Pengantar Untuk Revolusi Permanen Edisi Bahasa Indonesia
Semua teori, program, dan kebijakan cepat atau lambat akan menemukan ekspresinya di dalam praktek. Teori Revolusi Permanen, yang merupakan salah satu perkembangan teori Marxis yang paling penting, sudah dikonfirmasikan secara positif oleh Revolusi Oktober 1917[1] di Rusia. Teori ini juga sudah dikonfirmasikan, secara negatif, di dalam banyak peristiwa semenjak itu. Contoh yang paling buruk dari ini adalah pembantaian satu setengah juta kaum komunis Indonesia pada tahun 1965.
Trotsky pertama kali mengembangkan teori Revolusi Permanen ini semenjak tahun 1904. Apa isi teori ini? Revolusi Permanen, walaupun menerima fakta bahwa tugas-tugas objektif yang dihadapi oleh kelas buruh Rusia adalah tugas-tugas revolusi borjuis demokratrik[2], menjelaskan bahwa bagaimana di sebuah negara yang terbelakang di dalam era imperialisme, kaum "borjuis nasional" tidak mampu memainkan peran yang progresif.
Alasannya adalah karena kaum borjuis yang lemah di kerajaan Tsar Rusia terikat dan tidak terpisahkan dengan tuan-tuan tanah feodal di satu pihak dan kekuatan modal imperialis di pihak yang lain, dan oleh karena itu mereka sama sekali tidak mampu melaksanakan tugas-tugas historis mereka (reformasi agraria, modernisasi masyarakat, demokrasi, Masalah Nasional (National Question)[3], dll). Gagasan ini diuji setahun kemudian (pada tahun 1905) di dalam Revolusi Rusia yang pertama[4], ketika kaum borjuis liberal yang diwakili oleh Partai Kadet[5] mengkhianati revolusi tersebut dan mendukung otokrasi Tsar.
Sudah ada beberapa contoh sebelumnya. Bahkan pada tahun 1848-49, selama periode revolusi borjuis demokratik di Eropa, Marx and Engels tanpa belas kasihan menelanjangi peran kaum borjuis yang penakut dan kontra-revolusioner, dan menekankan pentingnya bagi para buruh untuk mempertahankan keindependenan kelas mereka, bukan hanya dari kaum borjuis liberal tetapi juga dari kaum borjuis kecil demokrat yang plin-plan. Marx menekankan ini di dalam banyak artikel, seperti The Bourgeoisie and the Counter-Revolution (1848). Dan sebenarnya, Marx lah yang pertama kali menggagaskan ide Revolusi Permanen. Tetapi Trotskylah, yang mengambil Marx sebagai titik tolaknya, yang kemudian mengembangkan ide ini menjadi sebuah teori yang lengkap yang dapat diaplikasikan di situasi sekarang ini.
Leninisme dan Menshevisme[6]
Sebelum Perang Dunia Pertama, ada perdebatan yang sengit di dalam tubuh Sosial Demokrasi Rusia[7] mengenai perspektif Revolusi Rusia. Kaum Menshevik, yang merupakan sayap oportunis dari gerakan buruh Rusia, mengembangkan teori dua-tahap sebagai perspektif mereka untuk revolusi Rusia. Mereka berargumen bahwa, karena tugas-tugas revolusi ini adalah tugas-tugas revolusi borjuis demokratik, maka kelas borjuis demokratik nasional-lah yang harus mengambil kepemimpinan revolusi ini. Mereka menunda revolusi sosialis ke hari depan yang jauh, dan menyerahkan kepemimpinan buruh kepada kaum liberal. Teori Revolusi Permanen adalah jawaban yang paling sempurna terhadap posisi reformis dan kolaborasi-kelas dari kubu Menshevik.
Apa posisi Lenin dalam hal ini? Dalam masalah politik yang utama (hubungan antara partai pekerja dengan kaum borjuis), posisi Lenin dekat dengan posisi Trotsky, dan dia berjuang melawan posisi kolaborasi-kelas Menshevik. Lenin setuju dengan Trotsky bahwa kaum liberal Rusia tidak mampu melaksanakan revolusi borjuis-demokratik, dan tugas ini hanya bisa dilaksanakan oleh kaum proletar yang beraliansi dengan kaum tani miskin.
Mengikuti jejak langkah Marx, yang telah menjelaskan bahwa "bagi kaum buruh, partai borjuis demokratik lebih berbahaya daripada kaum liberal sebelumnya", Lenin menjelaskan bahwa kaum borjuis Rusia, jauh dari menjadi sekutu kaum buruh, pasti akan berpihak pada konter-revolusi. Dia menulis pada tahun 1905, "Kaum borjuis pasti akan berpihak pada konter-revolusi, dan akan melawan rakyat segera setelah kepentingan-kepentingannya yang sempit dan egois terpenuhi, segera setelah mereka ‘mundur' dari demokrasi yang konsisten (dan mereka sudah mulai mengambil langkah mundur dari demokrasi yang konsisten)." (Lenin, Collected Works, vol. 9, hal.98)
Dalam pandangannya Lenin, kelas mana yang dapat memimpin revolusi borjuis-demokratik? "Yang tersisa adalah ‘rakyat', yakni kaum proletar dan tani. Kaum proletarlah satu-satunya kelas yang bisa diandalkan untuk berjalan hingga garis finis, karena mereka berjalan melampaui revolusi demokratik. Inilah mengapa kaum proletar berjuang di garis depan untuk pembentukan sebuah republik dan menolak saran yang bodoh dan tak bernilai untuk memikirkan mengenai kemungkinan mundurnya kaum borjuis." (Ibid.)
Di dalam semua pidato dan tulisan Lenin, peran konter-revolusioner dari kelas borjuis demokratik ditekankan oleh Lenin berulang kali. Akan tetapi, sampai pada tahun 1917, dia tidak percaya kalau kaum buruh Rusia akan dapat berkuasa sebelum revolusi sosialis di Eropa Barat - sebuah perspektif yang dipertahankan hanya oleh Trotsky sebelum tahun 1917 ketika ini diadopsi oleh Lenin di Tesis April-nya.[8]
Revolusi Oktober
Kelas pekerja Rusia - seperti yang Trotsky prediksi pada tahun 1904 - meraih kekuasaan sebelum para pekerja Eropa. Mereka melaksanakan semua tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik, dan dengan segera menasionalisasi industri dan menuju pelaksanaan tugas-tugas revolusi sosialis. Kaum borjuis secara terbuka memainkan sebuah peran konter-revolusioner, tetapi ini dipatahkan oleh kaum pekerja yang beraliansi dengan kaum tani miskin. Oleh karena itu, Revolusi Oktober secara megah mendemonstrasikan kebenaran dari teori Revolusi Permanen.
Setelah mengambil kekuasaan dan menyita para tuan tanah dan para kapitalis, kaum Bolshevik[9] menyerukan sebuah seruan revolusioner kepada kaum buruh sedunia untuk mengikuti contoh mereka. Lenin tahu dengan sangat baik bahwa tanpa kemenangan revolusi di negara-negara kapitalis maju, terutama di Jerman, Revolusi Rusia tidak akan bisa selamat terisolasi, terutama di negara terbelakang seperti Rusia. Apa yang terjadi kemudian (baca: degenerasi Uni Soviet yang menjadi birokratis) menunjukkan bahwa perspektif ini adalah benar-benar tepat. Pembentukan International Ketiga (Komunis International[10]), yakni partai dunia untuk revolusi sosialis, merupakan manifestasi konkrit dari perspektif tersebut.
Bila saja Komunis Internasional tetap memegang teguh posisi Lenin dan Trotsky, kemenangan revolusi sedunia sudah pasti akan terjamin. Sayangnya, tahun-tahun pertumbuhan Komintern terjadi seiring dengan konter revolusi Stalinis di Rusia, yang memiliki sebuah efek yang menghancurkan bagi Partai-Partai Komunis di seluruh dunia. Birokrasi Stalinis, setelah meraih kontrol di Uni Soviet, mengembangkan sebuah perspektif yang sangat konservatif.
Teori bahwa sosialisme bisa dibangun di satu negara adalah sebuah penyelewengan terhadap ide-ide Marx dan Lenin. Pada awalnya, Stalin bahkan mengakui hal ini. Sampai pada bulan Februari 1924, di dalam tulisannya The Foundations of Leninism, Stalin menyimpulkan pandangan Lenin mengenai pembangunan sosialisme:
"Penumbangan kekuasaan kaum borjuis dan pembentukan pemerintahan proletariat di satu negara belumlah menjadi kemenangan mutlak sosialisme. Tugas utama sosialisme - yakni pengorganisiran produksi secara sosialis - masih harus dilaksanakan. Dapatkah tugas ini dipenuhi, dapatkah kemenangan akhir sosialisme di satu negara tercapai, tanpa bantuan bersama dari kaum proletar di beberapa negara maju? Tidak, ini adalah hal yang mustahil. Untuk menumbangkan kaum borjuis, usaha satu negara adalah cukup - sejarah dari revolusi kita sudah menunjukkan ini. Untuk kemenangan akhir sosialisme, untuk pengorganisiran produksi secara sosialis, usaha dari satu negara terutama sebuah negara petani seperti Rusia, tidaklah cukup. Untuk ini, bantuan dari kaum proletar di beberapa negara maju dibutuhkan."
"Secara keseluruhan, inilah ciri karakteristik dari teori Leninis mengenai revolusi proletarian."
Tidak ada keraguan sama sekali kalau kalimat di atas mewakili ciri karakteristik dari teori Leninis mengenai revolusi proletarian, yang saat itu tidak dipertanyakan oleh siapapun. Akan tetapi, sebelum tahun 1924 berakhir, buku Stalin sudah dirubah, dan isi di atas diganti dengan isi yang benar-benar terbalik. Pada bulan November 1926, Stalin mengatakan:
"Untuk titik tolaknya, partai ini selalu mulai dengan gagasan bahwa kemenangan sosialisme di negara itu dan tugasnya dapat dicapai dengan kekuatan dari satu negara."
Ini merepresentasikan sebuah revisi yang fundamental terhadap ide Marxisme-Leninisme. Yang sebenarnya direfleksikan oleh ide ini adalah mentalitas kaum birokrat, yang tidak ingin lagi menghadapi badai dan stress revolusi, dan ingin segera memulai tugas "membangun sosialisme di Rusia". Dengan kata lain, mereka ingin melindungi dan memperbesar hak-hak istimewa mereka dan tidak "membuang-buang" sumber daya negara untuk mengejar revolusi dunia. Di pihak yang lain, mereka takut kalau revolusi di negara-negara lain dapat berkembang dengan sehat dan mengancam dominasi mereka di Rusia, dan oleh karena itu mereka secara aktif mencoba mencegah revolusi di negara yang lain.
Daripada mengadopsi sebuah kebijakan revolusioner yang berdasarkan keindependenan kelas, seperti yang selalu dianjurkan oleh Lenin, mereka menganjurkan sebuah aliansi antara Partai Komunis dengan "kaum borjuis nasional yang progresif" (dan bila tidak ada kaum borjuis nasional yang progresif di lapangan, mereka siap untuk menciptakannya) untuk melaksanakan revolusi demokratik, dan setelah itu, di masa depan yang sangat jauh, ketika negara tersebut sudah mengembangkan sebuah sistem ekonomi kapitalis yang matang, barulah mereka berjuang untuk sosialisme. Kebijakan ini merupakan sebuah perpecahan total dari Leninisme dan kembali ke posisi Menshevisme yang tua dan sudah tercemar - yakni teori "dua-tahap".
Revolusi Permanen di masa kini
Kondisi politik sekarang bahkan lebih jelas dibandingkan dengan tahun 1917. Semenjak Perang Dunia Kedua, semua "negara ketiga" telah melalui sebuah periode gejolak sosial yang berkelanjutan. Pencapaian kemerdekaan secara formal, walaupun disambut oleh kaum Marxis, tidaklah menyelesaikan masalah-masalah bekas negara koloni ini. Selama mereka tetap berada di dalam basis kapitalisme, tidak ada jalan ke depan. Mereka tetap diperbudak oleh negara-negara kapitalis maju. Menggantikan penjajahan militer-birokratik yang langsung, kita sekarang memiliki dominasi tidak langsung melalui mekanisme pasar dunia dan perdagangan internasional.
Kaum borjuis nasional di negara-negara koloni ini memasuki pentas sejarah terlalu telat, ketika dunia sudah dibagi-bagi antara beberapa kekuatan imperialis. Mereka tidak mampu memainkan peran progresif apapun dan mereka lahir di bawah telapak kaki mantan tuan penjajahnya. Seperti halnya di kerajaan Tsar Rusia, kaum borjuis yang lemah dan korup di Asia, Amerika Latin, dan Afrika terlalu tergantung pada modal asing dan imperialisme untuk bisa memajukan masyarakat mereka. Mereka terikat dengan seribu benang, bukan hanya pada modal asing, tetapi juga pada kelas tuan tanah, yang bersama-sama dengan mereka membentuk satu blok reaksioner yang menentang semua kemajuan.
Apapun perbedaan yang mungkin eksis antara elemen-elemen ini (kaum borjuis nasional, modal asing, dan tuan tanah), perbedaan tersebut adalah tidak signifikan dibandingkan dengan ketakutan mereka terhadap massa, ketakutan yang menyatukan mereka untuk melawan massa. Hanya kelas proletar, bekerja sama dengan kaum tani miskin dan kaum miskin kota, yang dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial dengan merebut kekuasaan ke tangan mereka, menyita kaum imperialis dan kaum borjuis, dan memulai tugas merubah masyarakat secara sosialis.
Di bawah kondisi masa kini, tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik di negara-negara terbelakang tidak dapat diselesaikan dengan basis relasi properti kapitalis. Kaum borjuis yang lemah dari negara-negara eks-koloni ini terlalu terikat dengan modal asing internasional untuk bisa melaksanakan revolusi nasional sampai ke garis akhir. Dan mereka juga tidak bisa berkompetisi dengan kompetitor dari negara industri maju untuk pasar dunia. Sebagai akibatnya, status ekonomi mereka memburuk terus menerus dibandingkan dengan negara-negara kapitalis maju.
Penghancuran ekonomi dari negara-negara terbelakang ini menciptakan kondisi krisis sosial yang akut dan permanen. Di satu pihak, masyarakat tani subsisten semakin terkikis berangsur-angsur, di pihak yang lain, kelas kapitalis tidak mampu menerapkan sistem ekonomi kapitalis di seluruh masyarakat. Bangkitnya negara polisi-militer di seluruh "dunia ketiga" hanyalah sebuah ekspresi dari ketidakmampuan kaum borjuis negara-negara koloni tersebut untuk menyelesaikan tugas-tugas revolusi demokratik. Hanya melalui kediktatoran revolusioner dari kelas proletar, beraliansi dengan kaum tani miskin, maka negara-negara terbelakang ini mampu mulai menyelesaikan masalah-masalah ekonomi dan sosial mereka.
Dengan berdiri di muka bangsa dan memimpin semua lapisan tertindas di dalam masyarakat (kaum borjuis kecil urban dan rural), kaum proletar dapat mengambil kekuasaan dan kemudian melaksanakan tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik (terutama reformasi agraria dan penyatuan negara dan pembebasan negara dari dominasi asing).
Akan tetapi, setelah berkuasa, kelas proletar tidak akan berhenti di sana dan akan mulai mengimplementasikan kebijakan-kebijakan sosialis dan mengekspropriasi kaum kapitalis. Dan karena tugas-tugas ini tidak dapat diselesaikan di satu negara saja, terutama di satu negara yang terbelakang, ini akan menjadi permulaan dari revolusi dunia. Oleh karena itu, revolusi ini "permanen" dalam dua hal: karena revolusi ini mulai dengan tugas-tugas borjuis-demokratik dan berlanjut ke tugas-tugas sosialis, dan karena revolusi ini mulai di satu negara dan berlanjut ke skala internasional.
Peran Partai-Partai Komunis
Teori dua-tahapnya Menshevik dan Stalinis telah memainkan satu peran yang kriminal di dalam perkembangan revolusi di negara-negara koloni. Dimana saja teori ini sudah diaplikasikan, ia telah menghasilkan malapetaka. Pada tahun 1920an, mengikuti teorinya Stalin "blok empat kelas", Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang masih muda saat itu dipaksa untuk bergabung dengan partai borjuis nasional Kuomintang, yang kemudian secara fisik menghancurkan PKT, serikat-serikat buruh, dan soviet-soviet[11] tani selama Revolusi Cina 1925-27. Alasan mengapa Revolusi Cina kedua (tahun 1949) mengambil bentuk perang tani dimana kelas buruh Cina berperan pasif adalah karena hancurnya kelas proletar akibat kebijakan-kebijakan Stalin, yang Trotsky gambarkan sebagai "sebuah karikatur Menshevisme yang buruk."
Di Irak pada tahun 1950an dan 1960an, Partai-Partai Komunis di sana adalah kekuatan besar yang mampu mengorganisir demonstrasi satu juta orang di Baghdad. Saat itu, mereka bisa saja dengan mudah mengambil kekuasaan. Tetapi, ketimbang mengambil sebuah kebijakan kelas yang independen dan memimpin buruh dan tani untuk merebut kekuasaan, mereka mencari aliansi dengan kaum borjuis "progresif" dan seksi-seksi tentara yang "progresif". Tentara "progresif" ini, setelah naik ke tampuk kekuasaan di atas punggung Partai-Partai Komunis Irak, kemudian menghancurkan mereka dengan membunuh dan memenjara anggota-anggota dan pimpinan-pimpinan mereka. Rakyat Irak membayar sangat mahal dengan dikuasai oleh diktatur Saddam Hussein, dan horor peperangan dan okupasi asing yang berlanjut dari sana.
Di Sudan, proses yang sama terjadi bukan sekali saja, tetapi dua kali. Pada tahun 1967, Partai Komunis Sudan (PKS) mampu memanggil demonstrasi 2 juta orang di Khartoum. Tetapi para pemimpin PKS mengadopsi kebijakan "Aliansi Patriot" dengan kaum borjuis "progresif". Apa hasil dari aliansi ini? Hasilnya adalah kediktatoran Nimeiri[12], pembantaian PKS dan kemenangan kaum reaksioner di Sudan dengan konsekuensi-konsekuensi yang tragis. Akan tetapi, semua malapetaka ini kecil dibandingkan dengan pembantaian kaum Komunis di Indonesia pada tahun 1965.
Indonesia
Indonesia bukanlah pengecualian. Walaupun memiliki potensial produksi yang besar, Indonesia tetap terpuruk miskin dan terbelakang. Pada satu ketika, Indonesia adalah daerah surplus-beras; pada tahun 1965, Indonesia harus mengimpor 150 ribu ton beras setiap tahunnya. Ekonomi Indonesia terpuruk dengan hutang besar kepada komunitas bank internasional, terutama bank AS. Setiap tahun, defisit anggaran meningkat dua kali lipat. Jumlah defisit pada tahun 1965 adalah sekitar 1000 milyar rupiah. Mata uang Rupiah telah jatuh menjadi 1/100 dari harga legalnya sebagai akibat dari inflasi kronik, yang 6 tahun sebelum kudeta 1965 telah membuat ongkos kehidupan naik 2 ribu persen.
Walaupun ekonomi sedang runtuh, Negara Indonesia saat itu membelanjakan 75% anggaran untuk persenjataan (1 milyar dollar AS setiap tahun). Dengan ekonomi yang meluncur ke bawah dengan cepat, Sukarno terpaksa menasionalisasi semakin banyak perusahaan-perusahaan asing. Untuk melakukan ini, dia harus bersandar pada dukungan Partai Komunis Indonesia – sebuah aksi yang tidak luput dari perhatian Washington.
Rejim Bonapartis[13] dari Sukarno dipenuhi dengan korupsi. Di tengah-tengah kemiskinan massal, upah rendah dan masalah perumahan yang besar, Sukarno dan elit-elitnya hidup seperti raja. Di bawah arahan Sukarno, sejumlah uang yang besar diboroskan untuk membangun gedung-gedung mewah seperti Hotel Indonesia di Jakarta, dimana, mengutip Sunday Times, "Tiga juta rakyat, yang kebanyakan miskin, tinggal ... di rumah-rumah kumuh ... yang kebanyakan akan runtuh". Sukarno tinggal di sebuah vila putih – yang dulunya adalah tempat tinggal gubernur Belanda – dan dikelilingi dengan perabotan-perabotan mewah dan karya-karya seni yang mahal. "Tiga ruang utama yang megah tersebut tampak seperti museum dalam kebesarannya dan auranya. Setiap ruang itu diperaboti dengan megah dan dikarpeti. Setiap ruang digantungi dengan sebagian dari koleksi lukisan megahnya Sukarno."
Kemiskinan dan kesukaran rakyat mengakibatkan tumbuhnya PKI secara pesat. Tidak ada gerakan buruh di "Negara Ketiga" yang tumbuh sepesat Indonesia. PKI, yang secara praktikal hilang keberadaannya setelah kudeta yang gagal pada tahun 1948, menjadi Partai Komunis terbesar ketiga di dunia – hanya Partai Komunis Tiongkok dan Uni Soviet yang lebih besar.
Kebijakan Menshevik PKI
Jumlah anggota PKI saat itu adalah 3 juta. Ia memiliki dukungan 10 juta anggota serikat buruh dan kaum tani yang terorganisir. Yang terlebih penting, PKI mengklaim dukungan 40 persen dari tentara Indonesia. Partai Bolshevik pada tahun 1917 tidak memiliki basis yang sekuat itu. Pada bulan Februari, Bolshevik hanya memiliki 8000 anggota di sebuah negara besar dengan 150 juta rakyat. Namun hanya dalam 9 bulan, Lenin dan Trotsky memimpin Partai Bolshevik untuk menaklukkan kekuasaan. Secara kontras, PKI dengan kekuatannya yang besar, memimpin kaum buruh dan tani Indonesia menuju kekalahan yang penuh darah. Mengapa?
Di dalam perpecahan Sino-Soviet[14], PKI berpihak dengan Peking, dan mempertahankan hubungan yang dekat dengan kaum Stalinis Cina. Kita mungkin berpikir bahwa ini adalah sebuah kombinasi yang revolusioner. Tetapi ini salah. Kebijakan PKI adalah kebijakan kolaborasi kelas. Kepemimpinan PKI mengekori kepemimpinan sang borjuis Bonapartis yang "progresif", Sukarno. Setelah 1948, semua sisa-sisa ideologi revolusioner secara sistematis dihapus dari program PKI. Program dan Konstitusi PKI tahun 1962 menggarisbawahi tugas partai untuk membentuk "negara rakyat demokratik". Ini tidak ada kesamaannya dengan sosialisme.
"Negara rakyat demokratik" ini akan merupakan sebuah "demokrasi tipe baru", yang bukan berdasarkan kelas buruh, tetapi berdasarkan sebuah blok kaum buruh dan tani dengan bermacam-macam koleksi "sekutu", termasuk "kaum borjuis kecil perkotaan, kaum intelektual, kaum borjuis nasional (!), elemen-elemen aristokrat yang maju (!!) dan elemen-elemen patriotik secara umum (!!!)". Dari bentuk ini, sangatlah sulit untuk meraih kesimpulan mengenai karakter kelas dari "negara rakyat demokratik" ini karena bentuk tersebut di atas hanyalah daftar semua kelas dan strata di Indonesia. Ini berarti bahwa program PKI dengan orientasi Peking yang "revolusioner" hanyalah mempertahankan status quo.
Daripada kediktatoran proletar, PKI merujuk pada "otoritas" dari "rakyat" - sebuah formula yang tidak ada artinya. Pada tahun 1955, PKI mengadvokasikan sebuah koalisi nasional, dan menawarkan untuk menumpulkan program mereka yang sudah tumpul menjadi sebuah daftar tujuan-tujuan yang sepenuhnya non-komunis. Ahli teori utama dari PKI, yakni Aidit, menganjurkan teori "dua-tahap"nya Menshevik-Stalinis, yang menunda revolusi sosialis ke masa depan yang jauh:
"Pada saat kita menyelesaikan tahapan pertama dari revolusi kita yang sekarang sedang dalam progres, kita dapat melakukan negosiasi bersahabat dengan elemen-elemen progresif lainnya di dalam masyarakat kita, dan tanpa perjuangan bersenjata kita akan memimpin bangsa ini menuju revolusi sosialis. Lagipula, kaum kapitalis nasional di negara kita adalah lemah dan tak terorganisir. Sekarang, di dalam revolusi demokratik nasional kita, kita berpihak dengan mereka dan berjuang di dalam perjuangan bersama untuk menendang keluar dominasi modal asing dari tanah air ini".
Argumen Aidit penuh kontradiksi. Bila kaum borjuis nasional adalah lemah dan tak terorganisir, maka lebih banyak alasan untuk menyapu mereka ke samping dan membentuk pemerintahan buruh dan tani. Kenyataannya, seperti yang Lenin garisbawahi ratusan kali, justru karena kelemahan kaum borjuis nasional yang membuat mereka menjadi batu halangan yang reaksioner di dalam jalan menuju revolusi demokratik di negara-negara terbelakang. Mereka (baca kaum borjuis nasional) meragukan kemampuan mereka untuk mengontrol kekuatan-kekuatan yang dilepaskan dari gerakan nasional demokratik itu sendiri, mereka menjadi ambigu, dan akhirnya mereka terdorong ke pihak reaksioner karena takut terhadap kelas pekerja mereka sendiri. Untuk alasan ini, sangatlah reaksioner bila kita mencoba memisahkan secara mekanis fase-fase revolusi demokratik dan revolusi sosialis di negara-negara terbelakang. Pilihannya adalah: revolusi demokratik "bergerak menuju" kediktatoran proletariat, atau revolusi demokratik tersebut hancur di bawah palu reaksi.
Apa yang disebut posisi "Leninis" dari Aidit dan pemimpin-pemimpin PKI lainnya adalah identik dengan posisi kaum Menshevik yang dilawan dengan gigih oleh Lenin sampai pada tahun 1917. Bagi mereka, kediktatoran proletariat yang revolusioner ditunda sampai masa depan yang jauh (dan oleh karena itu aman) - 50, 100, bahkan 300 tahun kemudian. Pertama-tama, kita selesaikan dahulu "tahapan pertama", lalu setelah ini "tercapai sepenuhnya", kita "lakukan negosiasi bersahabat" dengan mereka yang mungkin tertarik dengan "tahapan kedua". Akan tetapi, sejarah tidaklah terjadi seperti itu.
"Gerakan 30 September"
Puluhan tahun kebijakan dua-tahap Menshevik yang diadopsi oleh kepemimpinan PKI akhirnya menghancurkan partai tersebut dan bersama-sama dengan itu seluruh gerakan buruh dan tani di Indonesia dengan satu sapuan. Ini menyebabkan kehancuran gerakan Komunis di Indonesia – yang saat itu adalah Partai Komunis ketiga terbesar setelah Uni Soviet dan Cina – dan sebuah pergeseran radikal di dalam politik Indonesia dan seluruh Asia Tenggara. Peristiwa yang memicu malapetaka ini adalah Gerakan 30 September.
Washington bersihkeras untuk menumbangkan Sukarno dan menghancurkan PKI. Mereka mengganggap prospek sebuah pemerintahan Komunis di Indonesia sebagai hari kiamat. Pada sebuah pidato tahun 1965, Richard Nixon membenarkan pemboman Vietnam Utara sebagai satu cara untuk melindungi "kekayaan mineral yang besar" di Indonesia. Seperti yang ditulis oleh ahli sejarah John Rossa di dalam bukunya Pretext for Mass Murder, yang merupakan buku sejarah yang terbaru mengenai Gerakan 30 September:
"Tentara yang mulai tiba di Vietnam pada bulan Maret 1965 tidak akan berguna bila kaum Komunis menang di sebuah negara yang lebih besar dan strategis. Kemenangan PKI di Indonesia akan membuat intervensi di Vietnam sia-sia ... McGeorge Bundy, seorang penasehat keamanan nasional untuk Presiden Kennedy dan Johnson, juga telah menekankan bahwa Vietnam sudah bukan lagi kepentingan yang vital ‘setelah revolusi anti-komunis di Indonesia'."
Kebijakan-kebijakan Sukarno melawan perusahaan-perusahaan asing, kebijakan Non-Bloknya (yang diperagakan di Konferensi Asia-Afrika 1955), pengutukannya terhadap imperialisme Barat, dan ketergantungannya pada PKI yang semakin meningkat, semua ini meyakinkan Pemerintahan AS untuk membuat aliansi dekat dengan perwira-perwira reaksioner seperti Jendral Nasution yang sangat anti-komunis. Dari tahun 1958 hingga 1965, Amerika melatih, mendanai, menasehati, dan mensuplai seksi dari tentara Indonesia yang anti-komunis.
Akan tetapi, seperti yang dipaparkan di dalam dokumen-dokumen rahasia pemerintahan AS yang telah dibuat publik, para jendral sayap kanan ini sadar kalau mereka tidak akan dapat melakukan kudeta model lama untuk melawan Sukaro dan PKI – karena Sukarno masih terlalu populer dan PKI memiliki dukungan massa. Usaha-usaha sebelumnya untuk membelah Indonesia ke dalam negara-negara yang lebih kecil ("zona komunis" dan "zona non-komunis') – seperti yang terjadi di Korea dan Vietnam – gagal total. Usaha-usaha yang gagal ini justru memperkuat Sukarno dan PKI karena garis anti-imperialisme mereka terbukti benar di mata rakyat.
Untuk alasan-alasan ini, sebuah kudeta terbuka tidak dapat dilakukan di Indonesia. Supaya kudeta sayap-kanan dapat berhasil, ia harus disamarkan sebagai sebuah usaha untuk menyelamatkan Presiden Sukarno. Pada tahun 1959, Dewan Keamanan Nasional AS sudah mengakui bahwa serangan terbuka terhadap PKI harus "dibenarkan secara politik untuk kepentingan Indonesia sendiri" dan PKI harus didorong "ke posisi dimana mereka menentang secara terbuka Pemerintahan Indonesia [Sukarno]." Howard Jones, Duta Besar AS di Jakarta (1958-1965), mengatakan di dalam sebuah pertemuan tertutup di Filipina pada bulan Maret 1965, "Tentu saja dari sudut pandang kita, sebuah usaha kudeta yang gagal dari PKI adalah sebuah perkembangan yang paling efektif untuk memulai sebuah pemutaran balik tren politik di Indonesia." Triknya adalah untuk memprovokasi PKI untuk mengambil aksi yang terburu-buru yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menghancurkannya.
Perangkap ini diluncurkan dan pemimpin-pemimpin PKI jatuh ke dalam perangkap ini. Para pemimpin PKI, daripada memobilisasi massa untuk melawan kaum reaksioner tersebut, justru berusaha meluncurkan sebuah kudeta istana dengan membunuh para jendral pemimpin sayap-kanan. Saya menulis sebuah artikel mengenai peristiwa ini, Perspectives, pada bulan Oktober 1965, beberapa minggu setelah kemenangan konter-revolusi. Di dalam artikel ini saya menjelaskan bahwa bukannya membeberkan rencana-rencana kaum sayap kanan, bukannya memobilisasi massa untuk mogok umum dan menyerukan kepada pendukungnya di dalam angkatan bersenjata untuk melucuti para perwira mereka dan bergabung dengan buruh untuk menumbangkan rejim yang busuk ini, kepemimpinan PKI justru berkonspirasi untuk membunuh para jendral reaksioner tersebut – sebuah konspirasi yang sangat rahasia sehingga selain Aidit tak seorangpun dari anggota Komite Pusat yang mengetahui rencana ini.
Enam jendral dibunuh, tetapi Nasution selamat. Bersama-sama dengan Suharto dan perwira sayap kanan lainnya, mereka memanggil pasukan mereka, melepaskan propaganda media anti-komunis yang luar biasa, dan memobilisasi demonstrasi mahasiswa (yang sebagian didanai oleh duta besar AS). Revolusi istana ini rubuh. Kebijakan-kebijakan keliru dari Aidit dan kepemimpinan PKI menaruh nyawa tiga juta buruh dan tani komunis di tangan kaum reaksioner. Koran Daily Telegraph menganalisa situasi ini di dalam editorialnya pada tanggal 12 Oktober, yang berjudul The Civil War in Indonesia:
"Sangatlah jelas dari kejadian-kejadian sepuluh hari terakhir di Indonesia bahwa ini bukanlah sebuah kudeta istana seperti sebelumnya yang mengguncang Republik Sukarno, ini adalah sebuah perang sipil yang menyebar. Tanah konfontrasi sekarang mengkonfrontasi dirinya sendiri. Tiga kepala dari sang naga ini, Muslim, Nasionalis, dan Komunis, saling menggigit satu sama lain, dan pertikaian ini telah menyebar dari Jawa ke Sumatra. Persaingan ketiga kekuatan ini yang telah ditangani oleh Dr. Sukarno sekarang meledak. Bila angkatan bersenjata mencurigai sebuah kudeta Komunis, mereka jelas-jelas terkejut dengan kekejamannya dan mereka terkacaukan dengan terbunuhnya enam jendral mereka. Sekarang jelas kalau Dr. Sukarno ada di bawah perlindungan angkatan bersenjata, dan dia telah mentoleransi kampanye melawan gerilya komunis dan akhirnya menanggalkan kepura-puraan kalau Nasakom atau Front Persatuan dia masih eksis."
Perang sipil ini dimainkan oleh satu pihak saja. Bukannya meluncurkan ofensif yang agresif melawan kaum reaksioner – yang pada jam-jam terakhir ini dapat menyelamatkan Partai Komunis – kepemimpinan PKI justru mengandalkan aliansi mereka dengan "borjuis progresif" Sukarno. Saat kaum komunis berjuang melawan massa reaksioner, PKI tetap diwakili di kabinet Sukarno, mendukung demagog Sukarno mengenai "kesatuan nasional", kestabilan, dll. Sampai akhirnya, mereka tetap menempel pada Sukarno, tetapi Sukarno dan kabinetnya sudah impoten.
Puluhan ribu anggota PKI yang jujur dan militan, yang kebingungan karena tidak adanya kepemimpinan dari partai mereka, menyerahkan diri mereka ke kaum reaksioner, karena mereka percaya – seperti yang dikatakan oleh pemimpin mereka – bahwa Sukarno akan melindungi mereka. Akan tetapi, sang Bonapartis Sukarno sudah menjadi hanya sebuah simbol dan tidak berkuasa lagi. Dengan begini, puluhan ribu anggota PKI sesungguhnya menyerahkan diri mereka ke massa reaksioner seperti domba yang pergi menuju tempat pemotongan hewan.
Pemerintahan Indonesia tergantung di udara. Perjuangan politik yang sesungguhnya telah pindah ke jalanan. Nasution memobilisasi kekuatan Muslim reaksioner. Markas PKI di Jakarta diserbu dan dibakar oleh massa ribuan pemuda, yang berteriak "Gantung Aidit". Massa menyeruak di jalanan, menempel poster-poster bertulisan "Hancurkan Kaum Komunis". Massa di depan duta besar Amerika berteriak "Hidup Amerika". Sebuah demonstrasi 500 ribu orang menuntut aksi terhadap semua yang berpartisipasi di Gerakan 30 September. Hasil akhirnya adalah pembantaian setidaknya satu setengah juta kaum Komunis.
CIA memainkan peran yang aktif di dalam pembunuhan massal ini. Yang disebut-sebut sebagai pahlawan demokrasi di Washington, London, dan Paris dengan segera mengakui rejim pembunuh ini. Peran kriminal dari imperialisme sangatlah jelas. Tetapi para imperialis tidak akan dapat meraih kemenangan yang semudah ini bila bukan karena kebijakan-kebijakan kepemimpinan PKI yang membawa malapetaka. Ketika kekuasaan negara secara terbuka ditantang di dalam sebuah perang sipil, "moderasi" dan "jalan tengah" menghilang seperti uap air. Tetapi kepemimpinan PKI bahkan tidak bisa menyerukan mogok umum. Mereka bertingkah seperti para pemimpin Sosial Demokrat dan Stalinis di Jerman pada tahun 1933 – dan mereka membayarnya dengan harga yang sama.
Dimana kelas pekerja dikalahkan tanpa perlawanan sama sekali, ini menyebabkan runtuhnya moral yang sangat besar dan melumpuhkan rakyat untuk waktu yang sangat lama. Kekalahan 1965 mengusung sebuah periode militer-reaksioner yang kejam. Ini juga menyebabkan runtuhnya moral dari kaum buruh dan tani di Malaysia. Tidak mengejutkan kalau koran Daily Telegraph mengekspresikan dengan jelas kepuasan mereka terhadap pesta-pora konter-revolusi di Indonesia. Sebagai penutup, pengalaman Indonesia mengekspos kepalsuan frase-frase "revolusioner" dari kaum Stalinis Cina. Satu-satunya respon dari kaum birokrasi Cina terhadap pergolakan di Indonesia adalah pesan "salam hangat" kepada Sukarno ketika dia akhirnya keluar dari persembunyiannya.
Pelajaran dari Kekalahan
Masalah ketepatan sebuah teori atau masalah teori Menshevik-Stalinis bukanlah masalah akademik tetapi merupakan masalah yang praktikal. Pengalaman dari kebijakan-kebijakan Stalinis di dalam berbagai revolusi telah secara pasti membuktikan karakter konter-revolusioner mereka. Selama puluhan tahun, kelas pekerja negara-negara kolonial atau eks-kolonial telah membuktikan keberanian dan potensi revolusioner mereka. Berkali-kali mereka telah bergerak untuk melaksanakan transformasi revolusioner di negara mereka.
Di Irak, Sudan, Iran, Chile, Argentina, India, Pakistan, dan Indonesia, kaum pekerja telah menunjukkan bahwa mereka ingin menjadi tuan dari tanah air mereka. Bila mereka gagal, ini bukan karena mereka tidak bisa berhasil, tetapi ini karena mereka kekuarangan sebuah syarat penting untuk merebut kekuasaan: yakni sebuah kepemimpinan yang benar-benar revolusioner. Setiap kali, mereka terbentur dengan sebuah tembok karena partai dan pemimpin yang mereka percayai untuk memimpin mereka menuju transformasi sosialis justru menjadi halangan yang besar. Napoleon pernah berkata: "pasukan yang kalah belajar dengan baik". Bagi kaum Marxis, pelajaran dari kekalahan lebih penting daripada pelajaran dari kemenangan.
Para buruh bisa mempelajari kesalahan-kesalahan mereka, tetapi hanya bila pengalaman-pengalaman ini dijelaskan dan dianalisa dengan sabar oleh kaum pelopor revolusioner. Kaum Marxis revolusioner memiliki sebuah tugas untuk menjelaskan pelajaran-pelajaran dari kejadian 1965 di Indonesia kepada gerakan buruh. Apa perbedaan utama antara Rusia pada tahun 1917 dan Indonesia pada tahun 1965? Perbedaan utamanya bukanlah di kondisi-kondisi objektif. Kondisi objektif di Indonesia pada tahun 1964-65 sangatlah mendukung. Rakyat Indonesia telah mengalahkan imperialisme Belanda. Kaum komunis memiliki dukungan mayoritas kelas buruh dan tani. Tetapi sebuah kebijakan dan perspektif yang keliru cukup untuk menghancurkan revolusi ini. Bila Revolusi Oktober membuktikan ketepatan teori Revolusi Permanen secara positif, maka malapetaka Indonesia membuktikan ketepatan teori Revolusi Permanen secara negatif dan secara sangat brutal.
Kesimpulannya sangat jelas. Tanpa sebuah partai revolusioner, potensi dari kaum proletar tetaplah akan menjadi potensi. Hubungan antara kelas dan partai adalah serupa dengan hubungan antara uap dan mesin piston. Tetapi, keberadaan partai tidaklah cukup untuk memastikan kesuksesan. Partai ini harus dipimpin oleh pria dan wanita yang dipersenjatai dengan pemahaman akan tugas-tugas revolusi, taktik, strategi, dan perspektif, dan bukan hanya tugas-tugas nasional tetapi juga internasional.
Untuk meraih kekuasaan, tidaklah cukup kalau kaum pekerja siap untuk bertempur. Bila cukup hanya dengan kesiapan untuk bertempur, maka kelas pekerja sudah meraih kekuasaan di semua negara tersebut dari dulu. Ini akan sangat mudah dicapai karena mereka ada di dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan kaum pekerja Rusia pada tahun 1917. Tetapi mereka tidak meraih kekuasaan. Mengapa tidak? Karena kelas pekerja membutuhkan sebuah partai dan sebuah kepemimpinan. Untuk mengabaikan kenyataan fundamental ini adalah anarkisme yang kekanak-kanakan. Marx menjelaskan semenjak dulu bahwa tanpa organisasi, kelas pekerja hanyalah bahan mentah untuk eksploitasi. Walaupun berjumlah banyak dan memainkan peran kunci di dalam produksi, kaum proletar tidak akan mampu merubah masyarakat kecuali bila ia menjadi sebuah kelas dalam dan untuk dirinya sendiri ("in-and-for itself") dengan kesadaran, perspektif, dan pemahaman yang dibutuhkan.
Untuk menunggu sampai kelas proletar secara keseluruhan memperoleh pemahaman yang dibutuhkan untuk merebut kekuasaan dan merubah masyarakat adalah sebuah proposisi yang utopis, yang pada intinya berarti menunda revolusi untuk selamanya. Kita perlu mengorganisir lapisan kelas proletar yang paling maju, mendidik para kader, dan memenuhi mereka dengan perspektif revolusioner, bukan hanya dalam skala nasional tetapi juga dalam skala internasional, untuk mengintegrasikan mereka ke dalam rakyat di semua level, dan untuk secara sabar mempersiapkan diri untuk menghadapi momen ketika perjuangan-perjuangan parsial menjadi sebuah ofensif revolusioner yang umum.
Krisis ekonomi global sekarang ini adalah sebuah gejala dari sistem kapitalisme dunia yang telah kehabisan potensial untuk maju. Dan ini hanyalah permulaan dari sebuah proses revolusioner yang akan bergulir dalam tahun-tahun ke depan. Bila sebuah partai Leninis yang sejati eksis, ini akan berakhir di sebuah revolusi proletar yang klasik. Walaupun menderita kekalahan dan kemunduran, kaum pekerja dan tani Indonesia pasti akan mengambil jalan perjuangan lagi dan lagi. Penggulingan Suharto merupakan indikasi dari kenyataan ini. Satu persatu negara Asia, para buruh, tani, dan pelajar akan mengambil jalan perjuangan karena tidak ada lagi alternatif.
Revolusi Indonesia – yang hanya bisa mengambil karakter sosialis – sekarang ada di agenda lagi. Sebuah revolusi di Indonesia akan menggoncang seluruh Asia dan memiliki pengaruh yang besar terhadap kaum pekerja dan tani di Malaysia, Filipina, India, Pakistan, Bangladesh dan Sri Lanka. Pembentukan federasi sosialis Indonesia, Malaysia, dan Filipina akan menyelesaikan masalah-masalah nasional secara adil. Potensial produksi yang besar dari negara-negara ini hanya bisa direalisasikan dengan sebuah ekonomi sosialis terencana, yang akan menciptakan kondisi untuk merubah hidup rakyat banyak.
Syaratnya adalah bagi rakyat pekerja untuk mengambil kekuasaan ke tangan mereka. Kaum pekerja dan tani Indonesia memiliki sejarah perjuangan yang luar biasa. Generasi kaum pekerja dan tani yang baru akan menemukan kembali tradisi-tradisi ini, mempersenjatai diri mereka dengan ide-ide Marxisme dan memimpin massa ke kemenangan akhir. Mereka akan membalas dendam martir-martir mereka yang terbunuh, menggulingkan penindas mereka, dan membangun kembali masyarakat ini secara sosialis.
Alan Woods
London, 17 Desember 2008
________________________________________
Catatan
[1] Revolusi Oktober adalah revolusi sosialis pertama di dunia yang berhasil meletakkan kaum buruh di tampuk kekuasaan dan menghapus kapitalisme. Pada tanggal 24-25 Oktober 1917, Bolshevik bersama dengan Soviet-soviet dari kota-kota besar Rusia menggulingkan Pemerintahan Sementara. Revolusi ini lalu diikuti dengan Kongres Kedua Soviet Seluruh Rusia, dimana dibentuk Republik Sosialis dari Federasi Soviet Rusia dan kemudian Pemerintahan Soviet berdiri.
[2] Tugas-tugas revolusi demokratrik adalah tugas-tugas yang diselesaikan oleh kaum borjuis ketika mereka menggulingkan feodalisme dan monarki dan membentuk kapitalisme. Tugas-tugas ini diantaranya adalah penghapusan feodalisme dan penghambaan, reformasi agraria, penghapusan monarki dan pembentukan parlemen demokratik, pembentukan Negara dengan batasan-batasan wilayah dan pasar nasionalnya, pembebasan nasional, modernisasi masyarakat, dan industrialisasi.
[3] Masalah Nasional (National Question) adalah persoalan yang terkait dengan pembentukan sebuah Negara dengan wilayah, demokrasi, dan pasar nasionalnya yang independen dan bebas dari imperialisme. Contoh-contoh Masalah Nasional sekarang ini adalah masalah Timor Leste sebelum perpisahannya, masalah independensi Quebec di Kanada, Basque di Spanyol, Kashmir di India dan Pakistan.
[4] Revolusi 1905, revolusi ini dipicu oleh pembantaian demonstrasi damai para pekerja St Petersburg pada tanggal 9 Januari 1905. Dalam Revolusi ini soviet-soviet pertama kali muncul dibeberapa kota di Rusia, terutama di Saint Petersburg dimana Trotsky terpilih menjadi presiden soviet tersebut. Setelah revolusi ini, monarki Tsar mulai dibatasi dengan pembentukan Duma (parlemen Rusia).
[5] Partai Kadet (Constitutional Democrats) dibentuk pada bulan Oktober 1905. Juga dikenal sebagai “Party of the People’s Freedom”. Partai Kadet adalah partainya kaum borjuis liberal Rusia yang menyerukan untuk mempertahankan monarki namun dengan mendirikan tatanan parlemen diseluruh Rusia. Selama Revolusi Februari 1917, partai Kadet beberapa kali mencoba untuk menyelamatkan monarki namun gagal. Setelah Revolusi Oktober 1917, mereka dibantu tentara Perancis, Amerika Serikat, Jepang dan Inggris menginvasi Uni Soviet. Setelah kekalahan tentara putih pada tahun 1922, para Kadet lari keluar negeri. Beberapa anggotanya terus membantu kaum Imperialis dalam usaha untuk menggulingkan pemerintahan Soviet.
[6] Menshevik, dari bahasa Rusia, artinya minoritas, adalah sayap reformis dari Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia yang memperoleh namanya dari perpecahan faksi dengan kaum Bolshevik dalam persoalan organisasional di kongres tahun 1903. Perbedaan politik yang fundamental antara kaum Menshevik dan kaum Bolshevik (yang berarti mayoritas), menjadi jelas pada tahun 1904 dan terbukti di dalam Revolusi 1905, akan tetapi mereka tetap menjadi tendensi oposisi dalam RSDLP (Russian Social Democratic Labour Party) sampai tahun 1912, saat partai terpisah berdiri. Kaum Menshevik menganut teori 'dua tahap' terhadap Revolusi Rusia, mengajukan argumen bahwa kaum proletar harus beraliansi dengan kaum liberal dan membatasi diri dengan mendirikan republik borjuis, menunda tugas-tugas sosialis. Pada tahun 1917, menteri-menteri Menshevik menyokong Pemerintah Sementara, mendukung kebijakan imperialisnya, dan memerangi revolusi proletar. Setelah Revolusi Oktober, kaum Menshevik terang-terangan menjadi partai kontra-revolusioner.
[7] Pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, semua kaum revolusioner tersatukan di dalam Sosial Demokrasi, dan Sosial Demokrasi sangat dipengaruhi oleh ide-ide Marx. Saat itu, semua kaum Marxis menyebut diri mereka Sosial Demokrat. Tetapi setelah pengkhianatan partai-partai Sosial Demokrasi yang tersatukan di Internasional Kedua dimana pada tahun 1914 mereka mendukung Perang Dunia Pertama, maka kaum Marxis revolusioner mencampakkan Sosial Demokrasi dan pecah dari Internasional Kedua.
[8] Tesis April adalah tesis yang dibacakan oleh Lenin pada dua pertemuan All-Russia Conference of Soviets of Workers and Soldiers Deputies pada tanggal 4 April 1917, setelah dia kembali ke Rusia. Tesis tersebut berisi program-program yang harus dijalankan oleh Soviet, tugas-tugas Bolsheviks serta menekankan pengambilalihan kekuasaan dari Pemerintahan Sementara ke Soviet-soviet. Tesis ini diformulasikan oleh Lenin untuk mempersenjatai ulang Partai Bolshevik, yang sebelumnya mengambil posisi mendukung Pemerintahan Sementara.
[9] Bolshevik yang dalam bahasa Rusia artinya mayoritas. Faksi ini dibentuk pada tahun 1903 oleh Lenin untuk melawan Menshevik saat itu. Perbedaan antara mereka pada saat itu hanyalah bersifat organisasional, dimana Bolshevik menginginkan partai dengan kader-kader yang profesional dan disiplin, sedangkan Menshevik menginginkan partai yang luas dan terbuka dengan jumlah anggota sebesar-besarnya. Perbedaan awal ini ternyata hanyalah pembukaan untuk perbedaan yang lebih fundamental, yakni antara Marxisme (Bolshevik) dan reformisme (Menshevik). Pada tahun 1912, faksi Bolshevik mendeklarasikan pendirian partai Bolshevik.
[10] Komunis Internasional (1917-1943), disebut juga Internasional Ketiga. Setelah kemenangan Revolusi Rusia pada tahun 1917 dan sementara republik Soviet masih berjuang dalam Perang Sipil, Bolshevik menyerukan kepada kaum revolusioner sedunia untuk datang ke Moskow dan membentuk sebuah organisasi Internasional baru dari kaum komunis yang revolusioner. Setelah Uni Soviet sendiri mulai mengalami degenerasi, yakni setelah kematian Lenin dan pengasingan Trotsky, dan Josef Stalin duduk sebagai pemimpin, Komunis Internasional mulai mengalami degenerasi. Komunis Internasional dibubarkan oleh Stalin pada tahun 1943 untuk berkompromi dengan kekuatan Sekutu.
[11] Soviet berarti “dewan” dalam bahasa Rusia, soviet adalah dewan yang dipilih secara lokal, kotapraja dan regional di Rusia dan kemudian Uni Soviet. Sebelum Revolusi Oktober 1917, sekitar 900 soviet berdiri. “Soviet adalah poros dari semua kejadian, setiap hal berjalan menujunya, setiap seruan aksi muncul darinya.“ (Leon Trotsky, 1905)
Soviet adalah perwakilan pekerja, kaum tani dan tentara dilokasi tertentu (soviet pedesaan terdiri dari campuran kaum tani dan tentara, sementara soviet perkotaan adalah campuran dari pekerja dan tentara).
Soviet adalah badan yang anggotanya adalah sukarelawan; rakyat yang terlibat melakukan hal tersebut untuk memperkuat posisi kelas mereka di politik Rusia. Soviet mendapatkan kekuatan politik setelah revolusi Bolshevik, bertindak sebagai badan eksekutif lokal pemerintah. Delegasi dipilih dari Soviet untuk All-Russian Congress of Soviets (Kongres Soviet Seluruh Rusia), dimana pondasi pemerintahan Soviet seharusnya berada. Namun lambat laun, soviet mulai kehilangan kekuasaan akibat kondisi yang sangat keras akibat Perang Sipil dan pada akhir 1920an menjadi perluasan top down dari partai “Komunis”.
[12] Gaafar Nimeiri adalah seorang diktatur Sudan dari tahun 1969 hingga 1985, dia meraih posisinya melalui kudeta pada tahun 1969. Pada tahun 1983, dia menetapkan hukum sharia Islam di seluruh Sudan.
[13] Frase rejim Bonapartis pertama kali digunakan oleh Marx untuk merujuk pada pemerintahan kediktatoran militer Louis Bonaparte pada tahun 1851. Sekarang, Bonapartisme digunakan untuk menjelaskan sebuah Negara yang telah terpisah dari basis kelas-kelas (borjuis atau proletar) karena lemahnya kelas-kelas tersebut untuk bisa mengalahkan yang lainnya dan berkuasa. Rejim Sukarno adalah rejim Bonapartis borjuis karena sistem ekonomi dan sosial Indonesia saat itu masihlah borjuis, walaupun Sukarno sangat bersandar pada kelas buruh Indonesia. Saat itu, kelas buruh dan kelas borjuis Indonesia tidak mampu mengambil kekuasaan secara pasti, walaupun sebenarnya kelas buruh Indonesia sangatlah kuat tetapi karena kepemimpinan PKI yang menolak kediktatoran proletariat sehingga kelas buruh Indonesia tidak mampu merebut kekuasaan. Inilah basis dari rejim Sukarno, yang berdiri di atas kedua kelas borjuis dan proletar, dan memainkan satu dengan yang lainnya untuk kepentingannya.
[14] Perpecahahan Sino-Soviet adalah perpecahan antara Partai Komunis Tiongkok dan Partai Komunis Uni Soviet yang merupakan akibat dari teori “sosialisme di satu negara” yang tak terelakkan menghasilkan pandangan nasionalisme sempit. Lebih dari 40 tahun sebelumnya, Trotsky telah memprediksi bahwa teori “sosialisme di satu negara” akan menghancurkan Komunis Internasional dan membawa pandangan nasionalisme sempit ke semua partai Komunis. Alasan dari perpecahan Sino-Soviet adalah usaha birokrasi Soviet untuk mencapai persetujuan dengan kaum Imperialis Amerika tanpa mempertimbangkan kepentingan kaum birokrasi Tiongkok.
Pendahuluan pada edisi tahun 1919
Karakter Revolusi Rusia[1] adalah masalah fundamental bagi aliran-aliran ideologi dan organisasi politik gerakan revolusioner Rusia yang berbeda-beda. Bahkan di dalam gerakan sosial-demokrat sendiri, masalah karakter Revolusi Rusia menyebabkan pertentangan yang serius segera setelah peristiwa-peristiwa memberikannya sebuah karakter praksis. Semenjak tahun 1904, pertentangan ini mengambil dua aliran fundamental: Menshevisme[2] dan Bolshevisme[3]. Dari sudut pandang Menshevisme, revolusi kita akan mengambil bentuk revolusi borjuis[4], dalam kata lain, secara alami revolusi ini merupakan transfer kekuasaan ke tangan kaum borjuis dan pembangunan kondisi bagi parlementer borjuis. Dari sudut pandang Bolshevisme, walaupun mengakui karakter borjuis dari revolusi yang akan datang, tugas revolusi yang mendatang adalah pembentukan sebuah republik yang demokratis melalui kediktatoran kelas proletar dan tani.
Analisa sosial Menshevik sangatlah dangkal dan pada intinya mereduksi analogi sejarah secara kasar – ini adalah metode yang tipikal dari kaum filistin[5] yang “terdidik”. Kenyataan bahwa perkembangan kapitalisme Russia telah menciptakan kontradiksi-kontradiksi yang luar biasa yang membatasi peran demokrasi borjuis menjadi tidak signifikan, dan juga pengalaman dari peristiwa-peristiwa selanjutnya; kenyataan ini tidak menghalangi kaum Menshevik dari usahanya untuk mencari demokrasi yang ‘sejati’, yang ‘asli’ yang akan memimpin ‘negara’ dan membentuk parlemen dan kondisi demokrasi bagi perkembangan kapitalis. Di mana-mana kaum Menshevik selalu mencari tanda-tanda perkembangan demokrasi borjuis, dan dimana mereka tidak mampu menemukan itu, mereka menciptakannya. Mereka membesar-besarkan pentingnya setiap deklarasi dan demonstrasi ‘demokratis’, pada saat yang sama meremehkan kekuatan dan prospek kelas proletar sebelum berjuang. Saking fanatiknya usaha mereka untuk mencari kepemimpinan demokrasi borjuis, guna mengamankan karakter borjuis yang ‘sah’ dari Revolusi Rusia yang menurut mereka dibutuhkan oleh hukum sejarah, selama Revolusi (periode dari Februari 1917 hingga Oktober 1917 – Ed.) ketika tidak ada kepemimpinan demokrasi borjuis yang bisa ditemui, kaum Menshevik sendiri yang mengemban tugas-tugas demokrasi borjuis.
Demokrasi borjuis-kecil tanpa ideologi sosialisme, tanpa persiapan kelas secara Marxis, tentu saja tidak dapat berbuat apa-apa di bawah kondisi Revolusi Rusia, seperti halnya kaum Menshevik di dalam perannya sebagai partai ‘yang memimpin’ pada saat Revolusi Februari. Ketiadaan pondasi sosial yang serius untuk demokrasi borjuis mempengaruhi kaum Menshevik, karena mereka menjadi kadaluwarsa dengan cepat, dan pada bulan ke delapan Revolusi (yakni Oktober 1917 – Ed.) mereka terlempar keluar oleh perjuangan kelas.
Sebaliknya, Bolshevisme sama sekali tidak memiliki keyakinan pada kekuatan demokrasi borjuis revolusioner di Rusia. Dari awal, Bolshevisme mengakui pentingnya kelas pekerja di dalam Revolusi yang mendatang. Akan tetapi, Bolshevik membatasi program Revolusi untuk kepentingan jutaan kaum tani, yang tanpa mereka Revolusi tidak akan mampu dilaksanakan. Oleh karena itu, kaum Bolshevik mengakui (untuk sementara) karakter demokratik-borjuis dari Revolusi ini.
Mengenai perkiraan kekuatan internal di dalam Revolusi dan prospeknya, pengarang buku ini, pada saat itu, tidak mengikuti kedua aliran utama di dalam gerakan buruh Rusia. Gagasan yang dia pegang saat itu dapat dirangkum sebagai berikut: Revolusi ini, yang dimulai sebagai sebuah revolusi borjuis di dalam tugas-tugas pertamanya, akan segera mengakibatkan konflik-konflik kelas yang besar dan hanya akan meraih kemenangan mutlak dengan memindahkan kekuasaan ke satu-satunya kelas yang mampu memimpin semua rakyat tertindak, kelas ini adalah kelas proletar. Setelah berkuasa, kaum proletar bukan hanya tidak ingin, tetapi tidak mampu membatasi dirinya di dalam program demokrasi borjuis. Kaum proletar hanya akan mampu membawa Revolusi ini ke garis akhir bila Revolusi Rusia diubah menjadi sebuah Revolusi Proletar Se-Eropa. Program demokrasi-borjuis kemudian akan terlampaui, dan dominasi politik kelas pekerja Rusia yang bersifat sementara akan berkembang menjadi sebuah kediktatoran sosialis yang mampu bertahan lama. Tetapi, bila tidak ada revolusi di Eropa, konter-revolusi borjuis tidak akan mentoleransi pemerintahan rakyat di Rusia dan akan melempar negara ini jauh ke belakang – jauh dari sebuah republik buruh dan tani yang demokratis. Maka dari itu, setelah meraih kekuasaan, kelas proletar tidak boleh membatasi dirinya di dalam limit demokrasi borjuis. Ia harus mengadopsi taktik revolusi permanen, yakni ia harus menghancurkan batasan antara program minimum dan maksimum Sosial Demokrasi, ia harus mengadopsi reformasi sosial yang lebih radikal dan mencari dukungan langsung dan segera dari revolusi di Eropa Barat. Gagasan ini dikembangkan dan didebatkan di karya yang sekarang diterbitkan ulang, yang ditulis pada tahun 1904-1906.
Dalam mempertahankan gagasan revolusi permanen selama 15 tahun ini, pengarang gagal menaksir dinamika faksi-faksi yang berseteruan di dalam gerakan sosial-demokrasi. Karena kedua faksi tersebut mulai dari sudut pandang revolusi borjuis, pengarang saat itu berpendapat bahwa perbedaan antara mereka tidaklah terlalu tajam untuk membenarkan perpecahan. Pada saat yang sama, pengarang buku ini berharap bahwa jalannya peristiwa mendatang akan membuktikan kelemahan demokrasi borjuis Rusia, dan juga kemustahilan objektif bagi kelas proletar untuk membatasi dirinya pada program demokrasi. Pengarang saat itu berpikir bahwa ini akan menyingkirkan perbedaan di antara kedua faksi tersebut.
Berdiri di luar kedua faksi pada saat pengasingan, pengarang tidak memikirkan secara serius bahwa pada kenyataannya pertentangan antara Bolshevik dan Menshevik telah menarik kaum revolusioner yang teguh ke satu kubu, dan menarik elemen-elemen yang menjadi semakin oportunis dan lembek ke kubu yang lain. Ketika Revolusi 1917 terjadi, Partai Bolshevik merupakan sebuah organisasi sentralis yang kuat yang menyatukan semua elemen terbaik dari para pekerja yang maju dan kaum intelektual yang revolusioner, yang – setelah perjuangan internal – secara terbuka mengadopsi taktik untuk mencapai kediktatoran sosial kelas pekerja, sesuai dengan seluruh situasi internasional dan relasi kelas di Rusia. Di pihak yang lain, faksi Menshevik, pada periode Revolusi 1917, telah menjadi cukup matang untuk melaksanakan tugas-tugas demokrasi borjuis, seperti yang telah saya jelaskan di atas.
Dalam menawarkan ke publik pencetakan ulang buku ini, sang pengarang tidak hanya bermaksud menjelaskan prinsip-prinsip teori yang memungkinkan ia dan kamerad-kamerad lainnya, yang selama bertahun-tahun berdiri di luar Partai Bolshevik, untuk bergabung dengan Bolshevik pada permulaan 1917 (penjelasan personal seperti itu bukanlah sebuah alasan yang cukup kuat untuk mencetak ulang buku ini), tetapi juga untuk mengulas ulang analisa sosial-historis dari kekuatan-kekuatan pengerak di dalam Revolusi Rusia, yang dimana sebuah kesimpulan ditarik bahwa pengambilalihan kekuasaan oleh kelas pekerja harus menjadi tugas dari Revolusi Rusia, dan kesimpulan ini ditarik jauh sebelum kediktatoran proletar telah menjadi sebuah fakta yang sudah terjadi. Bahwa kita bisa mempublikasikan buku ini yang ditulis pada tahun 1906 tanpa perubahan sama sekali adalah sebuah bukti yang memadai bahwa teori Marxisme ada di pihak partai yang benar-benar membawa kediktatoran kelas pekerja, dan bukan di pihak Menshevik yang menggantikan demokrasi borjuis.
Ujian akhir dari sebuah teori adalah praktek. Bukti yang tidak dapat dibantah bahwa kami telah menggunakan teori Marxis secara tepat adalah kenyataan bahwa kita sedang berpartisipasi di dalam peristiwa-peristiwa yang sudah kita ramalkan akan terjadi 15 tahun yang lalu, dan bahkan metode-metode partisipasi kami juga terbukti.
Sebagai sebuah tambahan, kami juga mencetak ulang sebuah artikel yang diterbitkan di Paris di koran Nashe Slovo[6] pada tanggal 17 Oktober 1915, yang berjudul Perjuangan Merebut Kekuasaan (lihat Bab 10 – Ed.). Artikel ini adalah artikel polemik dan mengkritisi Surat program yang ditujukan kepada “Kamerad-Kamerad di Rusia” oleh pemimpin-pemimpin Menshevik. Di dalam artikel ini, kita menyimpulkan bahwa perkembangan relasi kelas-kelas selama 10 tahun setelah Revolusi 1905 telah membuat harapan kaum Menshevik terhadap demokrasi borjuis semakin seperti ilusi, dan oleh karenanya, nasib Revolusi Rusia semakin terikat dengan kediktatoran proletar … Dengan perdebatan ide yang terjadi selama bertahun-tahun, hanya orang bodoh saja yang berpendapat bahwa Revolusi Oktober adalah sebuah adventurisme.
Berbicara mengenai sikap kaum Menshevik terhadap Revolusi Rusia, kita tidak bisa tidak berbicara mengenai degenerasi Kautsky[7], yang menemukan ekspresi kebangkrutan teori dan politiknya dari ‘teori-teorinya’ Martov[8], Dan[9], dan Tsereteli[10]. Setelah Revolusi Oktober 1917, kita mendengar dari Kautsky bahwa: walaupun perebutan kekuasaan oleh kelas pekerja harus dianggap sebagai tugas historis dari Partai Sosial-Demokrasi, Partai Komunis Rusia telah gagal merebut kekuasaan melalui pintu tertentu dan menurut agenda tertentu yang diterapkan oleh Kautsky, dan oleh karena itu Republik Soviet[11] harus diserahkan kepada Kerensky[12], Tsereteli, dan Chernov[13] untuk diperbaiki. Kritik Kautsky yang reaksioner dan pedantik[14] ini adalah lebih mengejutkan bagi kamerad-kamerad yang telah mengalami periode Revolusi Rusia yang pertama (Revolusi 1905 – Ed.) dengan mata terbuka dan telah membaca artikel-artikel karangan Kautsky tahun 1905-1906. Pada saat itu, Kautsky (ya benar, bukan tanpa pengaruh dari Rosa Luxemburg[15]) sepenuhnya memahami dan mengerti bahwa Revolusi Rusia tidak bisa berhenti di tahapan republik demokrasi-borjuis, tetapi harus secara tidak terelakkan menuju ke kediktatoran proletar, ini dikarenakan level perjuangan kelas di Rusia sendiri dan karena situasi kapitalisme secara internasional. Saat itu, Kautsky secara terbuka menulis mengenai negara buruh tanpa mayoritas sosial-demokrasi. Dia bahkan tidak berpikir untuk membuat perjuangan kelas tergantung pada kombinasi politik demokrasi yang berubah-rubah dan dangkal.
Pada saat itu, Kautsky mengerti bahwa Revolusi ini akan mulai, untuk pertama kalinya, membangkitkan jutaan kaum tani dan kaum borjuis-kecil kota, dan bukan secara sekaligus tetapi secara perlahan-lahan, satu lapis per lapis. Sedemikian rupa sehingga ketika perjuangan antara kaum proletar dan borjuis mencapai klimaksnya, massa tani yang luas masih berada pada level politik yang sangat primitif dan akan memberikan suara pilihan mereka kepada partai-partai politik perantara, yang merefleksikan keterbelakangan dan prasangka kelas tani. Saat itu Kautsky mengerti bahwa, setelah merebut kekuasaan revolusioner, kelas proletar tidak akan membiarkan nasib revolusi ditentukan oleh kesadaran lapisan masyarakat yang paling terbelakang, yakni massa yang belum terbangunkan. Sebaliknya, kaum proletar akan mengubah kekuasaan politik yang terkonsentrasikan di tangannya menjadi sebuah aparatus kuat guna membangunkan dan mengorganisir massa tani yang terbelakang dan bodoh. Kautsky mengerti bahwa untuk memanggil Revolusi Rusia sebagai sebuah revolusi borjuis dan membatasi tugas-tugasnya berarti tidak memahami apa yang sedang terjadi di dunia. Bersama-sama dengan kaum Marxis revolusioner Rusia dan Polandia, dia mengakui secara benar bahwa, bila kaum proletar Rusia merebut kekuasaan sebelum kaum proletar Eropa, ia harus menggunakan posisinya sebagai kelas penguasa bukan untuk menyerah kepada kaum borjuis tetapi untuk memberikan bantuan kepada revolusi di Eropa dan seluruh dunia. Semua perspektif dunia ini, yang dipenuhi dengan semangat ide Marxisme, tidaklah tergantung pada Kautsky atau kita, tidak tergantung pada bagaimana dan kepada siapa para petani akan memilih di dalam pemilu Majelis Konstituante pada bulan November dan Desember 1917.
Sekarang, ketika prospek-prospek yang sudah digarisbawahi 15 tahun yang lalu telah menjadi sebuah realitas, Kautsky menolak untuk memberikan sebuah akte lahir pada Revolusi Rusia karena kelahirannya belum didaftarkan secara sepatutnya di kantor politik demokrasi borjuis. Sungguh sebuah fakta yang menakjubkan! Sebuah kebangkrutan Marxisme yang hebat! Kita dapat mengatakan bahwa kebangkrutan Internasional Kedua[16] telah menemukan sebuah penghakiman filistin terhadap Revolusi Rusia oleh salah satu teoritisi terhebatnya, suatu hal yang lebih buruk daripada penyokongan Kredit Perang[17] oleh Internasional Kedua pada tanggal 4 Agustus, 1914.
Selama puluhan tahun Kautsky mengembangkan dan membela gagasan-gagasan revolusi sosial. Sekarang ketika revolusi sosial tersebut menjadi realitas, Kautsky mundur ketakutan. Dia takut akan kekuasaan Soviet Rusia dan mengambil sikap memusuhi gerakan kaum proletar Komunis Jerman yang dahsyat. Kautsky adalah seperti seorang guru yang menyedihkan hidupnya, yang selama bertahun-tahun mengulangi penjelasan mengenai musim semi kepada murid-muridnya di dalam kungkungan empat tembok kelasnya yang sesak. Di akhir karirnya, dia memutuskan untuk keluar dari kelasnya dan dia tidak mengenali musim semi, dan menjadi marah dan mencoba untuk membuktikan bahwa musim semi bukanlah musim semi, tetapi hanyalah sebuah kekacauan alam yang besar yang tidak sesuai dengan hukum alam. Sungguh suatu hal yang menguntungkan karena rakyat pekerja tidak mempercayai sang guru yang kaku, tetapi mempercayai suara musim semi!
Kami, murid-murid Marx, bersama-sama dengan rakyat pekerja Jerman, teguh dengan keyakinan kami bahwa musim semi revolusi telah tiba sesuai dengan hukum sosial, dan pada saat yang sama sesuai dengan hukum teori Marxisme, karena Marxisme bukanlah seorang guru yang terbang di atas sejarah, tetapi sebuah analisa cara dan metode proses historis yang benar-benar terjadi.
Saya telah menerbitkan kedua karya ini – yakni karya yang ditulis pada tahun 1906 dan 1915 – tanpa perubahan sama sekali. Awalnya saya bermaksud untuk menambahkan catatan-catatan pada kedua karya tersebut supaya mereka sesuai dengan waktu sekarang. Tetapi setelah membaca kedua karya tersebut, saya membatalkan maksud tersebut. Bila saya ingin lebih detil, saya harus menulis buku dua kali tebalnya, dan saat ini saya tidak memiliki waktu – dan juga buku tebal seperti itu akan merepotkan pembaca. Dan, yang lebih penting, saya menganggap bahwa alur gagasan utama di dalam karya tersebut sangatlah dekat dengan kondisi sekarang ini, dan para pembaca yang ingin lebih mengerti buku ini secara seksama bisa dengan mudah menambahkan data-data yang diambil dari pengalaman Revolusi sekarang ini.
L. TROTSKY
12 Maret, 1919
Kremlin
________________________________________
Catatan
[1] Revolusi Rusia, yang dimulai pada tanggal 24-27 Februari 1917 dimana kerajaan Tsar ditumbangkan dan digantikan oleh kekuasaan ganda Soviet dan Pemerintahan Sementara. Lalu kemudian pada tanggal 24-25 Oktober 1917, Bolshevik bersama dengan Soviet-soviet dari kota-kota besar Rusia menggulingkan Pemerintahan Sementara tersebut. Revolusi diikuti dengan Kongres Kedua Soviet Seluruh Rusia, dimana dibentuk Republik Sosialis dari Federasi Soviet Rusia dan kemudian Pemerintahan Soviet berdiri.
[2] Menshevik, dari bahasa Rusia, artinya minoritas, adalah sayap reformis dari Sosial Demokrat Rusia yang memperoleh namanya dari perpecahan faksi dengan kaum Bolshevik dalam persoalan organisasional di kongres tahun 1903. Perbedaan politik yang fundamental antara kaum Menshevik dan kaum Bolshevik (yang berarti mayoritas), menjadi jelas pada tahun 1904 dan terbukti di dalam Revolusi 1905, akan tetapi mereka tetap menjadi tendensi oposisi dalam RSDLP (Russian Social Democratic Labour Party) sampai tahun 1912, saat partai terpisah berdiri. Kaum Menshevik menganut teori 'dua tahap' terhadap Revolusi Rusia, mengajukan argumen bahwa kaum proletar harus beraliansi dengan kaum liberal dan membatasi diri dengan mendirikan republik borjuis, menunda tugas-tugas sosialis. Pada tahun 1917, menteri-menteri Menshevik menyokong Pemerintah Sementara, mendukung kebijakan imperialisnya, dan memerangi revolusi proletar. Setelah Revolusi Oktober, kaum Menshevik terang-terangan menjadi partai kontra-revolusioner.
[3] Bolshevik yang dalam bahasa Rusia artinya mayoritas. Faksi ini dibentuk pada tahun 1903 oleh Lenin untuk melawan Menshevik saat itu. Perbedaan antara mereka pada saat itu hanyalah bersifat organisasional, dimana Bolshevik menginginkan partai dengan kader-kader yang profesional dan disiplin, sedangkan Menshevik menginginkan partai yang luas dan terbuka dengan jumlah anggota sebesar-besarnya. Perbedaan awal ini ternyata hanyalah pembukaan untuk perbedaan yang lebih fundamental, yakni antara Marxisme (Bolshevik) dan reformisme (Menshevik). Pada tahun 1912, faksi Bolshevik mendeklarasikan pendirian partai Bolshevik.
[4] Revolusi Borjuis adalah ungkapan yang yang secara konvensional digunakan dalam periode kemunculan kapitalisme untuk menyatakan revolusi-revolusi melawan kelas feodal yang berkuasa. Revolusi-revolusi borjuis klasik (Revolusi Perancis (Revolusi Besar) tahun 1789 adalah contoh yang paling terkenal darinya) diadakan untuk mengantarkan borjuis kepada kekuasaan dengan menggunakan melimpahnya gerakan massa di bawah panji-panji demokrasi. Itulah pengalaman dari semua revolusi borjuis di mana borjuis menjelma jadi kontra revolusi sejalan dengan meningkatnya derajad tuntutan massa untuk melaksanakan slogan-slogan demokratik dalam konklusi prakteknya. Revolusi Rusia mulanya adalah untuk menuntaskan tugas-tugas revolusi borjuis, tetapi karena kaum borjuis menentang segala tugas-tugas demokratik dan mengambil posisi kontra revolusioner, maka kepemimpinan beralih ke tangan kaum proletar yang akhirnya merebut kekuasaan dengan memimpin kaum buruh tani miskin dan melaksanakan revolusi tersebut sebagai revolusi permanen. Inilah proses 'revolusi permanen' yang diramalkan dan dijelaskan oleh Trotsky.
[5] Filistin (Philistine), ungkapan yang awalnya dipergunakan oleh mahasiswa-mahasiswa Jerman untuk melukiskan penduduk di kota Universitas mereka. Berangsur-angsur ungkapan ini beralih artinya menjadi orang-orang yang tidak mempunyai perhatian terhadap keintelektualan sama sekali, borjuis kecil yang berpikiran sempit dan egois. Pada famplet ini yang dimaksudkan adalah sifat berpikiran sempit, picik, dan egois itu.
[6] Nashe Slovo (artinya Suara Kami) adalah koran kaum Menshevik Internasionalis (yakni kaum Menshevik yang menentang Perang Dunia Pertama) yang dipublikasikan di Paris dari Januari 1915 hingga September 1916.
[7] Karl Kautsky (1854-1938) menyandang reputasi sebagai kawan lama Engels, ia termasuk pendiri Internasionale Kedua, dan pembela Marxisme di masa awal dalam menghadapi revisionisme Berstein. Akan tetapi, dengan semakin mendekatnya tugas-tugas praktek dari revolusi, makin bimbanglah Kautsky, dengan lihai ia menutupi penolakannya terhadap Marxisme revolusioner dengan menggunakan tetek bengek sofis dan ungkapan-ungkapan 'Marxis'. Ia menjadi duri dalam daging dalam Revolusi Oktober di Rusia 1917.
[8] Yuli Osipovich Tsederbaum Martov (1873-1923) adalah pemimpin Menshevik. Dia memulai karir politiknya pada tahun 1895 bekerja bersama Lenin di Liga Perjuangan Untuk Emansipasi Klas Pekerja (League of Struggle for the Emancipation of the Working Class) di kota St Petersburg. Berkolaborasi dengan Lenin untuk mendirikan Iskra namun pecah dengannya pada tahun 1903 dalam persoalan peraturan organisasi PBSDR.
[9] Fedor Dan (1871-1947) adalah nama samaran F. Gurvich. Dia membantu Martov untuk membentuk Menshevik. Dia adalah sosial-sovinis selama Perang Dunia Pertama. Setelah Revolusi Februari 1917, dia menjadi anggota Komite Eksekutif Soviet Petrograd, mendukung Pemerintahan Sementara. Dia menentang Revolusi Oktober. Pada tahun 1922 diusir dari Rusia karena melakukan aktifitas kontra revolusi. Dia lalu meninggal di AS.
[10] Irakli Tsereteli (1882-1959) adalah pemimpin Menshevik. Ia adalah anggota Komite Eksekutif Soviet Petrograd pada tahun 1917, Tsereteli menjadi Menteri Pos dan Telegraf pertama dalam Pemerintahan Sementara. Setelah kejadian Juli dia menjadi Menteri Dalam Negeri, menggantikan Prince Lvov. Setelah Revolusi Oktober, Tsereteli memimpin blok anti Soviet dalam Majelis Konstituante yang menolak mengakui Pemerintahan Soviet. Selama Perang Sipil Tsereteli membantu mendirikan pemerintahan Menshevik di Georgia. Setelah Stalin memimpin Tentara Merah untuk menginvasi Georgia (yang kemudian dikenal sebagai Insiden Georgia), pemerintahan Menshevik digulingkan dan Tserteli kemudian meninggalkan Rusia.
[11] Soviet dalam bahasa Rusia artinya Dewan. Ia pertama kali muncul dalam revolusi 1905 sebagai organ-organ perjuangan ataupun sebagai komite pemogokan. Setelah Tsar ditumbangkan pada bulan Februari 1917, Pemerintahan Sementara memegang kekuasaan formal. Tetapi kekuasaan yang sesungguhnya terletak di tangan Soviet-soviet Wakil Buruh dan Prajurit yang lahir kembali, yaitu badan yang berisi delegasi yang dipilih, diciptakan oleh inisiatif massa, yang anggotanya dapat diganti sewaktu-waktu oleh rakyat. Jadi, pada saat itu terdapat dua kekuasaan sebab kaum Menshevik dan Sosialis Revolusioner yang mulanya memegang kendali atas soviet-soviet gagal merebut kekuasaan negara ke tangan soviet-soviet, malah menggunakan otoritasnya untuk mendukung dan memperkuat Pemerintahan Sementara. Pada bulan Juli 1917 hal ini memungkinkan terjadinya 'konsolidasi' pemerintah provisional, sementara para pemimpin kaum Menshevik dan Sosialis Revolusioner membubarkan Soviet-soviet. Segera setelah itu, kaum Bolshevik meraih suara mayoritas dalam posisi-posisi kunci di Soviet-soviet, lalu memimpin pemberontakan Oktober meraih kemenangan.
[12] Alexander Kerensky (1882-1970) adalah anggota sayap kanan partai Sosialis Revolusioner. Saat Revolusi Februari, Kerensky adalah wakil ketua Soviet Petrograd. Dia menjadi Menteri Kehakiman dalam pemerintahan yang baru dibentuk. Dia lalu menjabat sebagai Perdana Menteri yang terakhir dari Pemerintahan Sementara sebelum digulingkan oleh Revolusi Oktober.
[13] Victor Mikahilovich Chernov (1876-1952) adalah salah soerang pemimpin dan teoritikus dari Sosialis-Revolusioner. Dia adalah Menteri Pertanian di Pemerintahan Provisional dari Mei-September 1917, dimana dia memerintahkan represi terhadap para petani yang menyita tanah para tuan tanah.
[14] Terlalu mementingkan formalitas, bersifat akademis
[15] Rosa Luxemburg (1871-1919) dilahirkan di Polandia. Dia adalah salah satu pemimpin gerakan Komunis di Jerman dan di Polandia. Pada tanggal 15 Januari 1919, dia dibunuh oleh tentara Jerman bersama-sama dengan Karl Liebknecht. Kematian dia adalah salah satu faktor penting yang menyebabkan kegagalan revolusi Jerman.
[16] Internasional Kedua - Pada tahun 1880, Partai Sosial Demokrat Jerman mendukung seruan dari kamerad-kamerad Belgia untuk mengadakan kongres sosialis internasional pada tahun 1881. Kota kecil bernama Chur dipilih dan kaum sosialis Belgia, Parti Ouvrier dari Perancis, Sosial Demokrat Jerman dan Sosial Demokrat Swiss berpartisipasi dalam persiapan kongres yang akhirnya menuju pada pembentukan Sosialis Internasional atau Internasionale Kedua. Tidak seperti Internasionale Pertama, Internasionale Kedua terdiri dari partai-partai politik yang memiliki pemimpin terpilih, program politik dan keanggotaan yang berbasiskan di negerinya masing-masing. Seksi nasional dari Internasionale Kedua membangun serikat buruh, terlibat dalam pemilihan umum dan sangat terlibat dalam kehidupan klas pekerja di negerinya masing-masing. Permulaan Perang Dunia pada tahun 1914 dan krisis nasional dan revolusioner yang disebabkan perang menyebabkan krisis di dalam Internasionale Kedua, dimana sebagian besar partai-partai di dalam Internasionale Kedua mendukung peperangan ini dan jatuh pada sosial-sovinisme. Inilah awal dari kejatuhan Internasional Kedua.
[17] Kredit Perang adalah anggaran perang untuk perang dunia kedua, yang didukung oleh partai-partai sosial demokratik dari Internasional Kedua pada tahun 1914.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar