Istilah "pembimbing" berasal dari kata "bimbing" yang berarti "pimpin", "asuh", "tuntun". Membimbing sama dengan menuntun, seperti seorang dewasa yang sedang menuntun anak kecil atau anak yang baru belajar berjalan. Orang dewasa itu dapat membawa anak itu ke mana saja dikehendakinya. Demikian juga seorang guru adalah seorang pembimbing sekaligus penunjuk jalan dalam proses belajar mengajar, mengingat kelebihan pengalaman dan pengetahuannya. Dalam hal ini guru bertugas membimbing anak didiknya kepada tujuan pendidikan. Dengan kata lain, bimbingan merupakan suatu upaya untuk membantu para siswa dalam mencapai tujuan pendidikan di sekolah.
Setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu diketahui oleh seorang guru Kristen berkaitan dengan perannya sebagai pembimbing di dalam proses belajar mengajar di kelas.
Pertama, merencanakan program pelajaran sedemikian rupa sehingga menarik anak didik untuk mau belajar. Hal ini masih belum dilakukan oleh semua guru karena masih banyak keluhan dari murid-murid yang mengatakan tidak suka dengan suatu pelajaran karena guru tidak membawakannya dengan menarik. Oleh karena itu, kecakapan seorang guru dalam menyederhanakan pelajaran atau persoalan yang sukar mutlak diperlukan. Guru yang profesional harus dapat merumuskan hal- hal yang dipelajari dengan istilah yang sederhana sekaligus menyederhanakan suatu perkara sehingga dapat dipahami oleh anak didik.
Kedua, ia harus mengusahakan agar imajinasi anak didiknya turut aktif dalam proses belajar mengajar. Untuk mempelajari sesuatu, seseorang harus berpikir. Ada dua proses berpikir dasar, yaitu proses "meneruskan" dan "menghubungkan". Meneruskan, berarti melanjutkan, menuntut adanya sesuatu yang diteruskan. Sedangkan menghubungkan berarti memulai dengan dua gagasan yang terpisah dan berusaha menemukan jalan untuk menghubungkan keduanya. Kelancaran kedua proses ini sangat bergantung kepada imajinasi. Di dalam proses "meneruskan", kemudahan suatu gagasan untuk mengikuti gagasan yang lain bergantung kepada imajinasi. Demikian pula dalam proses "menghubungkan", imajinasi memberikan bentangan yang baik bagi titik tolak dan tujuan sehingga suatu hubungan dapat ditemukan dengan mudah.
Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa imajinasi sangat berperan dalam proses belajar mengajar. Dengan imajinasi anak didik dapat membayangkan apa yang sedang diterangkan guru dengan sangat hidup sehingga apa yang dimaksud guru dapat cepat dimengerti dan dipahami.
Ketiga, sebagai pembimbing, guru juga harus menyadari bahwa dia bertanggung jawab untuk membuat penilaian (evaluasi) terhadap proses belajar mengajar yang telah dilaksanakannya. Hal ini perlu dan sangat berarti, baik bagi siswa maupun bagi guru itu sendiri. Lewat evaluasi, seorang siswa dapat mengetahui sejauh mana ia berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Jika hasilnya memuaskan dan menyenangkan, tentu ia ingin memperolehnya lagi pada kesempatan lain. Akibatnya, motivasi siswa untuk belajar akan semakin besar. Namun, keadaan sebaliknya juga dapat terjadi. Seorang siswa yang sudah merasa puas dengan hasil yang diterima bisa saja mengendurkan kegigihannya. Kemungkinan lainnya ialah jika hasil yang diperoleh belum memuaskan, siswa akan terdorong untuk mendapatkan hasil yang lebih memuaskan, meskipun penilaian ini bisa saja menimbulkan keputusasaan.
Dengan evaluasi, guru dapat mengetahui siswa-siswa yang sudah berhasil maupun yang belum berhasil menguasai bahan. Dengan mengetahui hal itu, ia dapat memusatkan perhatian untuk menolong siswa yang belum berhasil.
Dengan evaluasi, guru juga dapat mengetahui apakah materi yang diajarkan dan metode yang digunakannya sudah tepat atau belum. Selain itu, evaluasi juga berguna untuk mengetahui sampai sejauh mana suatu program belajar mengajar berhasil diterapkan serta sampai sejauh mana tujuan sudah tercapai sehingga guru dapat merencanakan perbaikan-perbaikan yang dianggap perlu.
Peran guru sebagai pembimbing ini tidak hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Untuk dapat memerankannya guru Kristen harus memahami perkembangan anak didiknya secara umum. Salah satu ciri anak didik pada usia remaja adalah keadaan mereka yang labil dan mudah terombang-ambing. Mereka berada dalam masa pencarian identitas diri. Untuk mendapatkannya, mereka mencari orang yang dipandang layak untuk dijadikan "pahlawan/idola". Jika seseorang atau sekelompok orang yang dijadikan pahlawan itu berada pada sisi yang salah/tidak benar, remaja atau kelompok remaja itu pun akan terbawa-bawa dalam hal yang buruk.
Menghadapi situasi seperti ini, guru Kristen tidak akan luput dari sorotan/pengamatan anak didik. Oleh karena itu, guru Kristen dituntut untuk hidup selaras/sepadan dengan apa yang diajarkan dan dinasihatkannya, terlebih dengan firman Tuhan. Sebagai pembimbing, guru Kristen juga harus berupaya untuk memberikan pengajaran yang benar dan jujur. Ia harus menyediakan dirinya untuk menjadi contoh, teladan, serta panutan bagi anak didiknya.
Lalu teladan apa yang patut diberikan pembimbing terhadap anak didiknya? J. Reginal Hill mengatakan jika guru Kristen benar-benar berhasrat untuk membawa anak didiknya kepada Kristus, baiklah ia mulai memberikan apa yang dimilikinya. Hal utama yang harus dimiliki oleh guru Kristen adalah keselamatan jiwanya. Namun, tidaklah cukup sampai di situ karena iman yang bertumbuh diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatan. Karena itu, seorang guru Kristen yang sedang bertumbuh imannya harus menampilkan kesucian dalam hidupnya. Tanpa kesucian ini sia- sialah pemberitaannya, nasihat-nasihatnya, teguran-teguran bahkan pengajarannya.
Guru Kristen adalah penuntun dan penunjuk jalan kepada tujuan yang belum diketahui anak didik. Agar tuntunan dan petunjuknya dapat dipercaya, anak didik harus lebih dahulu melihat kehidupan dan teladan guru tersebut; apakah guru dapat dijadikan contoh atau teladan. Setelah mereka melihat dan percaya, barulah guru dapat menjadi penunjuk jalan dan bukan hanya sebagai rambu lalu lintas. Rambu lalu lintas hanya menunjukkan jalan, tetapi tidak dapat pergi sendiri, sedangkan seorang penunjuk jalan berjalan di depan mereka yang hendak diantarnya.
Peran guru sebagai teladan ini sangat mendukung proses bimbingan. Sikap Rasul Paulus yang telah menjadi teladan bagi Timotius adalah contoh yang nyata. Timotius, anak didik sekaligus pendamping dalam perjalanan dan pelayanan Paulus, dapat melihat kehidupan gurunya dengan jelas. Ia melihat betapa selarasnya kehidupan Paulus dengan pengajaran yang diberikannya kepada Timotius. Paulus memberikan teladan yang baik kepada Timotius sehingga Timotius pun terbeban untuk melayani Tuhan bersama-sama dengan Paulus. Teladan Paulus sekaligus menjadi pelajaran yang hidup bagi Timotius. Hasilnya, bimbingan yang dilaksanakan oleh Paulus terhadap Timotius mencapai tujuan yang maksimal, yaitu menjadikan Timotius pelayan Tuhan.
Kita telah mengetahui bahwa bimbingan merupakan suatu upaya untuk membantu para siswa dalam mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Di samping itu, bimbingan tersebut juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih luhur, yakni hidup baru dalam Kristus. Bahkan lebih jauh lagi, yaitu sampai pada perubahan hidup anak didik, yang terwujud dalam sikap dan mental yang menghormati Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya membantu anak didik dalam mencapai tujuan luhur itu tidak dapat diremehkan oleh guru Kristen mengingat anak didik pun memiliki serta mengalami masalah, baik di rumah maupun di sekolah. Masalah itu dapat berupa tekanan dari orang tua yang menuntut anaknya untuk bersikap baik dan sopan sementara pihak orang tua tidak mengajarkan atau memberi contoh bagaimana seharusnya bersikap baik dan sopan. Bahkan ada orang tua yang membiarkan begitu saja sehingga tidak ada perhatian dari pihak orang tua. Orang tua terlalu sibuk sehingga tidak tersisa waktu untuk membantu anaknya menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Masalah anak didik juga dapat muncul dari lingkungan sekolah. Ada anak didik yang tidak mampu menerima pelajaran secepat temannya. Bagi sebagian anak hal ini akan memengaruhi semangat belajarnya, juga harga dirinya.
Oleh karena itu, seorang guru harus peka dan bersikap terbuka untuk menolong dan membimbing penyelesaian masalah anak-anaknya. Pulias dan Young menegaskan bahwa seorang guru hendaklah mengenal murid- muridnya sedalam-dalamnya. Pengenalan yang dalam ini meliputi pengenalan akan kemampuan mereka, sampai sejauh mana tingkat kemampuan anak didik yang satu dengan anak didik lainnya. Hal lain yang perlu dikenal oleh guru Kristen sebagai pembimbing adalah tingkat perkembangan yang sesuai dengan tingkat usia murid, juga kelemahan-kelemahan serta minat khusus murid. Semakin dalam guru mengenal muridnya, semakin mampu pula ia membimbing mereka. Dengan demikian, ia akan mampu mengaitkan pengetahuan mata pelajaran yang diajarkannya dengan keperluan dan minat khusus murid-muridnya.