Rabu, 11 Mei 2011

COOPERATIVE LEARNING

di kutip dari :
Yuli Harnowo
Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Kebumen
Disusun dalam rangka pengembangan profesi
Warning !!!!!!!
Ini dikutip Sebagai bahan bacaan !
A. Teori teori yang mendasari
Menurut Ausubel dalam Isjoni (2007:35) bahan pelajaran yang dielajari haruslah bermakna (meaning full). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang . struktur kognitif ini ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa. Menurut Ausubel kebermaknaan proses pemecahan masalah dalam pembelajaran terletak pada kemampuan siswa dalam mengambil peran pada kelompoknya. Dengan demikian maka berdasar asumsi tersebut cooperative learning dapat diterapkan dalam mengatasi rasa jenuh dan bosan yang terjadi pada siswa dalam mengikuti pelajaran.
Berdasar teori Piaget dalam Isjoni (2007:36) setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut: 1. Sensori motor ( 0 – 2 tahun), 2. Pra operasional (2 – 7 tahun), 3. Opresional konkret (7 – 11 tahun), 4. Operasional formal (11 taun ke atas). Merujuk pendapat tersebut bahwa siswa SMP usia berkisar antara 12 – 14/15 tahun, maka masuk dalam katagori tingkat operasional formal. Pada periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Kemajuan utama pada anak selama periode ini adalah ia tidak perlu berfikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-peristiwa konkret. Ia mempunyai kemampuan untuk berfikir abstrak. Teori ini megacu pada kegiatan pembelajaran haruslah melibatkan partisipasi peserta didik, peserta didik haruslah bersifat aktif. Oleh karena itu: 1. cooperative learning dapat dilaksanakan pada jenjang SMP, 2 cooperative learning adalah sebuah model pembelajaran aktif dan partisipatif.
Teori Vygotsky dalam Isjoni (2007:39) mengemukakan pembelajaran merupakan suatu perkembangan pengertian. Ia membedakan adanya dua pengertian yang spontan dan yang ilmiah. Pengertian spontan didapatkan dari pengalaman anak sehari-hari. Pengertian ilmiah adalah pengertian yang didapatkan dari ruangan kelas atau yang diperoleh di sekolah. Kedua konsep itu saling berhubungan terus menerus. Apa yang dipelajari siswa di sekolah mempengaruhi perkembanan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya. Teori Vigotsky menekankan pada bakat sosiokulktural dalam pembelajaran, dengan demikian cooperative learning sangat cocok untuk diterapkan. Landasan teori yang dikembangkan pada pembelajaran kooperatif berdasarkan teori motivasi dan teori belajar kognitif konstruktivisme (Slavin:34). Teori Motivasi memandang bahwa pada pembelajaran kooperatif terutama memfokuskan pada penghargaan atau struktur tujuan dimana siswa bekerja. Struktur tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi dimana satu-satunya cara anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka bisa sukses. Oleh karena itu untuk meraih tujuan personal mereka, anggota kelompok harus membantu teman sati timnya untuk melakukan apapun guna membuat kelompok mereka berhasil, dan mungkin yang lebih penting mendorong anggota satu kelomponya untuk melakukan usaha maksimal.
Sementara teori kognitif lebih menekankan pada pengaruh dari kerja sama itu sendiri. Apakah kelompok tersebut mencoba meraih tujuan kelompoknya atau tidak. Sependapat dengan hal tersebut adalah Vygotsky. Vygotsky juga lebih menekankan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2008:37) “Fungsi-fungsi pertama kali terbentuk secara kolektif di dalam bentuk hubungan di antara anak-anak kemudian menjadi fungsi-fungsi mental bagi masing-masing individu”. Dengan kata lain bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut. Prinsip penerapan model pembelajaran kooperatif ini juga sesuai dengan yang dikehendaki oleh prinsip CTL (Contextual Teaching and Learning), yaitu tentang learning community.
Menurut teori Bruner dalam Winataputra (1995:3) ”belajar bukan semata merupakan unit perilaku yang pasif yang terlahir akibat stimulus, tetapi merupakan proses aktif dimana individu menggunakan prinsip dan hukum dan menerapkannya”. Dengan kata lain proses belajar bukan hanya terjadi pada diri individu seperti dalam model operant conditioning tetapi merupakan suatu proses dimana individu sendiri sengaja membuat hal itu terjadi melalui proses menerima dan mengunakan informasi.
Teori Belajar Sosial Bandura dalam Dahar (1989:27) menyatakan bahwa fungsi psikologi diterangkan sebagai interaksi yang kontinu dan timbal balik dari determinan-determinan pribadi dan determinan-determinan lingkungan. Lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang, tidak random; lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh oleh orang itu melalui perilakunya.
Gage dalam Dahar (1989:11) mendefinisikan ”belajar sebagai suatu proses di mana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”. Selanjutnya Dahar (1989:19) menyatakan bahwa menurut teori-teori perilaku, ”belajar merupakan suatu perubahan perilaku yang dapat diamati, yang terjadi melalui terkaitnya stimulus-stimulus dan respos-respons menurut prinsip-prinsip mekanistik. Jadi belajar melibatkan terbentuknya hubungan-hubungan tertentu antara satu seri stimulus-stimulus dan respons-respons”. Pandangan teori behavioristik (Muchith, 2008:48) bahwa ”proses pembelajaran akan menekankan pada proses pemberian stimulus (rangsangan) dan rutinitas respon yang dilakukan oleh siswa. Inti pembelajaran dalampandangan behavioristik terletak pada stimulus respon (S – R)”.
B. Pandangan Pakar lain
Menurut Thorndike (:51) ”belajar adalah proses dalam interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang jug dapat berupa pikiran, perasaan dan gerakan/ tindakan”.
Winkel (1996:53) merumuskan tentang ”belajar sebagai berikut: suatu aktivitas mental/ psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan iru bersifat secara relatif konstan dan berbeda. Selanjutnya pada halaman 55, Winkel menyempurnakan dengan menambahkan : ”perubahan-perubahan itu dapat berupa suatu hasil yang baru atau pula penyempurnaan terhadap hasil yang telah diperoleh. Hasil belajar dapat berupa hasil yang utama; dapat juga berupa hasil sebagai efek sampingan. Proses belajar dapat berlangsung dengan penuh kesadaran, dapat juga tidak demikian”.
Menurut Suparno (1997:1) berdasar kaum konstruktivisme, ”belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi arti entah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan”. Lebih lanjut Suparno mengutip pendapat Fosnot bahwa ”belajar bukanlah kegiatan pengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru, belajar bukanlah hasil perkembangan , melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang”. Suparno (1997: 64) menyimpulkan bahwa ”belajar adalah roses mengkonstruksi pengetahuan dar abstraksi pengalaman baik alami maupun manusiawi. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif”.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi Prestasi Belajar
Menurut Sri Maryati (2009:42) faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah : 1. kemampuan umum yang dikenal dengan IQ, 2. pengaruh layanan pendidikan dan pembelajaran unggul, 3. perkembangan dan ukuran otak, 4. kecerdasan emosional. Paradigma baru IQ dipandang tidak terlalu dominan, yang mengemuka menurut Ginanjar adalah : IQ, EQ, dan SQ. Yang lebih populer lagi adalag ESQ. Dan pada kenyataannya beberapa faktor penyebab lain adalah : 1. penguasaan materi oleh guru dengan baik, 2. penggunaan metode pembelajaran yang tepat dengan karakteristik materi, 3. penggunaan media yang komunikatif dan interaktif, 4. penerapan kondisi pembelajaran yang menyenangkan, dan 5. ketersediaan buku tau referensi yang relevan.
Sementara Ridwan dalam http://ridwan202.wordpress.com/2008/05/03/ . Untuk mencapai prestasi belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain; faktor yang terdapat dalam diri siswa (faktor intern), dan faktor yang terdiri dari luar siswa (faktor ekstern). Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri anak bersifat biologis sedangkan faktor yang berasal dari luar diri anak antara lain adalah faktor keluarga, sekolah, masyarakat dan sebagainya.
1). Faktor Intern
Faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri, adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern yaitu kecedersan/intelegensi, bakat, minat dan motivasi. a). Kecerdasan/intelegensi. Kecerdasan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu menunjukkan kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya. Adakalany perkembangan ini ditandai oleh kemajuan-kemajuan yang berbeda antara satu anak dengan anak yang lainnya, sehingga seseorang anak pada usia tertentu sudah memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawan sebayanya. Oleh karena itu jelas bahwa faktor intelegensi merupakan suatu hal yang tidak diabaikan dalam kegiatan belajar mengajar. b). Bakat. Bakat adalah kemampuan tertentu yang telah dimiliki seseorang sebagai kecakapan pembawaan. Bakat dalam hal ini lebih dekat pengertiannya dengan kata aptitude yang berarti kecakapan, yaitu mengenai kesanggupan-kesanggupan tertentu. c). Minat. Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenai beberapa kegiatan. Kegiatan yang dimiliki seseorang diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa sayang. Menurut Winkel (1996:24) minat adalah “kecenderungan yang menetap dalam subjek untuk merasa tertarik pada bidang/hal tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam bidang itu.” Berdasarkan pendapat di atas, jelaslah bahwa minat besar pengaruhnya terhadap belajar atau kegiatan. Bahkan pelajaran yang menarik minat siswa lebih mudah dipelajari dan disimpan karena minat menambah kegiatan belajar. Untuk menambah minat seorang siswa di dalam menerima pelajaran di sekolah siswa diharapkan dapat mengembangkan minat untuk melakukannya sendiri. Minat belajar yang telah dimiliki siswa merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya. Apabila seseorang mempunyai minat yang tinggi terhadap sesuatu hal maka akan terus berusaha untuk melakukan sehingga apa yang diinginkannya dapat tercapai sesuai dengan keinginannya.d). Motivasi. Motivasi dalam belajar adalah faktor yang penting karena hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa untuk melakukan belajar. Persoalan mengenai motivasi dalam belajar adalah bagaimana cara mengatur agar motivasi dapat ditingkatkan. Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar sorang anak didik akan berhasil jika mempunyai motivasi untuk belajar.
2). Faktor Ekstern. Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang sifatnya di luar diri siswa, yaitu beberapa pengalaman-pengalaman, keadaan keluarga, lingkungan sekitarnya dan sebagainya. Pengaruh lingkungan ini pada umumnya bersifat positif dan tidak memberikan paksaan kepada individu. a). Keadaan Keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Slameto bahwa: “Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama. Keluarga yanng sehat besar artinya untuk pendidikan kecil, tetapi bersifat menentukan dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia.” Adanya rasa aman dalam keluarga sangat penting dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Rasa aman itu membuat seseorang akan terdorong untuk belajar secara aktif, karena rasa aman merupakan salah satu kekuatan pendorong dari luar yang menambah motivasi untuk belajar. b). Keadaan Sekolah. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa, karena itu lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong untuk belajar yang lebih giat. Keadaan sekolah ini meliputi cara penyajian pelajaran, hubungan guru dengan siswa, alat-alat pelajaran dan kurikulum. Hubungan antara guru dan siswa kurang baik akan mempengaruhi hasil-hasil belajarnya. c). Lingkungan Masyarakat. Di samping orang tua, lingkungan juga merupakan salah satu faktor yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa dalm proses pelaksanaan pendidikan. Karena lingkungan alam sekitar sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi anak, sebab dalam kehidupan sehari-hari anak akan lebih banyak bergaul dengan lingkungan dimana anak itu berada.
Dengan demikian dapat dikatakan lingkungan membentuk kepribadian anak, karena dalam pergaulan sehari-hari seorang anak akan selalu menyesuaikan dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan lingkungannya. Oleh karena itu, apabila seorang siswa bertempat tinggal di suatu lingkungan temannya yang rajin belajar maka kemungkinan besar hal tersebut akan membawa pengaruh pada dirinya, sehingga ia akan turut belajar sebagaimana temannya.
D. Model Pembelajaran Kooperatif ( Cooperative Learning )
Dalam proses pembelajaran peran guru sangat dominan terhadap keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi belajarnya, karena gurulah yang akan mengelola seluruh komponen yang berpengaruh terhadap proses belajar mengajar. Menurut Usman (1995:4) “menyatakan peranan guru adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuan utama”.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang efektif seorang guru harus menguasai kompetensi profesinya. Selanjutnya Usman (1995:9) menyatakan bahwa “peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal sebagai mana yang dikemukakan oleh Adam & Decey dalam Basic Principle of Student Teaching, antara lain guru sebagai pengajar, pengelola kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, perencana, supervisor, motivator dan konselor”. Terkait dengan tugas guru sebagai pengajar, maka guru harus mengelola pengajaran tersebut agar tercapai proses pembelajaran yang efektif dan efisien, salah satu pengelolaan pengajaran guru harus memilih model pembelajaran yang tepat.
Sri Maryati (2009:33) menyatakan bahwa model adalah cara yang digunakan unuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Sementara secara umum istilah “model” diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sesuatu kegiatan. Dalam pengertian lain sering “model” juga diartikan sebagai barang tiruan atau benda tiruan dari benda yang sesungguhnya. Dalam penelitian ini model yang dimaksud berkaitan dalam proses pembelajaran sebagaimana pengertian model pembelajaran dikemukakan oleh para ahli.
Menurut Winataputra (1996:78), menyatakan bahwa “model pembelajaran” adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Toeti Soekamto (1999:2) menyatakan bahwa pengertian “model pembelajaran” diartikan sebagai suatu rencana mengajar yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu, dalam pola memperlihatkan kegiatan siswa, guru, sumber belajar, yang digunakan di dalam mewujudkan kondisi belajar atau sistem lingkungan yang menyebabkan terjadinya belajar pada siswa. Selanjutnya dituliskan model pembelajaran terdapat karakteristik berupa rentetan atau tahapan perbuatan/kegiatan guru siswa dalam peristiwa pembelajaran atau dikenal dengan istilah “syntaks”.
Sri Maryati (2009:33) metode pembelajaran digunakan untuk merealisasi strategi yang telah ditetapkan. Dengan demikian metode pembelajaran memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Sementara Indrawati (1999:2), mengatakan pengertian “model pembelajaran diartikan sebagai suatu bentuk rencana mengajar yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu, dalam pola tersebut dapat terlihat kegiatan guru, siswa, sumber belajar yang digunakan dalam mewujudkan kondisi belajar siswa. Dalam pola pembelajaran yang dimaksud dalam model pembelajaran terdapat karakteristik berupa rentetan atau tahapan kegiatan guru-siswa dalam peristiwa pembelajaran atau yang dikenal sintaks”. Lebih lanjut Winataputra (1996:78)., menyatakan bahwa “model pembelajaran” dikelompokkan menjadi empat kelompok, yakni: 1). model pengolahan informasi, 2). model personal, 3). model sosial dan 4). model sistem perilaku. Mengingat banyaknya model dalam pembelajaran maka penelitian ingin meneliti pengaruh “model sosial” struktur “pembelajaran cooperatif learning” dan “model sistem tingkah laku” struktur “ pembelajaran direct instruction”.
Pembelajaran Kooperatif oleh Noor dalam Sutanto (2000:7) dinyatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi mengajar yang mengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil. Di dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas siswa-siswa dengan tingkat kemampuan yang berbeda, siswa akan menggunakan sejumlah kegiatan belajar untuk mengembangkan pemahamannya terhadap suatu bahasan”. Sementara Johnson, Johnson, and Smith, sebagaimana ditulis oleh Kaufman, Felder dan Fuller (2008:1) menyatakan bahwa:
"Cooperative learning (CL) is an instructional paradigm in which teams of students work on structured tasks (e.g., homework assignments, laboratory experiments, or design projects) under conditions that meet five criteria: positive interdependence, individual accountability, face-to-face interaction, appropriate use of collaborative skills, and regular self-assessment of team functioning. Many studies have shown that when correctly implemented, cooperative learning improves information acquisition and retention, higher-level thinking skills, interpersonal and communication skills, and self-confidence (Johnson, Johnson, and Smith, 2008).http://en.wikipedia.org/wiki/Cooperative learning. page 1
--Deborah B. Kaufman, Richard M. Felder, Department of Chemical Engineering, North Carolina State University. --Hugh Fuller, College of Engineering, North Carolina State University.

“Yang artinya bahwa "Pembelajaran Kooperatif adalah paradigma pembelajaran dalam tim yang terdiri dari para siswa yang bekerja pada struktur tugas (misalnya, rumah tugas, percobaan laboratorium, atau desain proyek) di bawah kondisi yang memenuhi lima kriteria: positif saling tergantung, akuntabilitas individual, interaksi tatap muka, sesuai penggunaan keterampilan kolaboratif, dan penilaian diri secara reguler dalam fungsi tim. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa bila diterapkan dengan benar, belajar kooperatif meningkatkan pembelajaran dan penyimpanan informasi akuisisi, tinggi tingkat kemampuan berpikir, dan kemampuan komunikasi interaksi interpersonal, dan kepercayaan diri ( Johnson, Johnson, dan Smith, 2008)”.
Slavin (2008:8), menyatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang mengajarkan siswa ketrampilan kerjasama dan kolaboratif serta dapat dapat memahami konsep yang dianggap sulit oleh siswa”. Selanjutnya dikemukakan juga, bahwa langkah-langkah model pembelajaran kooperatif meliputi 6 (enam) fase yaitu: Fase 1 : menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, Fase 2 : menyampaikan informasi, Fase 3 : mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, Fase 4 : membimbing kelompok belajar dan bekerja, Fase 5 : evaluasi, dan Fase 6: memberikan penghargaan
Selanjutnya Lundgren dalam Isjoni (2007:13), menyatakan pengertiannya tentang “pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang menekankan siswa saling bekerjasama, membantu mempelajari informasi atau ketrampilan yang relatif telah terdefinisikan dengan baik”. Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: a. Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka “ sehidup sepenanggungan bersama” atau “tenggelam atau berenang bersama-sama”, b. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri, c. Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompok kelompoknya memiliki tujuan yang sama, d. Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara kelompoknya, e. Siswa akan diberikan hadiah / evaluasi yang dikenakan pada anggota kelompok, f. Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan ketrampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya, dan g. Siswa akan diminta mempertanggung-jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Elliott (2000:359) menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran yang mendesain siswa bekerja sama dalam menyelesaikan tugasnya.
Cooperative learning has been defined as a set of instructional methods in which students are encouraged or required to work together on academic tasks. That such methods may include having students sit together for discussion or help each other with assignments and more complex requirements. He distinguished cooperative learning from peer tutoring by noting that all students learn the same material, that there is no tutor and that the initial information comes from the teacher.

(Terjemahan: Pembelajaran kooperatif didefinisikan sebagai perangkat metode pembelajaran yang mana siswa dianjurkan atau dibutuhkan untuk bekerja sama dalam menyelesaikan tugas. Metode ini siswa duduk bersama untuk berdiskusi atau saling membantu menyelesaikan tugas atau permasalahan yang lebih komplek. Elliott membedakan pembelajaran kooperatif dari peer tutoring dengan mencatat bahwa semua siswa belajar materi yang sama yang mana tidak ada pengajar dan informasi awal berasal dari guru). Ornstein (2000:323), menyatakan bahwa “pembelejaran kooperatif merupakan pendekatan pembelajaran yang mana siswa bekerja bersama dalam menyelesaikan tugasnya”. Coopertive learning is an instructional approach gaining in popularity, whereby students work together in small groups instead of competing for recognition or grades. (Terjemahan: Pembelajaran kooperatif suatu pendekatan pembelajaran yang semakin populer, yang mana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil, berkompetisi untuk memperoleh penghargaan ataupun nilai).
Struktur kooperatif formal cooperative learning meliputi: a). Student Teams Achievement Divisions (STAD), b). Teams Games Tournament (TGT), c).Jigsaw. Sedang informal cooperative learning meliputi: a). Numbered Heads Together, b). Think – Pair – Share, c). Think-Pair-Square. Dalam tinjauan pembelajaran kooperatif terdiri dari 5 elemen dasar yaitu: 1). Saling ketergantungan yang positif (positive - interdependence), siswa harus bertanggungjawab atas belajarnya sendiri dan kelompok, 2) Interaksi saling tatap muka (interaksi face to face), siswa menjelaskan apa yang dipelajari pada orang lain, 3)Pertanggungjawaban individu ( individual accountability), siswa harus dapat bertanggungjawab atas penguasaan belajarnya, 4) Ketrampilan sosial (social skill), siswa harus berkomunikasi dengan efektif, menghormati sesama anggota kelompok dan bekerja sama memecahkan masalah, 5) Proses kelompok (group processing), siswa dinilai secara kelompok dan bagaimana siswa dapat meningkatkan hasilnya.
Cruickshank dalam Sutanto (2006), menyebutkan bahwa “cooperative learning is the term used to describe instructional procedures whereby learners work together in small groups and are rewarded for their collective accomplishments” (Terjemahan: Pembelajaran kooperatif adalah suatu hal yang digunakan untuk menggambarkan prosedur pengajaran yang mana siswa bekerjasama dalam kelompok kecil dan dihargai untuk prestasi mereka. Ada 4 (empat) karakteristik pembelajaran kooperatif, yaitu: 1). kelompok harus heterogen dalam beberapa hal seperti gender, kemampuan akademik, ras dan lain-lain, 2). jenis tugas yang dibuat merupakan tugas kelompok, 3) peran tingkah laku yang diperlukan anggota kelompok, tanggung jawab individu, pertanggungjawaban terhadap kelompok, dukungan dan dorongan anggota lain, bantuan teman, pengajaran dan kerja sama, dan 4) sistem pemberian hadiah yang unik.
Slavin (2008) menyebutkan bahwa langkah-langkah pembelajaran kooperatif meliputi: Persiapan (preparation) terdiri atas : a) menyediakan informasi dengan cara yang paling efektif, dan b) menyiapkan siswa untuk ikut serta dalam kerja kelompok sehingga mereka dapat menguasai informasi. Penyampaian (delivery) terdiri atas : a) menentukan tujuan kelompok (set the team goals), b) menyiapkan siswa kerja kelompok (prepare students for teamwork), c) memberikan penugasan kelompok (give the teams the assignment), d) memonitor kerja kelompok ( monitor the teams), e) pemberian dan penilaian quis pada siswa (Quiz the students and score) dan f) pengumuman prestasi (recognize team accomplishment). Penutup (closure) terdiri atas : a) ingatkan siswa apa yang telah dipelajari, b) informasi baru harus berkaitan dengan apa yang sudah mereka pelajari atau apa yang akan dipelajari, dan c) sediakan kesempatan untuk menerapkan atau menggunakan informasi yang mereka dapat. Henson dalam Sutanto (2006), menjelaskan bahwa: “cooperative learning is defined as students working together to achieve a common goal”. (Terjemahan: pembelajaran kooperatif didefinisikan sebagai kerja sama siswa untuk mencapai tujuan yang ditentukan). Dalam pembelajaran kooperatif siswa dibutuhkan untuk membentuk kelompok guna mencapai tujuan. Tugas dan tanggung jawab diidentifikasikan dan dibuat oleh guru atau siswa. Kesuksesan tergantung dari anggota kelompok dan nilai individu dibuat berdasarkan prestasi kelompok, hasil dan usaha kerjasama. Nilai merefleksikan kualitas dari kerja tim sebagaimana prestasi akademik. Combs dalam Sutanto (2006:9) dalam bukunya “ Models and Strategies for Training Design ”mengatakan :
“Cooeprative learning depends on small groups of learners. Although instructor-provided content and guidance characterize part of the instruction, cooperative learning deliberately incorporates small group so that the members work together to maximixe their own and each others learning. Each member is responsible for learning what is presented and for helping his or her teammates learn. When this cooperative takes place, the team creates an atmosphere of achievement, and thus learning is enhanced”.

Dalam pengertian ini, bahwa pembelajaran kooperatif tergantung pada kelompok-kelompok kecil siswa. Walaupun bimbingan dan isi menandai bagian dari instruksi, pembelajaran kooperatif dengan bebas menyertakan kelompok kecil sedemikian sehingga anggota bekerja sama secara maksimum mereka sendiri dan sesama siswa lain. Masing-masing anggota bertanggung jawab atas belajarnya dan untuk membantu kawan seregunya belajar. Ketika koopertif ini berlangsung, kelompok menciptakan suatu atmosfir dari prestasi, dan meningkatkan belajarnya.
Mengingat luasnya cakupan pengertian model pembelajaran kooperatif, maka dalam penelitian ini yang dimaksud pembelajaran kooperatif adalah strategi yang diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas, di mana siswa duduk dalam tatanan kelompok kecil-kecil yang terdiri 4 – 5 orang untuk melakukan proses pembelajaran melalui sintaks-sintaks demi mencapai tujuan secara kooperatif. Langkah yang dilakukan adalah : 1). guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar, 2). guru menyajikan informasi baik melalui demonstrasi atau membaca, 3). mengorganisasikan siswa duduk dalam tatanan kelompok untuk bekerja dan belajar. Anggota kelompok yang dibentuk berdasarkan heterogen kemampuan siswa, 4). membimbing kelompok bekerja dan belajar, guru mengamati dan membimbing siswa secara kelompok untuk mendiskusikan tugas yang dilakukan mencapai tujuan bersama, 5). evaluasi, yaitu guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya, dan 6). memberikan penghargaan, yaitu guru mencari cara-cara menghargai baik berupa upaya maupun hasil belajar individu atau kelompok.
Senada dengan Lundgren Roger dan David Johnson dalam Anita Lie (2008:31) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajarn Cooperative Learning harus diterapkan yaitu : a. Saling ketergantungan positif, b. Tanggungjawab individual, c. Tatap muka, d. Komunikasi antar anggota, dan e. Evaluasi proses kelompok. Selanjutnya Muslimin (2000:6) menyatakan bahwa ”pembelajaran yang menggunakan model kooperatif dapat memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya, b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah, c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin berbeda-beda, dan d. Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu”
Borich dalam Sutanto (2006: 10), mengemukakan: ”Cooperative learning is important in helping learners acquire from the curriculum the basic cooperative attitudes and value they need to think independently insede and outside of your classroom” (Terjemahan: Pembelajaran kooperatif penting dalam membantu siswa belajar dari kurikulum sikap dasar kooperatif dan nilai kooperatif mereka diperlukan untuk berpikir mandiri baik di dalam dan di luar kelas). Hasil siswa yang diharapkan dari pembelajaran kooperatif adalah: 1) Sikap dan nilai (attitudes and values), 2). Tingkah laku sosial (prosocial behavior), 3). Proses berpikir lebih tinggi ( higher thought processes). Dalam pembelajaran kooperatif meliputi 5 langkah yaitu: 1) Penentuan tujuan kegiatan (specifying the goal of the activity), 2) Pembentukan tugas ( structuring the task), 3) Pembelajaran dan evaluasi proses colaboratif (teaching and evaluating the collaborative procces), 4) Pemantauan penamplan kelompok (monitoring group performance) dan 5) Tanya jawab (debriefing). Joyce (2000:445), menyebutkan bahwa: “Recent research indicates that teams of heterogeneous learners can increase the collaborative skill , self – esteem, and achievement of individual learners. Four team oriented cooperative learning techniques have been particularly successful in bringing about these outcomes”. (terjemahan: Baru-baru ini penelitian mengindikasikan tim pembelajaran yang heterogen dapat menambah ketrampilan kooperatif, penaksiran diri dan pencapaian belajar individu. Ada 4 teknik pembelajaran kooperatif yang dapat membuat sukses dalam membawa hasil pembelajaran).
Struktur pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan pada seluruh mata pelajaran secara umum dan pada berbagai tingkat/jenjang pendidikan:
1. STAD (Student Team Achevement Division), yang diterapkan pada siswa sekolah menengah. Siswa-siswa yang berkemampuan berbeda dibagi ke dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas 4-5 orang ditugasi untuk mempelajari apa yang telah diajarkan oleh guru. Dalam kelompok ini diharapkan masing-masing siswa akan dapat meningkatkan pemahamannya masing-masing setiap siswa diuji sendiri-sendiri. Kelompok juga dinilai berdasarkan tingkat kemajuan yang melampui tingkat kemampuan rata-rata. Menurut Slavin (2008:1) dalam STAD (Student Team Achievement Division), para siswa dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Selanjutnya semua siswa mengerjakan kuis mengenai materi secara sendiri-sendiri, dimana saat itu mereka tidak diperbolehkan untuk saling bantu.
Skor kuis para siswa dibandingkan dengan rata-rata pencapaian mereka sebelumnya, dan kepada masing-masing tim akan diberikan poin berdasarkan tingkat kemajuan yang diraih siswa dibandingkan hasil yang mereka capai sebelumnya. Poin kemudian dijumlahkan untuk memperoleh skor tim, dan tim yang berhasil memenuhi kriteria tertentu akan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lainnya. Selurh rangkaian kegiatan, termasuk presentasi yang disampaikn guru, praktik tim, dan kuis biasanya memerlukan waktu 3 – 5 periode kelas.
The cooperative learning techniques used in this study was the Student Achievement Dividions' (STAD) method developed by Robert Slavin (1986). STAD has been described as the simplest of a group of cooperative learning techniques referred to as STudent Team Learning Methods. In the STAD approach students are assigned to four or five member teams reflecting a heterogeneous grouping of high, average, and low achieveing students of diverse ethnic backgrounds and different genders. Each week, the teacher introduces new material through a lecture, class discussion, or some form of a teacher presentation. Team members then collaborate on worksheets designed to expand and reinforce the material taught by the teacher. Team members may (a) work on the worksheets in pairs, (b) take turns quizzing each other, (c) discuss problems as a group, or (d) use whatever strategies they wich to learn the assigned material. Each team will then receive answer sheets, making clear to the students that their task is to learn the concepts not simply fill out the worksheets. Team members are instructed that their task is not complete until all team members understand the assigned material. Journal of social studies reseach, Spring 2008. page 2.

“Terjemahan Teknik Belajar Kooperatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah Divisi Kelompok Siswa Berprestasi (STAD) metode yang dikembangkan oleh Robert Slavin (1986). STAD dideskripsikan sebagai teknik belajar kelompok sederhana yang disebut Metode belajar kelompok siswa. Di dalam pendekatan STAD siswa ditugaskan untuk empat atau lima anggota tim mencerminkan heterogen pengelompokan yang tinggi, rata-rata, dan sikap rendah, siswa beragam etnis dan latar belakang berbeda jenis kelamin. Setiap minggu, guru memperkenalkan bahan baru melalui ceramah, diskusi kelas, atau beberapa bentuk presentasi guru. Anggota tim kemudian berkolaborasi pada kertas kerja yang dirancang untuk memperluas dan memperkuat materi yang diajarkan oleh guru. Anggota tim dapat (a) bekerja di worksheet di pasang, (b) quizzing bergiliran satu sama lain, (c) membahas masalah-masalah sebagai salah satu grup, atau (d) menggunakan strategi apa yang mereka untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Setiap tim akan menerima lembar jawaban, sehingga jelas kepada siswa bahwa tugas mereka adalah untuk mempelajari konsep-konsep tidak hanya mengisi worksheet. Anggota tim yang diinstruksikan bahwa tugas belum selesai sampai semua anggota tim memahami materi yang diberikan).
Selanjutnya Slavin (2008: 143) “STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan. STAD terdiri dari atas lima komponen utama : presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, rekognisis tim “.
Presentasi Kelas. Materi dalam STAD pertama-tama diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Ini merupakan pengajaran langsung seperti yang sering kali dilakaukan atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru, tetapi bisa juga memasukkan presentasi audiovisual.
Tim. Tim terdiri dari empat atau lima siswa yag mewakili seluruh bagian kelas dalam hal kinerja akademik, jens kelamin,ras, dan etnisitas. Fungsi utama dari Tim ini adalah memastikan bahwa semua anggota benar-benar belajar, dan lebih khususnya lagi, adalah untuk mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik. Ditekankan bahwa anggota tim melakukan yang terbaik untuk tim dan tim pun melakukan yang terbaik untuk membantu tiap anggotanya.
Kuis. Setelah sekitar satu atau dua periode setelah guru memberikan presentasi dan sekitar satu atau dua periode praktik tim, para siswa akan mengerjakan kuis individual. Para siswa tidak diperbolehkan untuk saling membantu dalam mengerjakan kuis. Sehingga siswa bertanggung jawab secara individual untuk memahami materi.
Skor Kemajuan Individual. Gagasan dibalik skor kemajuan individual adalah untuk memberikan kepada tiap siswa tujuan kinerja yang akan dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik daripada sebelumnya. Tiap siswa dapat memberikan kontribusi poin yang maksimal kepada timnya dalam skor ini, tetapi tak ada siswa yang dapat melakukannya tanpa memberikan usaha mereka yang terbaik. Tiap siswa diberikan skor awal yang diperoleh dari rata-rata kinerja siswa tersebut sebelumnya dalam mengerjakan kuis yang sama. Siswa selanjutnya akan mengumpulkan poin untuk tim mereka berdasarkan tingkat kenaikan skor kuis mereka dibandingkan dengan skor awal mereka.
Rekognisi tim. Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu, skor tim siswa dapat juga digunakan untuk menentukan dua pulu persen dari peringkat mereka. Gagasan utama dari STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya dapat saling endukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Jika para siswa ingin agar timnya mendapatlkan penghargaan tim, mereka harus membantu teman satu timnya untuk bisa melakukan yang terbaik, menunjukkan norma belajar itu penting, berharga, dan menyenangkan.
Meski para siswa belajar bersama, mereka tidak boleh saling bantu dalam mengerjakan kuis. Tiap siswa harus tahu materinya. Tanggung jawab individual seperti ini memotivasi siswa untuk memberi penjelasan dengan baik satu sama lain, karena satu-satunya cara bagi tim untuk berhasil adalah dengan membuat semua anggota tim menguasai informasi atau kemampuan yang diajarkan.
2. JIGSAW, Setiap anggota kelompok diberi tugas mempelajari bagian tertentu dari suatu topik. Setelah bergabung dengan anggota kelompok lain yang mendapat tugas serupa dan menjadi “ahli” untuk bagian tertentu siswa kembali ke kelompok asal dan menyajikan temuannya. Seluruh anggota kelompok diberi kuis yang meliputi seluruh topik. JIGSAW menurut Slavin (2008: 14) adalah ”adaptasi dari teknik teka-teki Aronson (1978)”. Dalam teknik ini, siswa bekerja dalam anggota kelompok yang sama, yaitu empat orang, dengan latar belakang yang berbeda. Para siswa ditugaskan untuk membaca bab, buku kecil, atau materi lain, biasanya bidang studi sosial, biografi, atau materi-materi yang bersifat penjelasan terperinci lainnya. Tiap anggota tim ditugaskan secara acak untuk menjadi ahli dalam aspek tertent dari tugas membaca tersebut. Sebagai contoh misalnya, dalam unit pelajaran tentang Mexico, salah satu siswa dalam masing-masing tim dipilih untuk menjadi ahli sejarah, yang lain ahli ekonomi, yang ketiga ahli geografi, dan yang keempat ahli budaya. Setelah membaca materinya , para ahli dari tim yang berbeda bertemu untuk mendiskusikan topik yang sedang mereka bahas, lalu mereka kembali kepada timnya utuk mengajarkan topik mereka itu kepada teman satu timnya. Akhirnya, akan ada kuis atau bentuk penilaian lainnya untuk semua topik. Penghitungan skor dan rekognisi didasarkan pada kemajuan yang dicapai seperti dalam STAD.
Jigsaw was the name of a teaching technique devised by Harold Aarons many years ago. It is a cooperative learning strategy that he developed as a teacher of physics. The method is simple enough in principle. The instructor has students working in groups. Each group is given a specific piece of a problem to study from a particular viewpoint. They become experts in that part of the problem. Meanwhile, other groups are working on other parts of the puzzle and becoming experts themselves. Each group only sees the part they are focusing upon. Finally, when the time is right, the teacher asks the class to reassemble in new arrangements. One person is drawn from each group and put together into new groups. So you end up with "experts" from different groups sitting together where they pool their information to form a complete picture. That's jigsaw. http://www.jigsaw.org/overview.htm. page 1.Jigsaw
“Jigsaw adalah nama sebuah teknik pengajaran dibuat oleh Harold Aarons bertahun-tahun yang lalu. Ini merupakan strategi pembelajaran koperasi yang ia dikembangkan sebagai guru fisika. Dengan metode yang cukup sederhana pada prinsipnya. Instruktur mempunyai siswa bekerja dalam kelompok.. Setiap kelompok diberikan tertentu bagian dari masalah untuk belajar dari sudut pandang tertentu.. Mereka yang menjadi ahli dalam bagian dari masalah. Sementara itu, kelompok lain yang bekerja pada bagian dari teka-teki dan menjadi ahli sendiri.. Setiap kelompok hanya melihat bagian atas mereka fokus. Akhirnya, saat waktu yang tepat, guru kelas meminta kembali ke dalam perjanjian baru. Satu orang yang diambil dari setiap kelompok dan digabungkan ke dalam kelompok-kelompok baru. Sehingga Anda berakhir dengan "tenaga ahli" dari berbagai kelompok duduk bersama mereka di mana mereka renang informasi lengkap untuk membentuk sebuah gambar. Itulah Jigsaw”.
The Jigsaw Strategy is a cooperative learning technique appropriate for students between 3rd and 12th grade. This strategy is an efficient way of teaching material that also encourages listening, engagement, interaction, teaching, and cooperation by giving each member of the group an essential part to play in the academic activity. The strategy involves breaking the classroom into small groups of four to six students. Each group is responsible for a specific piece of knowledge that they will discuss with other classmates. http://www.jigsaw.org/overview.htm. page 1. Jigsaw Classroom
“Strategi Jigsaw adalah teknik belajar kelompok belajar yang sesuai untuk siswa antara 3 – 12 tingkatan. Strategi ini adalah cara yang efisien bahan pengajaran yang juga mendorong mendengar, keterlibatan, interaksi, mengajar, dan kerjasama dengan memberikan masing-masing anggota kelompok satu bagian penting untuk dimainkan di dalam kegiatan akademis. Strategi ini kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dari empat sampai enam siswa. Setiap kelompok bertanggung jawab atas bagian tertentu dari pengetahuan bahwa mereka akan membicarakan dengan teman sekelas lainnya”.
Menurut Sunarni (2008:7) ciri-ciri pembelajaran model JIGSAW adalah sebagai berikut : a. Siswa dibagi berkelompok dengan anggota 5 – 6 siswa heterogen, b. Materi pelajaran diberikan pada siswa dalam bentuk teks yang dibagi menjadi beberapa sub bab, c. Setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan bertanggung jawab untuk mempelajari bagian yang diberikan, d. Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu dengan kelompok ahli untuk mendiskusikan sub bab mereka, e. Selanjutnya siswa kembali ke kelompok asal mereka dan bergantian mengajar temna satu kelompok mereka tentang sub bab mereka, dan f. Setelah selesai pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa dikenai kuis secara individual tentang materi yang dipelajari.
Sementara menurut Aronson (2008) dalam Jigsaw Classroom menyatakan bahwa:
“The jigsaw classroom is a cooperative classroom technique that is considered effective in decreasing racial conflict and increasing positive educational outcomes. It was originally developed by Aronson and his colleagues in order to reduce racial animosity and tension in desegregated classrooms.citation needed Like a jigsaw each piece, or student part, is important for the completion for a full understanding of the final product. Each student is essential because they each have an essential piece of information to add to the group. There are a number of benefits seen by using the jigsaw classroom approach. It is an efficient way in which to learn the material. Students are encouraged to listen, engage, and display empathy since each member of the group is important to the academic activity. Members of the group have to work together in order to establish a common goal. Each member is interdependent on each other. Cooperation and communication are necessary because no one can succeed completely unless each member contributes (Aronson, 2008). http://www.jigsaw.org/overview.htm. page 1. Jigsaw Classroom

“Kelas Jigsaw adalah teknik pembelajaran kelompok koperasi kelas teknik yang dianggap efektif dalam menurunkan konflik ras dan meningkatkan pendidikan hasil positif. Ini pada awalnya dikembangkan oleh Aronson dan rekan-rekannya untuk mengurangi rasa permusuhan dan ketegangan rasial di desegregated kelas. Perlu diperhatikan. Seperti sebuah gergaji ukir masing-masing bebas, atau bagian-bagian siswa, adalah penting untuk menyelesaikan penuh untuk memahami produk akhir. Setiap siswa sangat penting karena mereka masing-masing memiliki informasi penting untuk diberikan ke dalam grup. Terdapat beberapa keuntungan dilihat dengan menggunakan pendekatan kelas jigsaw. Ini adalah cara yang efisien untuk mempelajari materi. Siswa dianjurkan untuk mendengarkan, terlibat, dan menampilkan empati sejak setiap anggota kelompok bekerja bersama adalah hal penting bagi kegiatan akademik. Anggota kelompok harus bekerja sama untuk membentuk suatu tujuan umum. Setiap anggota saling pada satu sama lain. Kerjasama dan komunikasi yang diperlukan karena tidak ada seorangpun yang dapat berhasil sepenuhnya kecuali kontribusi masing-masing anggota (Aronson, 2008)”.
Lebih lanjut Aronson, (2008) menyatakan bahwa :
“The jigsaw classrom is very simple to use. If you're a teacher, just follow these steps: 1. Divide students into 5- or 6-person jigsaw groups. The groups should be diverse in terms of gender, ethnicity, race, and ability. 2.Appoint one student from each group as the leader. Initially, this person should be the most mature student in the group. 3. Divide the day's lesson into 5-6 segments. For example, if you want history students to learn about Eleanor Roosevelt, you might divide a short biography of her into stand-alone segments on: (1) Her childhood, (2) Her family life with Franklin and their children, (3) Her life after Franklin contracted polio, (4) Her work in the White House as First Lady, and (5) Her life and work after Franklin's death. 4. Assign each student to learn one segment, making sure students have direct access only to their own segment. 5. Give students time to read over their segment at least twice and become familiar with it. There is no need for them to memorize it. 6. Form temporary "expert groups" by having one student from each jigsaw group join other students assigned to the same segment. Give students in these expert groups time to discuss the main points of their segment and to rehearse the presentations they will make to their jigsaw group. 7. Bring the students back into their jigsaw groups. 8. Ask each student to present her or his segment to the group. Encourage others in the group to ask questions for clarification. 9. Float from group to group, observing the process. If any group is having trouble (e.g., a member is dominating or disruptive), make an appropriate intervention. Eventually, it's best for the group leader to handle this task. Leaders can be trained by whispering an instruction on how to intervene, until the leader gets the hang of it. 10. At the end of the session, give a quiz on the material so that students quickly come to realize that these sessions are not just fun and games but really count. http://www.jigsaw.org/step.htm. page 1. Jigsaw Classroom

“Kelas Jigsaw sangat mudah digunakan. Jika Anda seorang guru, cukup ikuti langkah berikut: 1. Membagi siswa kedalam 5 - atau 6-orang gergaji ukir kelompok. Kelompok-kelompok harus beragam dalam hal jenis kelamin, etnis, ras, dan kemampuan. 2. Menunjuk salah satu siswa dari setiap kelompok sebagai pemimpin. Pada awalnya, orang ini harus yang paling matang siswa dalam grup. 3. Membagi hari menjadi pelajaran 5-6 segmen. Untuk contoh , jika anda ingin belajar sejarah tentang Eleanor Roosevelt, Anda dapat membagi sebuah biografi singkat dia menjadi segmen segmen sendiri menjadi : (1) masa kecilnya, (2) Franklin dengan kehidupan keluarga dan anak-anak mereka, (3) hidupnya setelah kontrak Franklin polio, (4) bekerja di Gedung Putih sebagai Ibu, dan (5) Ia hidup dan bekerja Franklin setelah kematian. Belajar. 4. Tugaskan setiap siswa untuk belajar satu segmen, pastikan siswa hanya memiliki akses langsung ke masing-masing segmen. 5. Memberikan siswa waktu untuk membaca segmen atas mereka minimal dua kali dan menjadi akrab dengannya. Tidak perlu bagi mereka untuk peringatan itu. 6. . Bentuk sementara "kelompok ahli" dengan salah satu siswa dari setiap grup bergabung dalam Jigsaw siswa lain yang ditugaskan ke segmen yang sama. Memberikan siswa dalam kelompok ahli waktu untuk mendiskusikan poin utama dari masing-segmen dan presentasi yang berkali-kali mereka akan membuat mereka kelompok Jigsaw. 7. Membawa para siswa kembali ke kelompok Jigsaw mereka. 8. Meminta setiap siswa untuk dia atau segmen ke grup. Mendorong orang lain dalam grup untuk mengajukan pertanyaan untuk klarifikasi. 9. Float dari grup ke grup, mengamati proses. Jika salah satu grup mengalami kesulitan (misalnya, anggota yang mendominasi atau mengganggu), membuat intervensi yang sesuai. Pada akhirnya, itu terbaik untuk grup pemimpin untuk menangani tugas ini. Pemimpin dapat dilatih oleh bisikan sebuah instruksi tentang bagaimana melakukan intervensi, sampai mendapatkan pemimpin yang menggantung. 10. Pada akhir sesi, memberikan kuis pada materi sehingga siswa dengan cepat datang untuk menyadari bahwa sesi ini bukan hanya kesenangan dan permainan, tapi dihitung).
Dan Aronson memberikan gambaran tentang tahapan dalam Jigsaw sebagai berikut :
“According to Aronson (2008) there are ten steps considered important in the implementation of the jigsaw classroom. 1. Students are divided into a 5 or 6 person jigsaw group. The group should be diverse in terms of ethnicity, gender, ability, and race. 2. One student should be appointed as the group leader. This person should initially be the most mature student in the group. 3. The day’s lesson is divided into 5-6 segments (one for each member). 4. Each student is assigned one segment to learn. Students should only have direct access to only their own segment. 5. Students should be given time to read over their segment at least twice to become familiar with it. Students do not need to memorize it. 6. Temporary experts groups should be formed in which one student from each jigsaw group joins other students assigned to the same segment. Students in this expert group should be given time to discuss the main points of their segment and rehearse the presentation they are going to make to their jigsaw group. 7. Students come back to their jigsaw group. 8. Students present his or her segment to the group. Other members are encouraged to ask question for clarification. 9. The teacher needs to float from group to group in order to observe the process. Intervene if any group is having trouble such as a member being dominating or disruptive. There will come a point that the group leader should handle this task. Teachers can whisper to the group leader as to how to intervene until the group leader can effectively do it themselves. 10. A quiz on the material should be given at the end so students realize that the sessions are not just for fun and games, but that they really count. http://www.jigsaw.org/strategy.htm. page 3. Jigsaw Classroom
“Menurut Aronson (2008) ada sepuluh langkah yang dianggap penting dalam pelaksanaan gergaji ukir kelas. 1. Siswa dibagi ke dalam 5 atau 6 orang dalam kelompok Jigsaw. gergaji ukir grup. Grup harus beragam dalam hal etnis, jenis kelamin, kemampuan, dan ras. 2. Satu siswa harus ditunjuk sebagai pemimpin kelompok. Orang ini pada awalnya harus menjadi siswa yang paling matang dalam grup. 3. Pada hari pelajaran dibagi menjadi segmen 5-6 (satu untuk setiap anggota). 4. Setiap siswa diberikan satu segmen untuk belajar. Siswa hanya memiliki akses langsung ke segmen hanya mereka sendiri. 5. Siswa harus diberikan waktu untuk membaca segmen atas mereka minimal dua kali untuk menjadi akrab dengannya. Siswa tidak perlu mengingat hal. 6. Sementara kelompok ahli harus dibentuk di mana masing-masing satu siswa dari kelompok Jigsaw bergabung dengan siswa lain yang ditugaskan ke segmen yang sama. Siswa dalam kelompok ahli ini harus diberi waktu untuk mendiskusikan poin utama dari masing-segmen dan berlatih presentasi mereka akan membuat kelompok Jigsaw mereka. 7. Siswa kembali ke kelompok Jigsaw mereka. 8. Siswa hadir nya segmen ke grup. Anggota didorong untuk menanyakan pertanyaan untuk klarifikasi. 9. Guru perlu hanyut dari grup ke grup untuk mematuhi proses. Campur jika ada kelompok yang mengalami kesulitan seperti anggota yang mendominasi atau gangguan. Ada satu titik akan datang bahwa pemimpin kelompok harus menangani tugas ini. Guru dapat berbisik ke grup pemimpin sebagai cara untuk melakukan intervensi sampai pemimpin kelompok efektif dapat melakukannya sendiri. 10. Sebuah kuis pada materi harus diberikan pada akhir sehingga siswa menyadari bahwa sesi ini bukan hanya untuk kesenangan dan permainan, tetapi mereka benar-benar dihitung”
3. TGT (Team Games Tournament), yaitu strategi belajar yang dikemas dalam tertandingan kelompok. Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok yang beranggota 4 orang. Setiap kelompok menyelesaikan tugas secara kooperatif. Kelompok dinyatakan menang jika mampu menyelesaikan tugas dengan baik. Menurut Erman Suherman (handout) :
Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bis aberbeda. SDetelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamikia kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskuisi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga terjadi diskusi kelas.
Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:
a. Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan \mekanisme kegiatan
b. Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesewpakatan kelompok.
c. Selanjutnya adalah opelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisda nmngerjakan lebbih dari satu soal dan hasilnya diperik\sa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja tunamen sesua dengan skor yang dip[erolehnay diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.
d. Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar yang sama.
e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.

Sementara menurut Slavin (2007:163-167)Secara umum TGT sama saja dengan STAD kecuali satu hal : TGT menggunakan turnamen akademik, dan menggunakan kuis-kuis dan system skor kemajuan individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka. TGT sangat sering digunakan dengan kombinasi STAD, dengan menambahkanturnamen tertentu pada struktur STAD yang biasanya. Deskripsi dari komponen-komponen TGT adalah sebagai berikut :
Presentasi Kelas = STAD. Materi dalam TGT pertama- tama diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Ini merupakan pengajaran langsung seperti yang sering kali dilakaukan atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru, tetapi bisa juga memasukkan presentasi audiovisual.
Tim = STAD. Tim terdiri dari empat atau lima siswa yag mewakili seluruh bagian kelas dalam hal kinerja akademik, jens kelamin,ras, dan etnisitas. Fungsi utama dari Tim ini adalah memastikan bahwa semua anggota benar-benar belajar, dan lebih khususnya lagi, adalah untuk mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik. Ditekankan bahwa anggota tim melakukan yang terbaik untuk tim dan tim pun melakukan yang terbaik untuk membantu tiap anggotanya.
Game. Game terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari presentasi di kelas dan pelaksanaan kerja tim. Game dimainkan di atas meja dengan tiga orang siswa, yang masing-masing mewakili tim yang berbeda.
Turnamen. Turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung. Biasanya berlangsung pada akhir minggu atau akhir unit, setelah guru memberikan presentasi kelas dan tim telah melaksanakan kerja kelompok terhadap lembar-lembar kegiatan.
Rekognisi tim = STAD. Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu, skor tim siswa dapat juga digunakan untuk menentukan dua pulu persen dari peringkat mereka. Gagasan utama dari STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya dapat saling endukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Jika para siswa ingin agar timnya mendapatlkan penghargaan tim, mereka harus membantu teman satu timnya untuk bisa melakukan yang terbaik, menunjukkan norma belajar itu penting, berharga, dan menyenangkan.
Meski para siswa belajar bersama, mereka tidak boleh saling bantu dalam mengerjakan kuis. Tiap siswa harus tahu materinya. Tanggung jawab individual seperti ini memotivasi siswa untuk memberi penjelasan dengan baik satu sama lain, karena satu-satunya cara bagi tim untuk berhasil adalah dengan membuat semua anggota tim menguasai informasi atau kemampuan yang diajarkan.
4. Group Investigation (Penyelidikan Kelompok), strategi yang dirancang untuk mengembangkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi, seperti analisis dan evaluasi. Dengan strategi ini siswa bekerja untuk menyelesaikan tugas kelompok, di mana mereka dapat saling membantu. Pada model ini menurut Isjoni (2007:59) siswa dibagi ke dalam kelompok yang beranggotakan 4 – 5 orang. Kelompok dapat dibentuk berdasarkan perkawanan atau berdasarkan pada keterkaitan akan sebuah materi tanpa melanggar cooperative learning. Pada model ini siswa memilih sub topik yang ingin mereka pelajari dan topik yang biasanya telah ditentukan oleh guru, selanjutnya siswa dan guru merencanakan tujuan, langkah-langkah belajar berdasarkan sub topik dan materi yang dipilih. Kemudian siswa mulai belajar dengan berbagai sumber belajar baik di dalam ataupun di luar sekolah, setelah proses belajar selesai mereka menganalisis, menyimpulkan, dan membuat kesimpulan untuk mempresentasikan hasil belajar mereka di depan kelas.
Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengoalahn data penyajian data hasi investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkem\angan siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.
5. TAI (Team Assisted Individualy)
Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab vbelajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.
Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.
6. NHT (Numbered Head Together)
NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiasp siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomnor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.
7. TPS (Think Pairs Share)
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.
8. MEA (Means-Ends Analysis)
Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadli koneksivitas, pilih strategi solusi
9. CPS (Creative Problem Solving)
Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.
10. TTW (Think Talk Write)
Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat laopran hasil presentasi. Sinatknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan.
11. TS-TS (Two Stay – Two Stray)
Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.
E. Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif
Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif adalah sebagai berikut : 1. Melatih siswa berkomunikasi dan bekerja secara kelompok (berinteraksi sosial) dengan latar belakang yang berbeda-beda, 2. Melatih siswa bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing dalam kerangka kerja kelompok, 3. Melatih siswa mandiri walau bekerja dalam tim karena masing-masing harus bertanggungjawab atas tugasnya sebagai ahli dibidangnya, 4. Melatih siswa untuk mengemukakan pendapat dalam forum diskusi kelompok lain maupun dalam kelompoknya sendiri, 5. Adanya kesadaran dalam membangun tim yang kompak/ solid karena ada penilaian kelompok, dan 6. Memotivasi siswa karena penghargaan dari guru.
Benefits of the Jigsaw Strategy. Teacher is not the sole provider of knowledge: 1. Efficient way to learn, 2. Students take ownership in the work and achievement, 3. Students are held accountable among their peers, 4. Learning revolves around interaction with peers, 5. Students are active participants in the learning process, and 6. Builds interpersonal and interactive skills. http://www.jigsaw.org/strategy. page 2. Jigsaw Classroom (Terjemahan : Keuntungan dari Jigsaw Strategi. Guru bukan satu-satunya penyedia pengetahuan : 1. Efisien untuk belajar, 2. Siswa mengambil kepemilikan dalam bekerja dan prestasi, 3. Siswa diadakan akuntabel di antara rekan-rekan mereka, 4. Belajar revolves sekitar interaksi dengan rekan-rekan, 5. Siswa peserta aktif dalam proses pembelajaran, dan 6. Membangun keterampilan interpersonal dan interaktif ).
F. Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif
Kelemahan Model Pembelajaran Koopertif, selain memiliki kelebihan Model Pembelajaran Koopertif memiliki kelemahan diantaranya adalah : 1. Memerlukan waktu yang relatif lebih lama dari pada pembelajaran konvensional sehingga dapat mengurangi laju pembelajaran yang sedang berjalan, 2. Tidak semua materi Fisika dapat disajikan dengan Model Pembelajaran Koopertif, dan 3. Target pembagian waktu dalam sintaks harus tertib.
G. Peranan Guru dalam cooperative learning
Menyusun perencanaan pembelajaran secara matang, pengaturan kelas saat pelaksanaan dengan baik, membuat tugas untuk cooperative learning. Guru berperan sebagai fasilitator, mediator, director-motivator, dan evaluator

DAFTAR PUSTAKA

Anita Lie. 2008. Cooperative Learning. Jakarta : PT. Grasindo
Elliot, Stephen, N. Etal. 1999 Educational Psychology. Madison Brown & Benchmark Publiser.

Indrawati. 1999. Model-Model Pembelajaran IPA. Jakarta: Depdikbud
Isjoni. 2007. Cooperative Learning. Bandung : Alfabeta
Lundgren,Linda. 1994. Cooperative Learning in The Science Classroom, New York: Mc Graw-Hill.

M. Khoiril Anwar. 2004. Hubungan Kemampuan Numerik Persepi Siswa Terhadap Latihan Yang Diberikan Guru dan Minat Belajar Matematika dengan Presasi Belajar Matemetika Pokok Bahasan Aritmetika Sosial Siswa Kelas 1 Semester 1 SLTP Negeri se Kecamatan Poncowarno Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran 2003/2004. Sripsi, UST, Yogyakarta.

Meier, Dave, 2005. The Accelerated Learning. (Edisi terjemahan oleh Rahmani Astuti). Bandung: PT Mizan Pustaka
Miftah Habi Yuniarto. 1997. Hubungan artara Pendidikan Keluarga Pendidikan Formal Orang Tua dan Jenjang Sstatus Sekolah Dengan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas 2 SMU Swasta se Kabupaten Magelang Tahun Ajaran 1996/1997, Skripsi, UST Yogyakarta, Yogyakarta.

Mohammad Nur. 1994. Pembelajaran Kooperatif Dalam Kelas IPA. Surabaya: UNESA-University Press.

Moh. Uzer Usman. 1995. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muslimin Ibrahim, Fida Rachmadiarti. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA-University Press.

M. Saekhan Muchith. 2008. Pembelajaran Kontekstual. Semarang: Rasail Media Group.

Nurhadi, dkk .2004. Pembelajaran Kontektual dan Penerapannya dalam KBK, Malang, IKIP Malang

Oemar Hamalik. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta, Bumi Aksara
Paul Suparno. 1997.Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Ratna Wilis Dahar. 1999. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Silberman, Melvin L. 2006. Active Learning (Edisi terjemahan oleh Raisul Muttaqien). Bandung: Nuansa.

Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Learning. (Edisi terjemahan oleh nurulita Yusron). Bandung: Nusa Media.

Sri Maryati, 2009. Pembelaran STM Dengan Metode Observasi di Laboratorium dan Metode Observasi di Lapangan Ditinjau dari Sikap Ilmiah Siswa dan Konsep Diri Siswa. Surakarta, Thesis, UNS

Tony Irawan. 2008. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model STAD dan JIGSAW Pada Pelajaran Fisika Dengan Materi Pokok Kinematika Terhadsap Prestasi Belajar Ditinjau Dari Aktivitas Belajar Siswa. Tesis. Surakarta: UNS Program Pasca Sarjana.

Syaiful Bahri Djamarah. 2002. Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Toeti Soekamto, dan Udin Saripudin Winataputra. 1996. Teori Belajar dan Model Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.

Udin Saripudin Winataputra. dan Tita Rosita. 1995. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka, Depdikbud.

Wenger, Win. 2000. Beyond Teaching & Learning (Edisi terjemahan oleh Ria Siriat, Purwanto). Bandung : Nuansa.

Winkel, 1996. Psikologi Pengajaran, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar