Sabtu, 01 Januari 2011

Kesetaraan Dan Keadilan Gender

I. Pendahuluan

Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-
bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut.
Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional
sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan
dan kesetaraan gender.

Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari empat key cross cutting issues dalam Propenas.
Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di
pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada
pembangunan dalam kebijakan, program/proyek dan kegiatan.
Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun
masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan.
Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum dioptimalkan. Oleh karena itu program
pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.

Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000)
merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan
mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses
pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.

Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena
kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam
mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan
yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.

Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik
perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan
belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh
manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih
belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.
Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki
daripada perempuan (ideology patriarki); Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin
dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender; Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau
cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik; Kemampuan, kemauan dan kesiapan
perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; Rendahnya pemahaman para pengambil
keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender.
Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra
kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan
pembangunan.
Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai
peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa depan.

II. Kondisi perempuan Indonesia

Secara keseluruhan indeks kualitas hidup manusia digambarkan melalui Indeks Pembangunan Manusia/Human
Development Index (HDI) yang berada pada peringkat ke-96 pada tahun 1995 yang kemudian menurun ke peringkat 109 pada
tahun 1998 dari 174 negara. Tahun 1999 berada pada peringkat 102 dari 162 negara dan tahun 2002, 110 dari 173 negara.
Berdasarkan Human Development Report 2003, HDI Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175 negara, dibandingkan
Negara-negara ASEAN lainnya seperti HDI Malaysia, Thailand, Philippina yang menempati urutan 59, 70 dan 77.
Sedangkan Gender related Development Index (GDI) berada pada peringkat ke-88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke
peringkat 90 (1998) dan peringkat 92 (1999 dari 146 negara). Kemudian pada tahun 2002 pada peringkat 91 dari 144 negara
GDI inipun masih tertinggal dibandingkan dengan-negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Philippina yang masing-
masing berada pada peringkat 54, 60, 63.
Berdasarkan hasil Survey Penduduk 2000 (BPS) diketahui jumlah penduduk Indonesia sebesar 206.264.595 orang. Jumlah
laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan, (50,1% diantaranya laki-laki dan 49,9% perempuan).
Indeks pembangunan manusia skala internasional dan nasional dilihat dri tiga aspek yaitu pendidikan, kesehatan dan
ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3 (tiga) aspek tersebut di atas sebagai berikut:

1. Pendidikan
Di bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya
pandangan dalam masyarakat yang mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada
perempuan.
Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari presentase perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001)
lebih besar dibandingkan laki-laki (6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada tahun
2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup signifikan. Namun angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari
laki-laki, khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara
nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (Sumber: BPS, Statistik
Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik Kesejahteraan Rakyat 2003. Angka buta huruf perempuan 12,28%
sedangkan laki-laki 5,84%.

2. Kesehatan
Menurut Gender Statistics and indicators 2000 (BPS), kemajuan di bidang kesehatan ditunjukkan dengan menurunnya angka
kematian bayi (dari 49 bayi per 1000 kelahiran pada tahun 1998 menjadi 36 tahun 2000, (Sumber: BPS, Statistik
Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Menurunnya angka kematian anak serta meningkatnya angka harapan hidup dari 64,8
tahun (1998) menjadi 67,9 tahun (2000), Berdasarkan estimasi parameter demografi 1998 yang dikeluarkan BPS, angka
harapan hidup (eo) pada periode 1998-2000 cenderung meningkat. Usia harapan hidup (life expectancy rate) perempuan lebih
tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 69,7 tahun berbanding 65,9 tahun. (Sumber: BPS, Estimasi Parameter Demografi, 1998).
Dibidang kesehatan, selama periode 1998-2000 ada penurunan angka kematian bayi, Infant Mortality Rate (IMR). Namun
angka kematian bayi laki-laki lebih tinggi dibandingkan angka kematian bayi perempuan. Laki-laki 41, perempuan 31,
(Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001).
Sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat, angka kematian anak, Child Mortality Rate (CMR)
periode ini juga menunjukkan penurunan, namun demikian angka kematian anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan kematian
anak perempuan laki-laki 9,8 sedangkan perempuan 7,9. (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001).
Dibidang kesehatan dan status gizi perempuan masih merupakan masalah utama, yang ditunjukkan dengan masih tingginya
angka kematian ibu (AKI) 390/100.000 (SDKI 1994), 337/100.000 (SDKI 1997), dan menurun 307/100.000 (SDKI 2002).

3. Ekonomi
Di bidang ekonomi, secara umum partisipasi perempuan masih rendah, kemampuan perempuan memperoleh peluang kerja
dan berusaha masih rendah, demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu 45% (2002) sedangkan
laki-laki 75,34%, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Sedangkan ditahun 2003 TPAK laki-laki lebih
besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12% berbanding 44,81%. (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakya, 2003).

III. Faktor Kesenjangan dibidang hukum dan politik

Faktor penyebab kesenjangan kondisi dan posisi perempuan dan laki-laki dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan
yang bias gender karena dalam bidang hukum masih banyak dijumpai substansi, struktur, dan budaya hukum yang
diskriminatif gender. Jumlah peraturan perundang-undangan yang diskrimintaif terhadap perempuan berjumlah kurang lebih
32 buah.

Faktor penyebab kesenjangan gender pada aspek lain misalnya politik sebagai berikut: hasil Pemilu tahun 1999 yang
menyertakan 57% pemilih perempuan hanya terwakili 8,8% dari seluruh anggota DPR, lebih rendah dari hasil pemilu 1997
yang berjumlah 11,2% dari jumlah pemilih 51%, (Sumber: Statistik dan Indikator Gender Indonesia 2002). Pemilu 2004
perempuan hanya terwakili 11%.

Jumlah perempuan yang menjabat sebagai Hakim Agung dan Hakim Yustisial Non Struktural di Mahkamah Agung juga
menunjukkan penurunan dari 36 pada tahun 1998 menjadi 34 pada tahun 1999, dan 28 pada tahun 2002, (Sumber: Statistik
dan Indikator Gender Indonesia 2002-Bab7).
Pada tahun 1999 jumlah PNS perempuan adalah 36,9%, laki-laki sebesar 63,1% dari jumlah seluruh PNS (4.005.861), dan
dari jumlah tersebut hanya 15,2% PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar
84,8%. Sedangkan tahun 2000 terjadi sedikit perubahan dimana jumlah PNS perempuan adalah 37,6%, laki-laki sebesar
62,4% dari jumlah seluruh PNS (3.927.146), dan dari jumlah tersebut hanya 15,7% yang menduduki jabatan struktural,
sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,3%. (Statitik dan Indikator Gender, BPS, 2000).

Masalah HAM bagi perempuan termasuk isu gender yang menuntut perhatian khusus adalah masalah penindasan dan
eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah
perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain
dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat
pendidikan.

IV. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan gender

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya
sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan
tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki
maupun perempuan.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti
tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan
dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki
wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti
memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh
manfaat yang sama dari pembangunan.

V. Pengertian gender dan seks

Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan
perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu
tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.

Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan
budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara
perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.

Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender: dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung
waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia.
Lain halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja,
di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.

VI. Permasalah Ketidakadilan Gender

Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan
di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan
pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada
kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi
kaum laki-laki.

Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara
langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan
berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh
masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya
tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan
kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja
bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.

Faqih dalam Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki
maupun perempuan sebagai korban dari sistem (Faqih, 1998a; 1997). Selanjutnya Achmad M. menyatakan, ketidak adilan
gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada perempuan; misalnya marginalisasi,
subordinasi, stereotipe/pelabelan negatif sekaligus perlakuan diskriminatif (Bhasin, 1996; Mosse, 1996), kekerasan terhadap
perempuan (Prasetyo dan Marzuki, 1997), beban kerja lebih banyak dan panjang (Ihromi, 1990). Manisfestasi ketidakadilan
gender tersebut masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis (Achmad M. hal.
33, 2001).

VII. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender

1. Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender
Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi
dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas
perempuan maupun laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.
Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti
internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan
pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki.
Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil
alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.

Beberapa studi dilakukan untuk membahas bagaimana program pembangunan telah meminggirkan sekaligus memiskinkan
perempuan (Shiva, 1997; Mosse, 1996). Seperti Program revolusi hijau yang memiskinkan perempuan dari pekerjaan di
sawah yang menggunakan ani-ani. Di Jawa misalnya revolusi hijau memperkenalkan jenis padi unggul yang panennya
menggunakan sabit.

Contoh-contoh marginalisasi:
 laki-laki;
§Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan
 hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki,
§Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan
menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani;
 tenaga perempuan;
§Usaha konveksi lebih suka menyerap
 perempuan;
§Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak
 seperti “guru taman kanak-kanak” atau “sekretaris” dan
§Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan
“perawat”.

2. Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama
dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan
lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakan
kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai
masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang
hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang
akan pergi tidak perlu izin dari isteri.

3. Pandangan stereotipe
Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang
ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan
pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan),
Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya
pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan
domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan
masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.
Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan
tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut
banyak menghakimi dan merugikan perempuan.
Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik,
bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang
dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.

4. Kekerasan
Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata
kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis
seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan
penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik.
Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat
umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-
laki, tetangga, majikan.

5. Beban Ganda
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis
kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki,
dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari
pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan,
terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami
kaum laki-laki di satu sisi.

VIII. Peran perempuan di domestik dan publik

Women have a vital role to play in the promotion of peace in all sphares of life, in the family, the community, the nation, and the
world. Women must participate equally with men in the decision making process which help to promote peace at all the levels
(Deklarasi Konferensi Mexico, 1975)
Kelebihan/potensi perempuan:
• Rasa sosial, toleransi, ikatan kelompok
• Jiwa interpreneur (keseimbangan pendapatan-pengeluaran)
• Perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, terutama bagi anak-anaknya
• Perajut persatuan dan kesatuan hidup masyarakat, bangsa, dan negara
• Pendidik pertama dan utama bagi generasi penerus keluarga, bangsa, dan negara
Perjuangan Kesetaraan laki-laki dan perempuan (internasional)
• Deklarasi HAM, PBB (1948) memberi aspirasi bagi gerakan feminis untuk memperjuangkan hak-hak perempuan (all human
beings are born free and equal in dignity and rights), 1952 hak politik dan ekonomi perempuan diadopsi PBB.
• 1963, gerakan global emasipasi masuk dalam agenda PBB (ECOSOC) untuk diakomodasi Negara anggota, Commission on
the Status of Women (1967) memberi aspirasi pada lahirnya PKK.
• Konferensi di Mexico, 1975 menyetujui program WID (Women in Development) sebagai strategi meningkatkan peran wanita.
• Konferensi di Nairobi, 1985 setujui pembentukan UNIFEM lembaga PBB untuk perempuan dengan program WAD (Women
and Development) 1979 CEDAW-PBB, melalui UU No. 7 tahun 1984, Indonesia meratifikasi CEDAW.
• Pertemuan di Vienna, 1990 menyetujui program GAD (Gender and Development) dengan strategi Pengarustuaamaan
Gender, melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, Indonesia meratifikasi CRC (Convention Rights of Children).
• Konferensi ICPD, Cairo 1994 mengagendakan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan dalam pembangunan yang
berkelanjutan.
• Konferensi di Beijing, 1995 merinci 12 keprihatinan terhadap perempuan yang dikenal dengan 12 critical issues.
Secara Nasional antara lain:
§Adanya UUD 1945 yang sudah empat kali diamandemen
 tentang Propenas
§UU No. 25 tahun 2000
§UU No. 12 tahun 2000 tentang Pemilu
 Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
§IInstruksi
Prinsip dasar membangun kesetaran gender di Indonesia
• Menghargai pluralistik
• Pendekatan sosio-kultural
• Peningaktan ekonomi dan kesejahteraan rakyat
• Penegakan HAM dan supremasi hukum
• Penghapusan kekerasan dan diskriminasi
• Penyadaran pilar pembangunan
• Pemerintah: sosialisasi dan advokasi
• Masyarkat: sensitisasi dan advokasi
• Dunia usaha, penyadaran dan advokasi
• Penyatuan persepsi, pemahman, dan penyadaran kepada semua pihak untuk mewujudkan kesetaran gender dan
perlindungan anak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

IX. Upaya-upaya dan usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka KKG

Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI sebenarnya
merupakan bentuk pembaruan pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah memberikan
manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup
perempuan dari berbagai aspek , meskipun masih belum optimal.

Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat
dari kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak, pada
saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang belum peka gender, yang mana belum
mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum
menetapkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.

Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan para perencana dan pembuat keputusan;
ketidak lengkapan data dan informasi gender yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya
hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan
perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program
pembangunan

Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik
migrasi domestik maupun internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga, masyarakat dan
berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan
keadilan gender mulai dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran masyarakat
yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).

Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan
perempuan baik dalam memperoleh peluang, kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan
manfaat atas hasil pembangunan.
Hal ini tidak lain karena masalah struktural utamanya. Selain nilai-nilai budaya patriarkhi yang dilegitimasi dengan (atas nama)
agama dan sistem sosial yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan dan peran yang berbeda dan dibeda-
bedakan. (Zaitunah Subhan, hal. 17-18, 2001)

Dalam GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan perempuan yakni pertama meningkatkan
kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban
oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kedua meningkatkan kualitas
peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai
historis perjuangan perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga
dan masyarakat.

Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen bangsa Indonesia yang
pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat
secara keseluruhan.
Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan
pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.

Berdasarkan arah kebijakan yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk butir pemberdayaan perempuan, Propenas 2000-
2004 telah melakukan mainstreaming kebijakan dan program pembangunan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya
Propenas telah dirumusakan secara lebih rinci setiap tahunnya ke dalam Rencana Pembangunan tahunan (Repeta), untuk
tahun 2001 (Repeta 2001).

Selanjutnya dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2001-2004, program yang disusun terdiri dari
program dalam rangka pembangunan pemberdayaan perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan
upaya peningkatan kemampuan. Mencakup Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Pemberdayaan Perempuan;
Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan; Program Peningkatan Peran Masyarakat Pemampuan Kelembagaan
Pengarusutamaan Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; Program Sumber Daya, Sarana dan
Prasarana. Mengingat produk tersebut merupakan undang-undang, maka untuk mewujudkan kesetaran dan keadilan gender
harus menjadi komitmen bersama.

Dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melaui program yang peka akan permasalahan gender,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah bekerjasama dengan UNFPA dalam melaksanakan serangkaian kegiatan
Mainstreaming Gender Issues in Reproductive Health and Population Policies and Programmes.

Tujuan utama program ini adalah tercapainya perbaikan status kesehatan reproduksi kaum perempuan dan laki-laki melalui
kebijakan program kesehatan reproduksi dan kependudukan yang sensitif gender. Hal ini akan dicapai melalui penguatan
kapasitas nasional untuk melakukan pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi konsep gender dalam formulasi dan
pelaksanaan kebijakan dan program untuk kesehatan reproduksi dan kependudukan.

Upaya mengaktualisasikan dan memanifestasikan dan mengakselerasi-kan PUG di sektor strategis, propinsi dan
kabupaten/kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah melaksanakan program dan langkah konkrit antara lain:
• Program Pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan perempuan, serta serangkaian koordinasi telah
dilakukan dalam upaya perbaikan undang-undang yang masih bias gender seperti UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
dan UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.
• Program Peningkatan Peranserta masyarakat dan penguatan kelembagaan PUG dilakukan dengan melalui: sosialisasi,
advokasi, dan pelatihan analisis gender baik di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota;
• Pengembangan modul sosialisasi/advokasi gender;
• Pengembangan alat untuk analisis gender yang digunakan dalam perencanaan program dan dikenal dengan Gender
Analysis Pathway (GAP); dan Problem Base Analysis (PROBA).
• Pengembanagan Homepage untuk penyediaan data dan informasi program pembangunan pemberdayaan perempuan,
konsep kesetaraan dan keadilan gender dan jaringan informasi dengan website;
• Penyusunan Profil Gender untuk 26 propinsi;
• Fasilitasi bantuan teknis kepada daerah propinsi, kabupaten dan kota;
• Tersedianya data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin secara berkala dan berkesinambungan dari propinsi
dan kabupaten/kota mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah.

X. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa diskriminasi gender telah melahirkan ketimpangan dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, selain itu ketimpangan lebih banyak dialami perempuan dari pada
laki-laki.

Akibat diskriminasi gender yang telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, politik,
hankam dan HAM berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi yang tidak menguntungkan ini apabila tidak diatasi,
maka ketimpangan atau kesenjangan pada kondisi dan posisi perempuan tetap saja akan terjadi.

Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi
ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh
akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan
tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, dimana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam
proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam memberikan konstribusi terhadap program pembangunan
menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi.

XI. Saran dan pesan:

Pada kesempatan ini dihimbau kepada para kandidat puteri Indonesia yang dibanggakan untuk berperan aktif dalam
memajukan posisi dan kondisi perempuan Indonesia dalam segala aspek/bidang pembangunan, misalnya melalui aktifitas
peningkatan pengetahuan dan penyebarluasan seluruh informasi sebagaimana telah dipaparkan tersebut di atas, baik pada
kalangan sendiri, dalam keluarga, serta lingkungan masyarakat luas. Mudah-mudahan apa yang telah disampaikan dapat
memberi manfaat yang sebesar-besar bagi diri sendiri, masyarakat bangsa dan Negara.

Pesan khusus untuk semua kandidat adalah menjaga jatidiri puteri Indonesia yang bermoral karena kita mempunyai macam-
macam agama yang diakui dan ragam budaya yang dapat dijalankan dan dijaga kelestariannya. Sekaligus saya tekankan
semoga semua kandidat puteri Indonesia dapat menjunjung tinggi agamanya dan jatidirinya sebagai Bangsa Indonesia yang
aman dan damai.


J
akarta, 3 Agustus 2004

Daftar Pustaka:

Achmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2001.
BPS, United Nations Developmen Fund for Women. Gender Statistics and Indicators 2000.
BPS, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, JICA dan UNFPA, Buku Referensi Pelatihan: Fakta dan Indikator Gender, Tingkat Nasional, 4
Propinsi dan 16 Kabupaten/Kota Terpilih, 2003.
BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2003.
Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, et all, Dr. H. Abdul Djamil, MA. (Pengantar), Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri (Editor), Bias Jender dalam Pemahaman
Islam, Jilid I Penerbit IAIN Walisongo dengan Gama Media, 2002.
Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, Diterbitkan atas kerjasama RIFKA ANNISA Women’s Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar, 1996.
Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998, Profil Wanita Indonesia.
Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, Pedoman Teknis Perencanaan Pembangunan Berperspektif Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Deputi Bidang Kesetaraan Gender bekerjasama dengan Bangun Mitra Sejati, 2001, Modul
Pelatihan, Keadilan dan Kesetaraan Gender untuk BUMN/BUMD dan Perusahaan Swasata.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Panduan Gender dalam Perencanaan Partisipatif.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 1, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Edisi ke-2, Apa Itu Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 2, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Edisi ke-2, Bagaimana
Mengatasi Kesenjangan Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 3, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Ediisi ke-2, Perencanaan
erperspektif Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2002, Buku 4, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Edidisi ke-2, Pemantauan dan
Penilaian.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Bahan Informasi Gender, Modul 1: Apa itu Gender?
UNIFEM and NCRFW, 1994, Gender and Development Making the Bureaucracy gender-responsive, a sourcebook for advocates, planners, and
implementors, (developed by dr. amaryllis t. tores and professor rosario s. del rosario with the assistance of professor rosalinda pineda-ofreneo for
Unifem and NCRFW).
UNFPA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN, 2003, Bunga Rampai “Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender dan
Program Pembangunan Nasional”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar