Sabtu, 01 Januari 2011

Kesetaraan Gender dalam Pendidikan



BANYAK laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang
berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa.

Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin
menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak
memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya.

Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya.
Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional,
dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan
keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri
pula bagi perempuan.

Bias Gender

Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki
maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender
dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh
masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.

Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah,
tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang
selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak
anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.

Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan
para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias
gender.

Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan
gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan
kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki.

Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas
mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin
perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.

Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan
ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering
ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas.
Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan
kerja publik bagi laki-laki.

Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika
seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh
cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak
perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang
boleh menangis dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.

Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa
perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat
nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan
sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah: laki-laki yang membawa
bendera pusaka itu.

Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti
membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalamupacara resmi sudah selayaknya menjadi
tugas perempuan.

Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang
layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan.

Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak
perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani.
Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial
mereka di masa datang.

Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan
tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya
ia akan disebut banci, penakut ata bukan laki-laki sejati.

William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih
ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang.
Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.

Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak
lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap
masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu,
namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami".

Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima
hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai
persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas.

Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa
mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh
kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh
laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya.

Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah
putih nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna
bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya.

Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan
laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca buku.

Keterlibatan Semua Pihak

Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan ini? Keterlibatan semua pihak sangat
dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter.

Kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling
melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan
berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan gender
diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.

Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan
laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan
"aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu
melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.

Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di
bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru.

Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru
akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui
proses pembelajaran yang peka gender. (18)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar