tragis-melankolis daripada dunia dalam pandangan Buddhist di mana life follows on life and salvation remains always possible[21].
Ada situasi-situasi tertentu di mana apapun keputusan dan pilihan yang kita buat, kita tidak bisa lari dari rasa bersalah. Walau demikian, dalam rasa bersalah dan kegagalan itu manusia tetap dapat mempertahankan integritasnya dan memberontak terhadap kungkungan-kungkungan maupun ancaman-ancaman yang datang dari dunia.[22]
Mengenai kebebasan sebagaimana didewakan Sartre dalam mengartikan eksistensi eksistensi=kebebasan), kita mungkin bisa meratap bersama John Macquarrie yang mengatakan bahwa semakin kita berbicara tentang kebebasan, semakin kebebasan itu tidak menjadi jelas artinya karena sifatnya yang elusif[23]. Sudah barang tentu, Sartre agak naïve saat mengatakan bahwa manusia itu bebas secara total dan sepenuhnya menentukan dirinya sendiri. Frederick Copleston lebih realistis tatkala berkomentar bahwa kebebasan kita itu sudah barang tentu dibatasi oleh segala macam faktor-faktor baik internal maupun eksternal. Apa saja misalnya? Faktor-faktor fisik dan psikis, lingkungan, pemeliharaan, pendidikan, tekanan sosial yang dihimpitkan pada kita secara terus menerus tanpa kita sadari[24] (atau bagi saya, lebih tepatnya, tatkala kita masih belum sampai pada tahap kesadaran untuk menyadari sesuatu yang membentuk diri kita). Mungkin yang baik saya anjurkan di sini, belajar dari Sartre, adalah  bahwa manusia itu dalam menentukan dirinya, ia terbuka terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan (opennes to possibilities). Dalam ruang kemungkinan-kemungkinan yang tanpa batas itulah manusia eksis, bertindak, mewujudkan dirinya dan setia terhadap janjinya (komitmen) dalam mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Dalam konteks sejarah di mana Sartre hidup (dunia yang dicabik-cabik oleh dua perang dunia, invasi tentara Jerman ke kota Paris pada tahun 1940, kekejaman NAZI atas nama ‘kemanusiaan’ demi pemurnian ras yang berujung pada puncak tragedi kemanusiaan selama abad ke-20 yaitu peristiwa Holocaust.) kritik dan filsafat Sartre ini memang kuat bersuara dan dengan lantang mengkritik orang-orang yang menipu dirinya sendiri, khususnya para penguasa/régime yang menyalahgunakan kekuasaannya dan melecehkan harkat kemanusiaan, entah dengan excuse ilmiah dan demi kemajuan (lalu bertindak kejam dan absurd) maupun dengan menghindar dari tanggungjawab sosial sembari berkata “kami tidak bisa berbuat apa-apa. Itu di luar kuasa kami. Itu sudah merupakan keniscayaan sejarah.”
Kini, puluhan tahun sesudah Sartre menerbitkan bukunya Existentialism and Humanism, kita dipanggil untuk menemukan otentisitas (authenticité) diri kita sebagai individu di tengah kepungan fenomena massa yang tanpa identitas dan juga dalam arus kemajuan teknologi-informasi yang semakin cepat berkembang di satu sisi namun juga semakin cepat mendevaluasi martabat manusia di sisi lain; dalam budaya pop yang menyetir keinginan-keinginan manusia dan pada gilirannya menentukan diri manusia (dan berarti merampas hak manusia untuk menentukan dirinya sendiri: self-determination). Bagaiamanapun, pesan filosofis dan analisis Sartre atas situasi manusia pada zamannya masih tetap relevan hingga kini.

Daftar Pustaka:

Acuan Utama:
  Sartre, Jean-Paul. Existentialism and Humanism. (Translated from ‘L’Existentialisme est un humanisme’, Paris: Les Editions Nagel (1946), Introduction by Philip Mairet). London: Eyre Methuen Ltd (1948).
Acuan Sekunder:
   Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama (1996), hlm. 81-120.
   Copleston, Frederick. A History of Philosophy: From Bergson to Sartre; Chapter XVI ∓mp; XVII: The Existentialism of Sartre. Garden City, Doubleday Co.: Image Books. 1962. Hlm. 340-389.
   Kaufmann, Walter. Existentialism from Dostoevsky to Sartre. Cleveland: The World Publishing Company. 1956.
   Macquarrie, John. Existentialism. Middlesex-England: Penguin Books. 1972.
   Mason, Jeff. Sartre"s Existential Humanism Part 1 taken from http://www.philosophersnet.com/article.php?id=172

Catatan Kaki

[1] Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism. Translated from ‘L’Existentialisme est un humanisme’, Paris: Les Editions Nagel (1946), Translation and Introduction by Philip Mairet, London: Eyre Methuen Ltd, 1948.
[2] Pada bagian pengantar ini, penulis mengutip sebagian dari deskripsi historis yang disampaikan Prof. Dr. K. Bertens dalam Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 84-86.
[3] Keyakinan ini sudah dikatakan oleh Sartre di bagian paling awal dari bukunya tersebut, “Tujuan saya menulis buku ini adalah untuk membela eksistensialisme dari sejumlah kritik yang ditujukan padanya.” (ibid. hlm. 23)
[4] Pengertian Quietisme di sini, sebagaimana disebutkan Sartre sendiri, adalah sikap orang yang berkata “biarkan orang lain mengerjakan apa yang tidak bisa kukerjakan.” (ibid. hlm. 41) Quietisme di sini dekat dengan pengertian non-doing, atau bahkan, seperti yang sering dikritik Sartre, cara hidup abad pertengahan: via contemplativa. Dan bukan via activa, hidup yang melibatkan diri dengan persoalan real yang dihadapi masyarakat, termasuk menceburkan diri ke dalam alam politik. Untuk pembedaan yang lebih terelaborasi mengenai tema ini (via activa vs. via contemplativa), lihat karya Hannah Arendt, The Human Condition, New York: Double Day Press, 1957.
[5] Ibid., hlm. 24, “The essential charge laid against us is that of over-emphasis upon the evil side of human life.” Di tempat lain ia mengatakan bahwa ada sejumlah orang yang mengeluh, “that existentialism is too gloomy a view of things.” (ibid., hlm. 25)
[6] Ibid. Di sini Sartre agak humoris dengan mengambil contoh dari seorang wanita yang saat terkaget atau sedang stress lalu mengumpat dengan kata-kata vulgar,  dan setelahnya memaafkan dirinya dengan berkata “I believe I am becoming an existentialist.”
[7] Ibid.,  hlm. 25-26.   [8] Ibid.,  hlm. 46.    [9] Ibid., hlm. 26.
[10] Yang dimaksud dengan paper knife ini bisa jadi berupa cutter (pemotong kertas) atau pembuka surat yang bentuknya memang seperti pisau tetapi ujungnya majal. Namun yang penting di sini bukan contoh benda konkretnya melainkan bagaimana Sartre menjelaskan analogi eksistensi dan esensi dengan menggunakan contoh benda-benda konkret.
[11] Ibid., hlm. 28. pantas dikutip secara panjang lebar di sini apa yang dikatakan Sartre, yang menurut hemat saya, menjadi  pemikiran sentral Sartre atas siapakah manusia itu. Dikatakan, “What do we mean by saying that existence precedes essence? We mean that man first of all exists, encounters himself, surges up in the world---and then defines himself afterwards. If man as the existentialist sees him is not defineable, it is because to begin with he is nothing. He will not be anything until later, and then he will be what he makes of himself. Thus, there is no human nature, because there is no God to have a conception of it. Man simply is.”
[12] Ibid., hlm. 33
[13] Dostoevsky dalam The Brothers Karamazov sebagaimana diucapkan oleh tokoh utama dalam cerita itu, Ivan.    [14] Ibid., hlm. 41.
[15] Ibid., hlm. 45. Dikatakan di situ, “All kinds of materialism lead one to treat everyman including oneself as an object---that is a set of pre-determined reactions, in no way different from the patterns of qualities and phenomena which constitute a table, or a chair or a stone.”   [16] Ibid., hlm. 54.
[17] Ini kritik Sartre atas humanisme à la Era Pencerahan (Aufklärung) yang terutama berpuncak pada imperatif kategoris Kant yang kedua yang kira-kira berbunyi demikian, “Perlakukanlah manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan bukan sebagai sarana atau alat untuk mencapai sesuatu”
[18] oleh dirinya sendiri dan bukan oleh kategori-kategori yang dipaksakan dari luar dirinya seperti dari tradisi atau pepatah bijak masa lalu.    [19] Sartre, op. cit., hlm. 56.
[20] Jeff Mason, Sartre"s Existential Humanism Part 1 taken from http://www.philosophersnet.com/article.php?id=172
[21] Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky to Sartre, Cleveland: The World Publishing Company, 1956, hlm. 47
[22] Bisa dibandingkan dengan integritas tokoh Ibbieta yang teruji di hadapan maut (regu tembak) dalam Novel “Dinding” (Le Mur, Editions Gallimard, 1939, hlm. 9-35) karya Sartre
[23] John Macquarrie, Existentialism , Middlesex-England: Penguin Books, 1972, hlm. 138. Dikatakan di situ, “But how can we talk at all of freedom or try to conceptualize it? However we try to grasp it, it seems to elude us. However precious we may esteem it, by its very nature it is insubstantial and fleeting.”
[24] Frederick Copleston, A History of Philosophy: From Bergson to Sartre; Chapter XVI ∓mp; XVII: The Existentialism of Sartre, Garden City, Doubleday Co.: Image Books, 1962, hlm. 355.