Rabu, 05 Oktober 2011

Seri Mari Berdialektika (SMB)


Seri Mari Berdialektika (1) Pribadi vs Publik

Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru*    Tuesday, 04 September 2007
Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.
 
Teori borjuis mengatakan bahwa kehidupan kita dibagi dua aras (Publik dan Pribadi). Dengan demikian, ada hal yang digolongkan ke dalam kehidupan pribadi sementara hal lain dimasukkan dalam kehidupan publik. Dalam hal-hal yang termasuk “pribadi”, publik tidak boleh campur tangan. Sebaliknya, dalam hal-hal yang dianggap “publik” tidak boleh ada kepentingan pribadi di dalamnya.
            Ketika kita belajar dialektika, kita diajari bahwa “Hal-hal yang bertentangan sebenarnya terikat satu sama lain dan saling menyaratkan” (interpenetration of the opposites) atau sering diterjemahkan (dengan agak keliru) sebagai “kesatuan hal-hal yang bertentangan” . Dengan dialektika, kita tahu bahwa dalam semua hal-hal yang nampaknya saling bertentangan terdapat ikatan yang tak terpatahkan, yang membuat keduanya bisa terus terlibat dalam kontradiksi, yang satu tidak dapat hadir tanpa yang lain, dan saling menghancurkan- saling membangun kembali.
            Dengan dialektika, kita tahu bahwa tidak ada pemisahan yang mutlak antara “pribadi” dan “publik”. Dalam setiap hal, setiap peristiwa dan setiap kejadian, kedua aspek ini hadir bersamaan sekaligus tarik-menarik dan berbenturan. Kondisi riil dan kontemporer dari tarik-menarik inilah yang memberi definisi pada kejadian/peristiwa/ hal tersebut sebagai “pribadi” atau “publik”.
            Contohnya begini: Orang sering menganggap buang hajat sebagai satu hal yang “pribadi”. Kalau dilihat dari satu aspek, benar begitu, karena orang tidak bisa berbagi hajat. Misalnya, tidak bisa orang menitipkan buang hajat pada orang lain. Kegiatan itu harus dijalankan sendiri. Inilah aspek “pribadi” dari aktivitas tersebut.Tapi, sesuai dialektika, ketika aspek “pribadi” hadir, aspek “publik” akan menyusul rapat di belakangnya. Misalnya saja, kita “harus” buang hajat di WC. Ini adalah aspek sosial, norma, tradisi – sesuatu yang sangat “publik”. Kita bahkan tidak bisa memilih di mana kita bisa buang hajat. Sering kita temui tembok bertuliskan: “Yang buang hajat di sini: anjing!” Ada tekanan sosial yang memaksa kita membuat pilihan pribadi pada rentang-pilihan (option) yang disediakan oleh publik.
            Begitu juga dengan memilih pekerjaan. Begitu kita mulai diharuskan memilih pekerjaan, kita memasuki sebuah arena yang sangat publik, sangat sosial, karena pekerjaan merupakan salah satu bidang yang berkaitan langsung dengan cara masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, pilihan pekerjaan yang terbuka bagi kita ditentukan oleh moda produksi yang berlaku dalam sistem masyarakat. Pilihan yang kita ambil dari rentang-pilihan (opsi) yang tersedia itu akan menentukan posisi kita dalam pertentangan kelas yang muncul dalam moda produksi bersangkutan.
            Jika kita perbandingkan, aspek “pribadi” memang lebih dominan dalam kasus buang hajat sekalipun aspek “publik” tidak dapat dilepaskan daripadanya. Sebaliknya, dalam kasus memilih pekerjaan, justru aspek “publik” atau sosial yang lebih besar, sedangkan aspek “pribadi”-nya justru jauh lebih kecil.
            Kesalahan-kesalahan pandangan, yang bertentangan dengan dialektika dan ekonomi-politik (yang juga merupakan turunan dialektika), datang dari tekanan ideologi borjuasi – terutama ideologi individualisme. Kelas borjuasi memang menginginkan agar kelas pekerja merasa bahwa pilihannya adalah semata pilihan pribadinya – tanpa merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah bagian dari konflik kelas – supaya lebih mudah ditindas dan ditundukkan. Ideologi ini juga yang mendorong terciptanya sistem kontrak – di mana seorang pekerja dianggap memilih pekerjaan semata sebagai bagian dari ranah “pribadi” sehingga ia juga harus mengikat kontrak pribadi dengan pengusaha.
            Ingatlah selalu dialektika dalam mengambil kesimpulan. Yang pribadi dan yang publik tidak akan pernah bisa dipisahkan, keduanya akan sama-sama hadir dalam satu peristiwa. Tinggal aspek mana yang sedang berdominasi. Dan jika aspek publik mendominasi, peristiwa/kejadian tersebut niscaya bersangkutan langsung dengan konflik kelas.

Seri Mari Berdialektika (2) Abstrak vs Kongkrit

Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru*    Tuesday, 04 September 2007
Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.
 

Seri Mari Berdialektika (2) Abstrak vs Kongkrit

Kita seringkali mendengar celetukan, “Wah, nggak kongkrit, nih!” atau “Analisanya terlalu abstrak, tidak bisa diterima.” Celetukan-celetukan ini berasal dari ketidakmampuan kita menilai secara dialektik pertentangan antara yang abstrak dan yang kongkrit.
            Dalam persoalan “abstrak vs kongkrit” berlaku juga hukum kesatuan kontradiktif, tapi dengan cara yang jauh lebih rumit daripada yang berlaku pada persoalan “Pribadi vs Publik”. Dalam soal yang sekarang kita bahas berlaku juga hukum-hukum gerak yang lain, terutama “negasi dari negasi”.
            Keterbatasan sudut pandang kita selalu membuat kita tidak dapat dengan cepat melihat semua aspek yang berkaitan dengan satu hal. Kita melihat tanah longsor terjadi begitu cepat, begitu mendadak. Karena itulah banyak orang yang menyebut ini sebagai “takdir”. Yah, apa yang tadinya nampak kokoh (kongkrit) tiba-tiba runtuh (kongkrit) dan menimbulkan banyak korban (juga kongkrit). Tapi, kita sudah diajari untuk mencari apa yang tidak langsung nampak di depan mata kita. Oleh karena itu, kita kemudian tahu bahwa ada penebangan pohon (kongkrit) yang membuat tanah kehilangan akar yang berfungsi mengikat butir-butir tanah (kongkrit). Dua himpunan hal kongkrit ini nampaknya tidak berhubungan. Abstraksi-lah yang membuat kita mampu menarik hubungan dari berbagai hal kongkrit yang nampaknya tidak saling berhubungan ini. Dengan abstraksi kita bisa menyangkal takdir, karena kita bisa menemukan hubungan sebab-akibat antar berbagai hal yang kongkrit.
            Contoh lain: Ada orang butuh pekerjaan (kongkrit), ada orang lain menyediakan pekerjaan (kongkrit), orang yang butuh pekerjaan meminta pekerjaan pada orang yang menyediakan pekerjaan (kongkrit), di antara mereka muncul perjanjian kerja (kongkrit), si pekerja mendapat upah (kongkrit), si pemberi kerja mendapat profit (kongkrit). Hubungan antar hal-hal yang kongkrit ini ditemukan lewat abstraksi yang luar biasa sulit dan rumit, oleh seorang yang bernama Karl Marx, dan diuraikan lewat bukunya yang sangat abstrak, yang diberi judul Kapital.
            Jadi, di sini abstraksi menegasi kekongkritan. Hal-hal yang kongkrit menjadi usang ketika abstraksi memainkan perannya dengan sempurna. Dengan kata lain, lewat hal-hal yang kongkrit kita berjalan menuju abstraksi. Lewat hal-hal yang kongkrit kita menemukan hukum-hukum, pola, skema yang merangkai hal-hal kongkrit itu dalam satu kesatuan sebab-akibat.
            Tapi, kembali proses berulang, kali ini ke arah yang berkebalikan. Begitu hukum-hukum ditemukan, hukum-hukum ini akan menuntut penerapan. Begitu kita hendak menerapkannya, kita akan terbentur pada keadaan di mana hukum itu harus dipecah-pecah menjadi tindakan atau peristiwa kecil-kecil yang hanya menggambarkan hukum itu sebagian saja. Misalnya saja, ketika orang menemukan hubungan antara penebangan pohon dengan tanah longsor, bisa saja kemudian penerapannya adalah menanam pohon lamtoro. Bisa jadi, di masa datang, orang mengambil kesimpulan yang keliru bahwa pohon lamtoro bisa menangkal tanah longsor. Benar, tapi parsial, karena jenis pohonnya tidak terlalu menentukan, yang menentukan adalah struktur akarnya.
            Ketegangan antara kongkrit dan abstrak inilah yang telah terjadi sepanjang sejarah ilmu pengetahuan. Bahkan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah himpunan dari sejarah benturan antara yang kongkrit dan yang abstrak.
 
Ada kemungkinan bahwa pemisahan antara yang kongkrit dan yang abstrak ini adalah bagian dari ideologi borjuis yang memang ingin memisahkan antara kerja pikiran dan kerja tangan (manual/kasar) . Jatah borjuasi adalah kerja pikiran sementara jatah rakyat pekerja adalah kerja kongkrit.
            Pengaruh ideologi borjuasi ini pada gerakan rakyat pekerja terasa pada pernyataan “yang penting mengorganisir, jangan banyak teori”. Bukankah ini, tanpa disadari, bersesuaian persis dengan apa yang diinginkan kelas borjuis – supaya rakyat pekerja hanya bekerja, tidak banyak berpikir?
            Kita harus menolak pemisahan antara yang kongkrit dan yang abstrak. Dengan demikian, kita menolak orang yang hanya berteori, yang berkutat di ruang kerja yang aman dari resiko konflik kelas. Tapi kita juga menolak orang yang hanya ada di lapangan, yang hanya berkutat dengan aksi dan aksi, yang tidak bersedia berupaya menyimpulkan pengalamannya menjadi satu teori perjuangan. Tidak mampu dan tidak mau adalah dua hal yang berbeda. Dan ketidakmampuan bisa diatasi dengan semangat, dengan keberanian coba-coba, dengan trial and error, dengan dukungan seluruh kolektif untuk bersama-sama merumuskan pengalaman-pengalam an menjadi teori baru.
 
Ada pula kemungkinan pemisahan ini terjadi secara tidak sengaja, yakni ketidakmampuan menggunakan istilah dengan benar. Barangkali yang dimaksud dengan “abstrak” adalah “rumit dan sulit dipahami”. Kalau itu yang dimaksud, baiknya jangan disebut abstrak. Salah kaprah dan justru bisa menimbulkan ketakutan orang akan sesuatu yang abstrak. Bisa jadi juga yang dimaksud “abstrak” adalah “tidak berdasarkan fakta”. Ini jelas keliru. Abstraksi yang kita lakukan harus berlandaskan fakta, harus berlandaskan sesuatu yang “kongkrit”.
            Di sisi seberangnya, orang juga menggunakan kata “kongkrit” dengan makna “tidak mudah diterapkan”. Ini penggunaan yang keliru dan bisa menimbulkan ketidaktaatasasan (panjang betul…) alias inkonsistensi dalam bertindak. Setiap hal yang kongkrit diatur oleh hukum (abstraksi) tertentu di balik panggung.
Dan tidak semua hal yang kongkrit harus mudah diterapkan. Seringkali, sebagai akibat hukum yang mengaturnya, satu hal kongkrit sangat sulit dilaksanakan – contohnya adalah penerapan hukum relativitas Einstein, yang menuntut satu benda berjalan pada kecepatan mendekati kecepatan cahaya (± 300.000 km/detik). Hampir mustahil menemukan hal kongkrit yang menaati hukum Einstein di bumi, ia harus diciptakan dengan mesin yang sangat mahal atau dicari di ruang angkasa.
 
Kita harus dapat menggunakan keduanya (abstraksi maupun pengkongkritan) dengan sama baiknya. Dari hal-hal yang kongkrit, kita harus mampu membangun abstraksi. Dan dari abstraksi kita harus dapat menemukan hal-hal kongkrit yang mencerminkan hukum-hukum abstrak itu dengan tepat. Kita dapat memeriksa apakah satu hal yang abstrak diuraikan dengan tepat dengan memeriksa fakta kongkrit yang dijadikan alasan. Kita juga dapat memeriksa apakah satu hal kongkrit sudah tepat dengan memeriksa apakah hal itu taat asas pada teori/abstraksi yang melatarbelakanginya .
            Dalam pengkongkritan, masuk juga upaya untuk membuat abstraksi dapat disampaikan dengan cara yang lebih mudah dipahami. Abstraksi boleh rumit, serumit yang diperlukan untuk dapat menemukan hukum-hukum yang dicari. Tapi, ketika ia akan disampaikan kepada khalayak, kita sudah memasuki wilayah pengkongkritan.
            Pemisahan abstrak-kongkrit dan kesalahan penggunaan istilah akan dapat meneguhkan cengkeraman kekuasaan hegemoni borjuasi – yang tidak menginginkan rakyat pekerja mampu membuat abstraksinya sendiri …

Seri Mari Berdialektika (3) Cerdas vs Bodoh, Tahu vs Tidak Tahu

Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru*    Tuesday, 04 September 2007
Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.
 
Seringkali kita menemui kawan-kawan, di basis atau di tempat lain, mengeluh: “Kami tidak bisa kalau harus berpikir, kami ini orang bodoh.” Mendengar pernyataan ini, kita bisa langsung bertanya-tanya apakah kawan ini benar rendah hati ataukah rendah diri. Kalau rendah hati, artinya pernyataan itu merupakan pertanda kesiapan untuk belajar lebih banyak dari orang lain, aku mengacungkan jempol. Tapi, jika pernyataan itu tulus datangnya dari dalam hati, aku harus menyatakan penyesalan. Perasaan rendah diri itu muncul sebagai hasil dari propaganda ideologis kelas berkuasa, yang memang menginginkan rakyat pekerja merasa dirinya bodoh dan tidak berdaya, yang kemudian menyerahkan tugas untuk “berpikir” pada orang-orang “pintar”. Pada kenyataannya, “orang-orang pintar” ini adalah wakil-wakil dan kaki-tangan kekuasaan borjuasi.
 
Sudah lama orang berdebat ramai tentang “kecerdasan”. Persoalannya tidak sederhana. Pada dasarnya, orang perlu mendefinisikan “kecerdasan” karena manusia mengklaim diri sebagai “mahluk cerdas”. Nama taksononomi (cabang biologi yang menggolongkan mahluk hidup) dari spesies manusia adalah Homo sapiens – yang artinya adalah Manusia yang Cerdas.
Sudah sejak lama sebenarnya manusia sendiri menyangsikan bahwa hanya dirinya yang memiliki kecerdasan itu. Manusia sudah lama kagum dengan kemampuan banyak jenis hewan untuk melakukan hal-hal yang menakjubkan. Kera dan monyet, misalnya, sudah sejak dulu digunakan di sirkus. Begitu juga dengan berbagai jenis hewan lain. Hari ini kita dapat menemui berbagai jenis hewan yang mampu menjadi bintang dalam film-film Hollywood (misalnya Air Bud, yang sekuelnya berderet-deret itu). Mereka digambarkan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah seperti halnya manusia.
Jadi, apa sebetulnya “kecerdasan” itu – dan apakah memang hal ini yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya?

Kecerdasan: sebuah hasil dialektika

Persoalan “kecerdasan” sesungguhnya adalah sebuah persoalan dialektika yang sangat klasik, di mana hukum dialektika “kuantitas berubah menjadi kualitas” mendominasi. Kita biasa menggunakan hukum ini dalam kasus air yang dididihkan. Ketika kita menambah kuantitas (jumlah) panas, maka kualitas air (dalam hal ini wujudnya) pun akan berubah – dari cair menjadi uap. Tapi, hukum ini tidak hanya berlaku pada penambahan kuantitas yang berunsur tunggal. Hukum ini seringkali dinyatakan dalam bentuk lain: “Yang keseluruhan lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya.” Kita seringkali secara sederhana menggambarkannya sebagai “1+2 < 3.” Contoh lainnya adalah mobil. Roda bukan mobil, mesin dan busi juga bukan mobil, begitu juga kaca, wiper, bemper, dll. Ketika masing-masing unsur ditumpuk menjadi satu (dijumlahkan) kita belum menghasilkan mobil. Tapi, ketika digabungkan, ketika semua unsur menempati posisinya masing-masing dalam kesatuan yang padu, roda+mesin+kaca+ rangka+dll, kita akan menghasilkan mobil.
            Inilah yang disebut “penjumlahan dialektik” di mana bukan kuantitasnya saja yang dilihat – tapi juga bagaimana hubungan antar unsur yang dijumlahkan.
            Kecerdasan adalah sebuah kualitas. Maka, kecerdasan memiliki unsur-unsur. Di antara unsur-unsur itu juga terdapat hubungan tertentu, yang dapat kita temukan. Jika berdiri sendiri, unsur-unsur ini tidak dapat disebut “kecerdasan”. Ada orang yang kuat di satu unsur, ada yang kuat di unsur yang lain. Tapi, yang lebih penting lagi adalah bagaimana unsur-unsur berhubungan. Sekalipun barangkali seseorang tidak memiliki salah satu unsur yang menonjol, ia tetap bisa “cerdas” jika berhasil membangun hubungan yang padu antar unsurnya.

Unsur-unsur Kecerdasan

Sampai saat ini, ilmu pengetahuan sudah mengenali beberapa unsur yang membentuk kecerdasan. Beberapa yang paling dikenal orang adalah kecepatan belajar, kemampuan menggunakan metode coba-coba untuk menemukan jawaban satu masalah, menghubungkan masalah dengan konteks dan memilih jawaban yang tepat dari rentang pilihan (opsi) tertentu. Unsur-unsur inilah yang diuji dalam tes yang dikenal sebagai IQ. Sekalipun diberi nama “Intelligent Quotient Test” (Uji Kadar Kecerdasan), IQ hanya menguji beberapa aspek (unsur) tertentu dari kecerdasan. Itupun bukan yang utama dan tidak menguji hubungan yang terdapat antar aspek-aspek tersebut. 
            Aspek yang lainnya adalah kemampuan mengingat kembali hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya. Cara kita bersekolah di Indonesia ini lebih banyak menekankan aspek yang ini, yang dikenal juga sebagai kemampuan menghafal.
            Para ahli juga menyebut-nyebut tentang “kecerdasan” motorik, di mana orang dapat melatih alat-alat tubuhnya agar “jinak” dan dapat digerakkan sekehendak hatinya. Bentuk kecerdasan lain adalah “kecerdasan sensorik” di mana kepekaan inderawi ditingkatkan sedemikian rupa sehingga mampu menangkap hal-hal yang tidak dapat ditangkap orang biasa. Ada lagi yang disebut-sebut sebagai “kecerdasan emosional”, yang dapat membuat orang peka terhadap situasi dan perilaku orang lain dan mampu menyesuaikan tindakan dan bahasa tubuhnya pada konteks lingkungannya. Walau demikian, ketiga jenis kecerdasan ini sesungguhnya merupakan variasi dari kemampuan membangun behavioral template (mal/pola baku perilaku) yang akan dicerna syaraf, baik motorik maupun sensorik. Kini telah diketahui bahwa pembangunan pola baku ini adalah bagian dari sistem budaya manusia – karena kemampuan ini dibentuk melalui permainan yang dilakukan di masa kanak-kanak.
            Di samping itu, ada jenis kecerdasan lain, yang tidak banyak diuji dan diberi ponten di sekolah: kreativitas, yakni kemampuan untuk menemukan cara baru untuk memanfaatkan bahan-bahan yang telah tersedia. Seorang pembantu rumah tangga yang mendapati sapunya patah, lalu menyambungnya kembali sedemikian rupa sehingga dapat digunakan lagi, adalah contoh kecerdasan semacam ini.
 

Bagaimana unsur-unsur kecerdasan dihubungkan

Tiap saat, tiap waktu, kita menggunakan salah satu unsur kecerdasan. Ketika Anda membaca tulisan ini, setidaknya Anda menggunakan kemampuan untuk menghafal ketika Anda mencoba memahami huruf dan makna kata-kata, sekaligus berusaha memadukannya dengan pengetahuan yang sudah ada di kepala Anda. Kecepatan Anda memadukan pengetahuan itu adalah bentuk kecerdasan lain yang Anda gunakan.
            Tapi, manusia memiliki cara lain yang lebih rumit untuk menggunakan bentuk-bentuk kecerdasan ini. Bentuk-bentuk hubungan yang hampir tidak pernah diperlihatkan oleh hewan yang paling “cerdas” sekalipun – kecuali dalam kasus-kasus khusus di mana hewan “cerdas”, semacam simpanse, dilatih secara oleh orang-orang ahli. Itupun lebih merupakan kekecualian daripada kebiasaan.
Misalnya, ketika Anda melihat judul tulisan ini, Anda harus mengambil keputusan apakah membacanya lebih lanjut atau melewatkannya. Jika Anda melewatkannya, siapa tahu tulisan ini berguna untuk Anda; tapi jika Anda baca, bisa jadi Anda justru buang-buang waktu. Dengan membaca judulnya saja, Anda tidak dapat menentukan apa hasilnya jika Anda mengambil salah satu keputusan. Pada saat itu, Anda dihadapkan pada keharusan menggunakan kemampuan memilih pada rentang pilihan yang tidak jelas konsekuensinya.
Agar dapat mengambil keputusan dengan baik, Anda tentunya akan membandingkan pilihan-pilihan yang tersedia dengan keputusan-keputusan Anda sebelumnya: terutama mengenai kebutuhan Anda dan jadwal penggunaan waktu yang Anda punya. Jika Anda memang telah merencanakan untuk membaca segala hal yang bersangkutan dengan dialektika, Anda pasti mengambil resiko membaca tulisan ini. Jika jadwal waktu Anda memungkinkan, Anda juga mungkin memutuskan untuk mulai membaca. Ini membutuhkan kemampuan untuk merencanakan.
Dan, terakhir, untuk dapat menyimpulkan apa yang akan menjadi keputusan, Anda harus “memainkan skenario” di dalam kepala Anda. Inilah bentuk yang sering kita jumpai, di mana kita seakan “bicara pada diri sendiri” atau “bicara dalam hati”. Padahal, yang kita lakukan adalah memainkan satu atau beberapa skenario, untuk menebak seperti apa hasilnya jika satu hal/kejadian dipasangkan dengan hal/kejadian lain. Kemampuan menebak hubungan yang terjadi antar hal/kejadian inilah yang dikenal sebagai kemampuan abstraksi.
 

Kecerdasan adalah kemampuan menggunakan pikiran secara berguna

Kita tentu tidak bisa menulis atau bercakap-cakap tanpa mengetahui, menghafal dan menguasai cara menyusun kata-kata. Tapi, percakapan yang bermutu menutut lebih dari itu – yakni kecerdasan untuk memilih, merencanakan dan menghubungkan kata-kata untuk menyampaikan satu pesan yang dapat dimengerti lawan bicara.
            Oleh karena itulah “orang sekolahan” belum tentu cerdas. Di sekolah, apalagi di sekolah ala Indonesia, orang hanya dilatih menghafal. Pengetahuannya banyak tapi ia (kemungkinan besar) tidak mampu merangkai pengetahuan itu menjadi sesuatu yang berguna. Seseorang bisa bergelar Sarjana, Master atau Doktor – dengan pengetahuan berjubel di otaknya – tapi untuk kecerdasan (kemampuan merangkai pengetahuan menjadi sesuatu yang berguna) ia bisa jadi kalah dengan seorang buruh, seorang petani atau seorang nelayan.
            Dari sebab itu, jika kita bertemu seorang dari basis (atau dari manapun) yang berkata, “Maaf, kami terlalu bodoh,” katakan padanya, “Kita semua cerdas. Kita semua mampu menyambungkan pengetahuan kita menjadi sesuatu yang berguna.”
            Benar, sama seperti semua hal lain di dunia ini, kecerdasan memang musti diasah, musti dilatih. Oleh karena itu kita belajar MDH, tata-cara berpikir, agar memudahkan kita menghubungkan berbagai macam hal. Kita juga belajar sejarah, agar mendapat penambahan pengetahuan tentang penindasan dan cara-cara yang pernah dilakukan orang untuk melawannya. Kita berdiskusi, kita berorganisasi, kita menjalankan instruksi dan memimpin. Semua ini dilakukan untuk melatih kecerdasan.
            Kalau sekolahan resmi tidak mampu kita masuki (karena terlalu mahal), belajarlah dengan giat di dalam organisasi. Jangan pernah merasa cukup, teruslah berlatih menggunakan otak kita. Karena kecerdasan yang dibangun dalam sebuah organisasi perlawanan adalah kecerdasan yang lengkap dan paling berguna bagi kita semua.


Seri Mari Berdialektika (4) Bekerja untuk orang banyak vs bekerja untuk diri sendiri

Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru*    Tuesday, 04 September 2007
Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.
 
Orang seringkali mengatakan, “Aku tidak punya waktu bekerja untuk organisasi karena urusan keluarga sendiri belum teratasi.” Dengan kalimat yang serupa tapi tak sama, “Sebelum berjuang untuk orang lain, penuhi saja kebutuhan dirimu sendiri terlebih dahulu.” Di mana-mana kita temui kalimat seperti ini. Di pabrik, di pesisir, di desa, di kota , semuanya sama saja. Di sini kita temui hasil ciptaan ideologi borjuasi yang menekankan agar tiap orang mementingkan dirinya terlebih dahulu, karena kesejahteraan masyarakat akan lahir jika tiap orang mengejar kesejahteraannya masing-masing. Adam Smith menegaskan hal ini dalam bukunya yang terkenal: Wealth of Nations atau Kekayaan Bangsa-bangsa, di pertengahan abad ke-18.
            Bagi kita, alasan ini sangat menyulitkan karena mematahkan solidaritas. Alasan ini dipergunakan banyak orang di pabrik untuk tidak mau ikut berjuang dalam pemogokan, karena takut “kesejahteraan pribadi”-nya terganggu. Aku menemui banyak alasan seperti ini ketika dahulu mulai mengorganisir mahasiswa di kampusku, IPB, padahal banyak di antara mereka adalah anak-anak petani. Tapi, impian untuk naik kelas, untuk hidup “lebih layak”, telah membutakan mata mereka terhadap nasib sesama petani. Terus-terang, akupun punya impian yang sama pada masa itu – menyelesaikan kuliah, dapat pekerjaan yang bergaji tinggi, bisa menyejahterakan orangtuaku. Jika sudah pernah berkunjung ke rumah orangtuaku di Rawamangun, Anda akan paham mengapa aku punya mimpi semacam itu.
            Tidak kurang dari orang-orang yang dahulu “menjerumuskan” aku ke dunia politik juga berpendapat serupa saat ini. Mereka mengatakan, “Ketika masih kuliah, jadilah sosialis – karena masa muda harus diisi dengan idealisme. Tapi, ketika sudah lulus, jadilah kapitalis – karena itulah realisme.”
 

Posisi historis “Kerja” (sangat disederhanakan)

Kerja merupakan satu pokok masalah dialektika yang sangat rumit. Barangkali yang paling rumit. Ini karena hakikat kerja merupakan landasan dari sebuah sistem masyarakat. Siapapun yang pernah belajar Sejarah Masyarakat pasti paham bahwa masyarakat diatur di seputar pembagian kerja.
            Pada awalnya, ketika masyarakat belum mengenal kelas, semua hal yang bersangkutan dengan “kerja” dilakukan untuk kepentingan bersama. Tentu saja ada hal-hal lain yang merupakan aktivitas – misalnya memancing untuk bersenang-senang. Bahkan membuat perhiasan pun pada akhirnya dilakukan untuk kepentingan masyarakat karena perhiasan (pada masa itu) dianggap jimat yang mampu melindungi pemakainya dari bahaya. Jika anggota masyarakat melindungi diri, ia akan meringankan beban komunitasnya dalam soal menjaga kelangsungan hidup di tengah medan yang keras.
            Setelah masyarakat mengenal pembagian dalam kelas-kelas, barulah “kerja untuk orang banyak” mulai digerus. Perlahan tapi pasti, konsep ini digulingkan oleh konsep “bekerja untuk orang lain” – dalam pengertian “hasil pekerjaanku adalah milik orang lain” atau “hasil kerjaku akan dirampas orang lain.” Bentuk paling kasar dan telanjang dari konsep ini adalah sistem perbudakan.
Sistem perbudakan melahirkan banyak perlawanan. Untuk ukuran jaman ini, tentu saja pemberontakan jauh lebih jarang terjadi. Tapi, pertimbangkan pula tingkat intensitas dan kekerapan komunikasi, yang menjadi lahan subur bagi munculnya pemikiran untuk berlawan.
Untuk menutupi keadaan yang timpang ini, kelas berkuasa membujuk agar kelas-kelas pekerja (pada masing-masing jamannya) untuk beranggapan bahwa ia “bekerja bagi dirinya sendiri.” Mulai dari jaman feudal, para petani dibebaskan dari rantainya dan ia diperbolehkan “bekerja bagi diri sendiri”. Hanya saja, demi keamanan dan perlindungan dari raja, ia harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya untuk upeti.
Masyarakat kapitalis melangkah lebih jauh. Semua orang dibebaskan dari ikatan apapun. Seseorang tidak lagi diwajibkan berlutut di depan para raja, menyerahkan isi lumbung ketika perwira kerajaan datang memungut upeti atau menyerahkan anak gadis ketika seorang pangeran meliriknya. Tapi, ada tapinya: ia dibebaskan juga dari kepemilikan atas alat-alat pemenuhan kebutuhannya.
Dengan demikian, seorang anggota kelas-kelas pekerja akan dengan mudah tunduk pada ilusi bahwa ia bebas memilih sendiri pekerjaannya, bebas memilih kepada siapa ia akan “menjual tenaganya”, bebas menetapkan dengan harga berapa ia akan “melepas” tenaganya.
Padahal, ia sama sekali tidak bebas. Ia terikat dalam belenggu maha dahsyat. Ketika seorang petani diperas, ia tinggal bekerja lebih keras untuk mendapat hasil lebih banyak bagi dirinya sendiri. Jika seorang buruh diperas, ia tidak bisa lari ke mana-mana, karena ia tidak lagi memiliki alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Inilah kontradiksi terbesar dalam sebuah masyarakat kapitalis: ketika sebagian besar anggota masyarakat dibebaskan dari kekangan untuk menghamba pada orang lain, ia justru dibelenggu oleh rantai baja ke dalam sistem kerja upahan. Ketika seseorang dibujuk untuk bersikap individualis, ia dipaksa untuk bekerja sepenuhnya bagi orang lain – seluruh hasil kerjanya dirampas dan ia hanya diberi secukupnya untuk bertahan hidup agar esok hari bisa datang lagi bekerja dan dirampas haknya.
Sistem kapitalisme yang semakin mendunia juga membuat tidak ada lagi orang yang dapat bekerja untuk memproduksi barang kebutuhan diri sendiri. Seorang yang memproduksi baju, tidak akan membawa pulang baju itu. Baju itu akan dinikmati oleh masyarakat – melalui sistem pasar. Begitu juga dengan orang yang memproduksi barang dan jasa lainnya.
Hal ini menghasilkan kontradiksi lagi: ketika seseorang bekerja untuk kepentingan orang banyak, hasil kerjanya hanya dinikmati oleh segelintir orang yang justru tidak bekerja.
Jadi, masa kapitalis sesungguhnya telah membawa kita pada keadaan di mana tidak ada lagi pekerjaan yang dilakukan untuk diri sendiri. Semua hasil pekerjaan kita dinikmati oleh orang lain. Tapi, kita berkhayal bahwa masing-masing dari kita bekerja untuk dirinya sendiri. Bagi sebagian besar orang, ini jelas khayalan karena upah yang diterimanya memang tidak cukup untuk hidup layak. Lebih mudah untuk membongkar khayalan itu. Tapi, bagi sebagian yang lain, yang menerima upah cukup atau lebih dari cukup, lebih sulit untuk membongkar khayalan ini. Kontradiksi ini membingungkan mereka dan, karena tidak memahami dialektika, mereka memilih untuk percaya bahwa mereka memang “bekerja untuk diri sendiri.”
 

Mengapa tingkat upah bisa berbeda?

Sejak awal masyarakat mulai terbagi dalam kelas-kelas, selalu ada jenis-jenis “pekerjaan” yang tidak berhubungan langsung dengan produktivitas masyarakat – pekerjaan di bidang pengaturan masyarakat. 
            Pengaturan masyarakat ini memiliki tiga bidang utama:
  1. Administrasi; atau sekarang kita kenal sebagai birokrasi – posisi ini (di masa lalu) ditempati oleh para magistrat, para hakim, para jaksa atau (sekarang) para eselon, dirjen, kakanwil, dsb.
  2. Ideologis; menjaga ketaatan pikiran massa agar sesuai dengan cara berpikir kelas berkuasa – posisi ini ditempati para guru, cendekiawan (intelektual) , penasehat (konsultan), dll.
  3. Represif; menjaga ketaatan massa secara fisik – polisi, tentara, alat kekerasan lainnya.
 
Apakah seseorang yang bekerja di bidang-bidang ini dapat dikatakan “bekerja” dalam pengertian yang sesuai dengan konsep perjuangan kelas. Menurutku tidak. Bekerja di bidang-bidang ini berarti mengabdikan diri pada kelas yang berkuasa. Inilah Negara, dalam pengertian kita (badan yang mengatur masyarakat demi kepentingan kelas berkuasa), bukan dalam pengertian borjuis (wilayah, penduduk, pemerintahan) .
Sejarah telah mencatat bagaimana anggota kelas-kelas pekerja direkrut juga untuk mengisi posisi-posisi dalam bidang-bidang pengaturan masyarakat ini. Aku sudah menulis “SatpolPP, Militerisme dan Posisi Kelas Kaum Miskin Perkotaan” untuk menelusuri hal ini. Apakah seorang anggota Satpol PP tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya merugikan orang banyak? Aku pikir sebagian besar menyadarinya. Sama saja dengan banyaknya orang masuk menjadi KNIL atau PETA di jaman dulu. Atau sebagai centeng tanah di jaman Belanda atau sebagai anggota organisasi preman di jaman Orde Baru. Di jaman apapun, bekerja pada penguasa akan menghasilkan upah yang lebih tinggi.
Pertanyaannya bukan apakah seorang anggota kelas pekerja menyadari atau tidak menyadari tindakannya masuk ke dalam tatanan Negara. Masalahnya adalah apakah ia dapat bertahan di tengah tekanan yang dihadapinya secara lebih langsung – kadang sampai pada pilihan: tunduk dan menikmati kesejahteraan (dengan bersetia membela kepentingan kelas berkuasa) atau melarat (dan tetap saja dipaksa tunduk dalam bentuk lain). Misalnya saja, jika satu LSM sudah kelihatan terlalu radikal, dia tidak akan lagi dapat funding. Ini kasus “tongkat atau wortel” jika kita merujuk pada ilmu sosial borjuis.
 
Kemungkinan lainnya datang dari sogokan. Kita tahu bahwa, di bawah system apapun, ada saja majikan baik dan majikan buruk. Ada pemilik budak yang memperlakukan budaknya dengan baik. Ada bangsawan yang memperlakukan hambanya dengan manusiawi. Ada pula pengusaha yang memberikan upah tinggi pada buruhnya. Ini jelas tidak menghilangkan sumber penghisapan itu sendiri – yang berakar pada sistem masyarakat.
Tapi, sebagaimana di sepanjang jaman, seorang budak yang mendapat majikan baik tidaklah akan mengangkat perlawanan terhadap majikannya – ia takut dijual dan malah jatuh ke tangan majikan yang jahat. Para petani akan membela mati-matian raja atau bangsawan yang dianggapnya baik – daripada jatuh ke tangan raja yang kejam. Demikian pula para buruh yang mendapat pengusaha ramah –akan sulit melawan pengusahanya karena takut di-PHK dan malah terlunta-lunta.
 

Kembali ke dialektika

Ketika kita dihadapkan pada kontradiksi- kontradiksi semacam ini, secara pribadi kita dituntut untuk berani memilih. Dan ketika kita setia pada prinsip dialektik, kita akan memandang persoalan ini dengan memakai hukum dialektika. Bagiku, hukum yang paling cocok diterapkan di sini adalah negasi dari negasi.
            Ketika kita berhadapan dengan sistem pembagian kerja seperti yang ada di depan mata kita, kita harus merumuskan sistem macam apa yang kiranya akan menjadi negasi (penyangkalan) terhadap sistem tersebut. Ketika orang dibuat berkhayal bahwa ia bekerja untuk dirinya sendiri, kita harus patahkan ilusi itu. Ketika orang menggunakan upahnya semata untuk kepentingan keluarga dan dirinya sendiri, kita harus mendorong agar upah itu digunakan untuk kepentingan bersama. Ketika orang menggunakan waktu luang untuk bersantai melepas lelah, kita harus tidak bosan-bosannya menganjurkan agar waktu luang itu digunakan untuk kepentingan bersama (dalam pengertian sejatinya). Ketika orang disuntik dengan kesadaran bahwa ia harus membelanjakan uangnya untuk barang-barang keperluan pribadi, kita harus menanamkan kesadaran bagaimana orang selalu berpikir “apa guna barang yang akan aku beli ini bagi orang banyak.” Ketika orang dipaksa berbeda jabatan karena perbedaan akses terhadap pendidikan, kita akan menghasut agar tiap orang memikirkan bagaimana jabatan itu dapat dipakai demi kepentingan perjuangan kelas – apapun resikonya bagi diri sendiri. Ketika sistem menetapkan bahwa hak dan kewajiban orang tidak setara, kita akan mengatur agar ada lingkungan di mana semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
            Hal yang disebut terakhir inilah yang saat ini dicoba diterapkan di PRP. Tidak peduli apakah dia seorang buruh panggul, seorang nelayan tradisional, seorang petani gurem atau seorang intelektual, seorang anggota LSM, seorang lurah – ia harus menyerahkan minimal tujuh jam dalam seminggu untuk kepentingan PRP, ia harus membayar iuran sesuai ketetapan, membeli dan menyebarkan Koran Rakyat, melakukan Propaganda–Rekrutmen– Pendidikan.
            Seorang buruh pasti sulit sekali melakukan hal ini. Tuntutan lembur, apalagi jika sedang kejar eksport, seringkali akan menyebabkannya kewalahan mengatur waktu. Seorang nelayan juga demikian. Ketika sedang musim ikan, ia barangkali akan ada di laut selama berhari-hari atau berbulan-bulan. Dan, di laut, ia kemungkinan besar bekerja keras 20 jam sehari. Percayalah, kerja di laut begitu keras dan melelahkan. Begitu juga seorang petani, tukang becak atau kelas pekerja miskin lainnya. Pendeknya, waktu luang adalah hal yang luar biasa berharga bagi rakyat pekerja.
            Tapi kita musti “kejam” (pake tanda kutip, lho). Kita harus “memaksa” semua anggota PRP untuk menyerahkan waktu luangnya. Tidak peduli betapa capainya ia, ia harus menyempatkan diri untuk melakukan kewajibannya bekerja bagi organisasi. Satu saat, kita harus sampai pada titik “toleransi nol” terhadap keharusan memenuhi kewajiban ini.
            Ada satu tulisan di majalah Blok K pada edisi khusus UU Pro Buruh ABM, terbitan Front Anti Neolib Solo, yang menyerukan agar perjuangan ini dilakukan dengan gembira. Tentu saja. Ketika seseorang memberi sedekah atau infak, ia ber-“investasi” untuk kehidupan yang lebih sejahtera kelak (walau baru bisa dipenuhi sesudah mati). Ketika kita menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran dan uang, kita juga ber-“investasi” untuk kehidupan yang lebih baik (walau mungkin baru bisa dinikmati anak-cucu kita). Kita seharusnya bergembira karena hal ini.
            Jika kita sudah berhasil membuat seluruh anggota organisasi bergembira ketika sanggup memenuhi kewajibannya, kita akan mematahkan kontradiksi bahwa orang dipaksa bekerja bagi orang lain sambil berkhayal bahwa ia melakukan itu bagi dirinya sendiri. Ia akan bekerja sepenuh hati bagi semua orang – termasuk dirinya dan keturunannya – agar kelak tidak ada lagi orang yang tidak bekerja tapi menikmati semuanya.
            Kita juga memperjuangkan peningkatan upah (dan penghasilan lain secara umum) – dengan tujuan agar rakyat pekerja bisa memiliki lebih banyak uang untuk membiayai pendidikan, membeli Koran Rakyat, mengongkosi pengorganisiran dan mobilisasi massa , mencegah ketergantungan pada funding dan proposal. Berikutnya kita pasti harus memperjuangkan pemotongan jam kerja – walau hal ini masih harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Dengan pemotongan jam kerja dan peningkatan upah, rakyat pekerja diharapkan berani untuk menyediakan lebih banyak waktu luang karena tidak perlu mengambil lembur. Waktu luang ini harus digunakan untuk membaca dan berdiskusi, pergi mengorganisir dan melakukan pendidikan. Kita harus terus memperbesar ruang agar kontradiksi ini dapat semakin dinegasi.
Melalui PRP, kita akan menghadapi kontradiksi dengan kontradiksi, melancarkan negasi terhadap negasi. Dan kita akan memberi ruang pada keharusan yang diciptakan sistem, yakni keharusan bekerja bagi orang lain, sembari membiasakan orang untuk bekerja bagi kepentingan bersama. Sampai satu hari nanti (kuharap tidak terlalu lama menunggu) salah satu Kongres kita akan mengamandemen angka tujuh jam itu – karena dianggap terlalu sedikit dan terlalu ringan.

Seri Mari Berdialektika (5) Kerja bawah vs kerja atas

Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru*    Tuesday, 04 September 2007
Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.
 
            Kita seringkali mendengar pernyataan: “Jangan terlalu memforsir kerja atas, sehingga kerja bawah terlupakan,” atau justru sebaliknya, “Sudah waktunya meninggalkan kerja di bawah terus, kita sudah harus berkonsentrasi pada kerja atas.” Kadang, memang kita larut dalam cara berpikir yang telah ditanamkan bertahun-tahun di kepala kita, cara pandang mekanistik, formalis, yang menganggap dua hal yang berlawanan sebagai hal yang terpisah satu sama lain.  Kita gagal melihat bahwa hal-hal yang bertentangan merupakan dua sisi dari keping mata uang yang sama.
            Kekacauan ini disebabkan pula oleh penggunaan istilah yang tidak tepat – kerancuan makna yang berasal dari dilepaskannya satu istilah dari konteks historisnya dan dipaksakan maknanya berdasarkan konteks sosial yang baru.
            Sebelum kita membahas dialektika atas-bawah, mari kita lihat dulu bagaimana kata ini muncul di tengah gerakan rakyat Indonesia masa kini.

Sebuah konteks yang didominasi kediktatoran

            Ketika pertama kali aku mendengar istilah “atas” dan “bawah” – yakni di awal 1990-an – yang dimaksud adalah kerja-kerja terbuka atau kerja-kerja tertutup. Orang menyebut “kerja atas” ketika yang diperlukan adalah kerja-kerja legal atau semi-legal (menggunakan organisasi selubung atau front organization). Sederhananya adalah dengan mengibarkan bendera yang dapat dilihat secara luas oleh massa. Sedangkan “kerja bawah” adalah pekerjaan yang dilakukan secara bersembunyi, di luar pengetahuan alat-alat represif rejim atau (dengan kata lain) kerja bawah tanah. Yang disebut “orang atas” adalah mereka yang muncul dengan memproklamirkan diri sebagai pemimpin organisasi, sedangkan “orang bawah” adalah mereka yang tersamar identitasnya – bahkan seringkali tidak diperbolehkan mengaku sebagai anggota organisasi.
            Ketika melakukan kerja-kerja legal atau semi-legal, tindakan politik yang paling banyak berguna pada masa itu adalah pembangunan aliansi – terutama dalam bentuk front demokratik anti kediktatoran. Dengan kerja-kerja aliansi, terutama jika bisa memimpin dalam program dan arahan politik, pamor organisasi cepat terangkat di depan massa maju (yakni aktivis anti kediktatoran) . Dari sinilah perluasan organisasi (termasuk perekrutan) banyak terjadi.
            Sementara kerja-kerja ilegal memang lebih banyak dilakukan di tingkat basis. Ini karena pengawasan oleh aparat berlangsung lebih keras di tingkat basis. Pada masa kediktatoran Soeharto, orang yang tampil sebagai oposisi politik (apalagi dengan cara “elegan”) kemungkinan besar hanya akan dimatikan karirnya dan diteror secara psikologis. Tapi, para organiser di tingkat basis berhadapan dengan kemungkinan dibunuh atau disiksa. Maka, kerahasiaan menjadi hal pertimbangan terpenting dalam pengorganisiran di basis.
            Ketika konteks kediktatoran hilang bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru, hilang pulalah konteks kerahasiaan dalam penggolongan “atas” dan “bawah”. Yang tinggal hanyalah bentuk kerjanya. Maka, kemudian makna kata ini bergeser. Kata “atas” jadi dimaknai kerja-kerja politik dalam sistem (termasuk pembangunan aliansi, negosiasi dengan Negara, dll). Sementara kata “bawah” bergeser maknanya menjadi “kerja pengorganisiran basis”.
            Ada hal lain yang kurang nampak tapi juga terkait dengan konteks kediktatoran. Di jaman kediktatoran, penting sekali untuk memisahkan kerja “bawah” dan “atas”. Seringkali orang-orang “atas” tidak memiliki akses ke “bawah” (atau sebaliknya) kecuali melalui kurir. Pemisahan ini diperlukan supaya jika ada yang tertangkap, ia tidak bisa dipaksa mengaku, dengan cara apapun, siapa saja kaki-tangan organisasi dalam sistem politik atau siapa saja organiser yang bekerja di tingkat pabrik atau desa. Ketika makna bergeser, pemisahan “atas” dan “bawah” ini terbawa terus, tidak ikut bergeser atau hilang seiring hilangnya konteks kerahasiaan itu.  
            Agaknya sudah dapat terlihat bahwa makna yang terbawa ke masa sekarang hanyalah yang menyangkut “bentuk”-nya. Isi, konteks atau latar belakang historisnya, tertinggal dan terlupakan. Orang gagal mempertahankan kesatuan bentuk dengan isi, fenomena (gejala) dengan esensi (hakikat).
            Oleh karena itulah aku menyebut penggunaan istilah “atas” dan “bawah” sekarang ini sebagai sebuah kerancuan. Kerancuan itu membuat pembagian ini tidak berguna untuk menjelaskan apa tugas mendesak yang harus dilakukan oleh gerakan progresif hari ini. Istilah itu terkait terlalu erat dengan konteks kediktatoran sehingga sulit ditempa menjadi penggolongan kerja yang berguna di masa kini, di bawah rejim neoliberal. Dengan demikian, aku menganjurkan agar kita melupakan saja penggolongan “atas” – “bawah” itu dan menggantinya dengan penggolongan yang lebih berguna, misalnya kerja Ideologis, Politis dan Organisasional, yang dapat digabungkan dengan penggolongan lain yakni kerja di tingkat masyarakat/Negara, di tingkat komunitas/organisas i dan kerja atas individu.

Memandang persoalan secara utuh

            Mengapa pembagiannya musti serba tiga? Tidak ada sebab khusus. Soalnya, penggolongan merupakan sebuah aktivitas yang arbitrer, artinya merupakan hasil pilihan dari para penyusunnya. Kita dapat menerima sebuah penggolongan sebagai “tepat” apabila penggolongan itu menghasilkan kemudahan dalam menyusun pemahaman mengenai konsep – sekaligus penerapan dari konsep itu.
            Di sini berlaku hukum dialektika “Penjumlahan Bagian-bagian selalu lebih kecil dari Hasil Utuhnya,” yang merupakan ayat dari pasal “Kuantitas menuju Kualitas.” Artinya, penggolongan berguna untuk memecah persoalan menjadi bagian yang lebih kecil dan dapat lebih mudah dicerna. Tapi, persoalan tetap harus dipandang secara utuh. Unsur-unsur persoalan itu tidak boleh dilepaskan dari induk masalahnya. Ini mirip dengan ketika kita membetulkan mesin yang ngadat. Kita akan melepaskan komponen-komponen, mengujinya satu-persatu, lalu mencoba menghubungkan beberapa komponen dalam subsistem (misalnya sistem pengapian atau sistem penggerak rodanya). Setelah ditemukan kunci penyelesaian masalahnya, semua komponen harus dipasang lagi pada kedudukan dan perannya yang seharusnya.
            Dengan demikian, penggolongan “I–P–O” dan “masyarakat–komunitas– individu” hanya berguna untuk memudahkan kita menangani persoalan, bukan pembagian yang mutlak, yang berlaku secara universal di setiap tempat di sepanjangan jaman, dan tidak terbuka untuk perubahan dan penyempurnaan – bahkan juga penyangkalan.
            Dari sebab itu, di bawah ini aku hanya akan memaparkan sekelumit tentang penggolongan itu dari aspek definisinya, disertai contoh penggunaannya. Aku katakan “contoh” karena kawan-kawan dari Komite Kota-lah yang harus menemukan sendiri bagaimana memadukan aspek-aspek yang berlawanan dari tiap kerja-kerja kita di kancah perjuangan kelas ini. Kawan-kawan Komite Kota-lah yang harus memadukan abstraksi dan kekongkritan, kerja agitasi/propaganda dan kerja aksi massa, kerja pendisiplinan dan membangkitkan inisiatif, mendirikan sentralisme berdasarkan demokrasi. Inilah yang kita sebut praksis, hubungan dialektik antara teori–praktek.
            Jadi, inilah definisi yang dapat kita pergunakan dalam menggolongkan kerja-kerja perjuangan kelas kita:
  1. Ideologis: adalah kerja untuk mempengaruhi cara pandang orang terhadap persoalan;
  2. Politis: adalah kerja untuk mempengaruhi struktur/sistem pengaturan masyarakat;
  3. Organisasional: adalah kerja menata sumberdaya yang diperlukan dalam perjuangan.
 
Sementara untuk definisi masyarakat–komunitas– individu secara lengkap dapat ditemukan dalam tulisanku “Sekali Lagi tentang Ormas dan Orpol”. Di sini aku hanya akan menyajikan sekelumit saja dari uraian lengkap itu:
1.    Kerja tingkat Masyarakat: adalah kerja untuk mempengaruhi cara pandang orang atas dunianya (weltanschauung-nya), di tingkat filsafat dan interpretasi manusia atas ilmu pengetahuan (baik pengetahuan alam maupun pengetahuan sosial), mengubah cara dunia ini diatur dan disusun;
2.    Kerja tingkat Komunitas: adalah kerja untuk mempengaruhi cara orang berhubungan dengan orang lain hirarki sosialnya, caranya bersikap terhadap perubahan dalam lingkungan di mana ia hidup;
3.    Kerja tingkat Individu: adalah kerja untuk mempengaruhi cara orang menempatkan dirinya sendiri di dalam konflik/kontradiksi yang tiada berkesudahan ditemuinya, mengubah cara orang mengambil keputusan tentang apa yang baik/benar atau buruk/salah.

Seperti dapat kita lihat, penggolongan ini tidak menghasilkan golongan yang sama sekali terpisah satu sama lain. Masing-masing golongan hanya merupakan salah satu aspek dari gambaran utuh persoalannya. Kerja di tingkat Ideologi ternyata tak dapat dipisahkan dari kerja Organisasional maupun Politis. Demikian juga kerja di tingkat Masyarakat ternyata tak terlepas dari kerja di tingkat Komunitas dan Individu. Penggolongan hanya memudahkan menyusun pemahaman. Tidak lebih dari itu.

Beberapa contoh soal

            Mari kita ambil program kita, Kekuasaan bagi Rakyat Pekerja. Di sini dibutuhkan perjuangan di ketiga tingkatan/skala perjuangan: masyarakat, komunitas, individu. Dan di masing-masing tingkatan, tiga serangkai Ideologi–Politik– Organisasi berjalan seiring.
            Di tingkat masyarakat, misalnya, kita dapat melancarkan perjuangan ideologi dengan menggali, menyusun dan menyebarluaskan pemahaman tentang perjuangan kelas dan sosialisme. Dari segi politik, ini berarti melakukan oposisi terhadap kekuasaan kelas borjuasi – terhadap segala keputusan dan sistem politik yang mereka berlakukan, termasuk memunculkan tokoh-tokoh pemimpin dari kalangan rakyat pekerja. Sementara itu, kedua segi ini didukung dengan pengorganisasian (mobilisasi dan pengaturan) sumberdaya intelektual organik (intelektual yang tunduk pada arahan organisasi), pembentukan sebuah kubu oposisi, penggalangan aksi-aksi massa, pengumpulan dana dalam bentuk yang mencerminkan kolektivitas, dll.
            Di tingkat komunitas, sebagai gambaran, segi ideologis dapat diwujudkan melalui pendidikan-pendidik an tentang cara berpikir dan menyelesaikan masalah. Segi politiknya dapat didekati melalui intervensi terhadap tuntutan-tuntutan ekonomis yang biasanya ditelurkan oleh serikat-serikat rakyat, mendorongnya menjadi tuntutan-tuntutan yang mencerminkan sudut pandang kelas. Dari aspek organisasional kita bisa dapati penyusunan organisasi yang mencerminkan cara pengambilan keputusan yang partisipatoris dan berbasis perdebatan, mengorganisir semakin mendekatnya kelas-kelas pekerja (buruh, tani, nelayan).
            Bagi individu, perjuangan ideologis kita adalah dengan terus-menerus menerangkan dengan sabar, melalui perdebatan dan teladan, tentang cara hidup alternatif yang merupakan lawan dari cara hidup individualis yang dikembangkan oleh kapitalisme. Dari segi politik, ini berarti upaya mengungkat perasaan solidaritas dan kesadaran mengenai posisi masing-masing orang dalam masyarakat. Dari segi organisasional ini bisa berarti mobilisasi waktu luang yang dimiliki oleh anggota, agar anggota semakin larut ke dalam lingkungan baru, lingkungan bernuansa perjuangan kelas, agar tiap tarikan nafas dari tiap kader berubah menjadi tenaga tambahan bagi perjuangan rakyat pekerja menggulingkan kapitalisme.
            Ini hanya gambaran. Bisa dilengkapi dengan kreatif, bisa dikritik, bisa diganti. Yang terpenting: disesuaikan dengan kondisi objektif yang dihadapi Komite Kota.

Penutup

Kita jadi tahu bahwa “tepat secara politik” (politically correct) saja ternyata tidak cukup. Kita membutuhkan juga “tepat secara ideologi” (ideologically correct) dan “tepat secara organisasi” (organizationally correct). Perjuangan kita bukan perjuangan yang setengah-setengah – dalam pengertian komitmennya, juga dalam cakupannya. Dialektika materialis yang kita pakai menuntut kita agar selalu memandang masalah secara utuh, memadukan hal-hal yang bertentangan, sekaligus selalu mencari hubungan antar berbagai unsur yang ada pada tiap persoalan.

Seri Mari Dialektika (6) Kenyataan vs Khayalan

Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru*    Wednesday, 12 September 2007
Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Seri Dialektika (5) Kenyataan vs Khayalan

            Kita biasanya “mengerti” mana yang disebut kenyataan dan dapat membedakannya dari apa yang ktia sebut khayalan. Tapi, sebetulnya garis antara kenyataan dan khayalan tidak setebal yang kita kira. Orang yang mengira bahwa dengan berjudi ia bisa menjadi kaya, telah mengaburkan batas antara dunia khayal dengan dunia nyata. Orang yang percaya pada tahyul juga menganggap apa yang khayal sebagai kenyataan. Tapi, dari sudut pandang yang lainnya, semua kenyataan yang kita tangkap sebetulnya merupakan khayalan.
            Ini semua berawal dari persoalan bagaimana Manusia mengenali dan menanggapi dunia di sekitarnya. Tiap saat, bagi mereka yang matanya berfungsi dengan baik, berkas-berkas cahaya masuk dan meninggalkan kesan pada lensa mata, retina dan lain-lain peralatan yang ada pada indera penglihat kita. Berkas-berkas cahaya itu kemudian “diterjemahkan” menjadi sinyal-sinyal listrik oleh syaraf, lalu diteruskan ke otak. Otak kemudian mencari pola sinyal listrik tertentu yang disimpan dalam sel-selnya, apa yang kita kenal sebagai “ingatan”, dan mencocokkannya dengan sinyal yang baru masuk. Jika ada yang cocok, kita akan “mengenali” apa yang kita kenal. Tapi, jika pola sinyal yang masuk itu tidak begitu jelas, otak akan mencari pola yang paling mirip untuk dicocokkan. Ini karena otak bekerja dengan logika yang disebut “fuzzy logic” – artinya kecocokan tidak perlu 100%, 60-70% pun cukuplah. Dengan cara seperti ini pula indera pendengaran, penciuman, pencecap dan perasa kita bekerja.
            Oleh karena itu, ada keterbatasan dalam pengenalan kita terhadap dunia. Keterbatasan yang pertama datang dari ketidaksempurnaan indera kita dalam menangkap kenyataan. Keterbatasan yang kedua adalah dari kurang lengkapnya pola (ingatan) yang tersimpan dalam otak kita.
            Contohnya begini: Seringkali di sekretariat Komite Pusat PRP di Gading Raya, Jakarta Timur, ketika keadaan sangat sepi dan aku ada di ruang bawah, aku seperti mendengar langkah-langkah kaki di lantai 2. Jika aku seorang yang percaya tahyul, aku akan beranggapan bahwa seharusnya ada orang di ruang atas. Tapi, kemudian aku ingat juga bahwa dinding rumah yang ditempati sebagai sekretariat itu berhimpitan dengan dinding rumah lain. Maklum saja, Jakarta, kalau tidak rumah tidak berdesak-desakan justru aneh. Aku kemudian menempelkan telinga pada dinding dan, benar saja, bunyi langkah itu terdengar di dinding. Benda padat merupakan penghantar bunyi yang jauh lebih baik daripada udara. Sehingga, langkah-langkah kaki yang membentur lantai di tempat yang jauh bisa merambat melalui dinding yang saling berhimpitan. Dan ketika getaran bunyi itu sampai di ruang atas, yang relatif besar dan memiliki ruang kosong yang lebar, getaran pada dinding dapat menggetarkan udara (proses resonansi) dan getaran di udara itu sampai di telingaku. Secepat kilat otakku menangkap getaran itu dan mencari pola yang cocok dengan pola bunyi yang ditangkap telinga. Tentu saja, pola yang kecocokannya paling tinggi adalah pola langkah kaki di ruang atas – karena bunyinya seperti langkah kaki dan datangnya dari lantai 2.
Pada kebanyakan orang, yang tidak tahu mekanisme (cara) merambatnya bunyi dan bagaimana ruang kosong dapat menciptakan resonansi, “pemahaman” yang diciptakan otak bisa membuat ketakutan. Otak “mendengar” ada bunyi langkah kaki di ruang atas, sementara otak (lewat mata) “melihat” tidak seorangpun ada di lantai 2. Otak kemudian akan mencari penjelasan atas ketidakcocokan ini. Jika dalam pola ingatan yang disimpan di otak orang itu hanya ada gambaran tentang mahluk-mahluk tahyul, penjelasan inilah yang akan dipakai. Itulah mengapa begitu banyak orang yang jujur dan tulus hati mengaku melihat “hantu” atau “setan”. Kesalahan pemahaman (penangkapan) atas kenyataan disalahartikan sebagai kenyataan itu sendiri. Apa yang khayal diterima sebagai kenyataan.
Kenyataannya, penangkapan kita atas dunia di sekitar kita selalu terjadi dalam bentuk khayal – yakni membandingkan bayangan (imaji) yang tersimpan dalam otak dengan sinyal yang ditangkap oleh panca indera. 
Kebingungan inilah yang telah, sejak awal sejarah peradaban manusia, membagi filsafat menjadi dua kubu besar: materialisme (yang mendasarkan diri pada “kenyataan”) dan idealisme (yang mendasarkan diri pada “pemikiran”). Sesungguhnya, kedua kubu ini (dalam bentuknya yang vulgar atau kasar) sama-sama keliru. Dunia nyata benar-benar ada. Orang tidak perlu berpikir sebelum dia ada. Ujar-ujar Descartes yang mengatakan “cogitu, ergo sum” – aku berpikir maka aku ada – merupakan satu kesalahan mendasar dalam dunia filsafat. Sebelum kita dapat “berpikir”, otak kita (yang nyata ada) sudah menangkap berbagai sinyal yang disampaikan oleh panca indera (yang juga nyata) berdasarkan masukan yang disediakan oleh dunia di sekitar kita (yang pastinya nyata). Kalimat dari Descartes itu seharusnya berbunyi: “Aku berpikir, maka aku sadar bahwa aku ada.” Di pihak lain, materialisme dalam bentuk kasar juga keliru, karena beranggapan bahwa apa yang kita lihat atau dengar atau cecap atau cium atau rasa merupakan “kenyataan”. Dunia nyata ada di sana, lepas dari kemampuan kita untuk memahaminya.
Oleh karena itulah kita kemudian membagi dua dunia ini: dunia “objektif”, yang hendak kita dekati, dan dunia “subjektif” yang merupakan cara kita mendekati dunia nyata itu. Dalam dialektika, subjektif dan objektif adalah dua hal yang saling bertentangan. Dan, karenanya, saling terikat dan saling menyaratkan. Apa yang “objektif” ditangkap secara “subjektif” dan apa yang “subjektif” terjadi dalam proses yang “objektif”.
Dari pemahaman ini, dialektika tidak bersedia memberikan label “mutlak” pada pemahaman manusia. Bagi dialektika, “kebenaran” merupakan satu hal yang terbatas pada konteks, pada kemampuan subjektif manusia untuk mendekatinya. Tapi, itu bukan berarti bahwa kebenaran bersifat relatif, kebenaran hanya harus ditetapkan sesuai konteksnya. 
Oleh karena dialektika itulah kita harus menolak segala bentuk despotisme dan pemutlakan kebenaran. Kita mengusung demokrasi, karena demokrasilah cara yang paling tepat untuk menemukan kebenaran. Sederhananya: berpikir dengan seribu kepala akan lebih baik daripada berpikir dengan satu atau dua kepala saja. Demokrasi bukan cara paling efisien, bukan cara paling cepat dan hemat sumberdaya dalam mencapai keputusan – tapi inilah cara paling tepat untuk mencapai kebenaran.
Kita menentang kapitalisme karena, dalam kapitalisme, kebenaran ditentukan oleh uang. Siapa yang memiliki uang, dia dapat “membeli” kebenaran.  Kita juga menentang kapitalisme karena sistem ini membuat begitu banyak orang tetap bodoh, tetap tidak berpengetahuan, tetap tinggal dalam kegelapan alam pikiran – sehingga tidak sanggup berpartisipasi dalam proses mencari kebenaran.
Kita menentang militerisme karena, dalam militerisme, kebenaran ditentukan oleh senjata. Tidak mungkin orang dapat meraih kebenaran jika prosesnya diwarnai dengan kekerasan. Kekerasan menghancurkan kehidupan, sumber inspirasi dan tenaga untuk pencapaian kebenaran.
Kita juga menentang ilusi fundamentalisme dan kekhilafahan karena, dengan ilusi ini, orang dipaksa untuk tunduk pada satu versi kebenaran dengan memanipulasi konsep tentang Tuhan. Kita menentang konsep teokrasi karena sebenarnya ini hanyalah kedok terhadap klerikalisme – kekuasaan para ulama. Selama manusia tidak sempurna, tidak ada orang yang berhak mengatakan bahwa ia menggenggam pengetahuan mutlak. Dan, sesuai dialektika, seorang manusia hanya akan sanggup mencapai kebenaran kontekstual. Klerikalisme adalah salah satu bentuk kediktatoran – dan dalam kediktatoran, kebenaran tidak akan dapat dicapai oleh manusia. 
            Dialektika bukan hanya sekumpulan aturan, ia sebuah cara hidup, cara berpikir, cara bertindak. Dialektika mengharuskan kita menghormati kehidupan dan alam raya, karena dari sinilah sumber pemahaman kita akan kebenaran. Kita berpijak pada kenyataan, bersikap objektif, sambil tetap menyadari bahwa kita menanggapi kenyataan itu dengan cara yang sangat subjektif, tergantung dari imajinasi kita tentang kenyataan itu. Karena inilah, perdebatan seharusnya menjadi sikap hidup kita, dalam perjalanan panjang kita mencari dan menemukan kebenaran.

Seri Mari Berdialektika (7) Demokrasi dan Kediktatoran

Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru*    Wednesday, 03 October 2007
Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Seri Dialektika (7) Demokrasi dan kediktatoran

 
Dalam salah satu wawancara di TVRI bersama Rieke Dyah Pitaloka, beberapa waktu lalu, beberapa pejabat pemerintah berkata bahwa demokrasi sudah kebablasan dan perlu dibatasi. Menurut mereka, pelaksanaan Hak Asasi Manusia dibatasi oleh hak yang dipegang oleh orang lain. Kata mereka, kita tidak bisa begitu saja melaksanakan hak kita tanpa mempertimbangkan hak yang ada pada orang lain. Pembatasan ini juga diberlakukan pada hak mengeluarkan pendapat – yang dibatasi oleh hak orang lain mengeluarkan pendapat. Jadi, kita boleh mengeluarkan pendapat, sepanjang tidak mengganggu hak orang lain untuk juga berpendapat, tidak boleh ada pemaksaan, tidak boleh “sewenang-wenang” dalam mengeluarkan pendapat.
            Di pihak lain, bermunculan pula slogan-slogan yang menentang demokrasi. Misalnya, ketika aku jalan-jalan di bekas kampusku, Institut Pertanian Bogor, aku pernah melihat poster-poster yang menyatakan menentang “suara rakyat” karena manusia sudah pasti membuat kesalahan. Seharusnya, menurut poster itu, yang digugu dalam pemerintahan adalah “suara Tuhan” karena Tuhan tidak pernah salah.
            Inilah kebingungan yang muncul karena kegagalan banyak orang untuk memahami watak kontradiksi dalam demokrasi. Sebagaimana segala hal lain dalam kehidupan, demokrasi juga merupakan bagian dari sebuah kontradiksi. Bukan saja segala hal positif dalam demokrasi memiliki padanan negatifnya, tapi watak demokrasi itu sendiri sangatlah kontradiktif. Artinya: demokrasi yang sejati merupakan sebuah kediktatoran dalam bentuk yang paling arif.
 

Demokrasi = kediktatoran mayoritas

Persoalan demokrasi dan kediktatoran merupakan salah satu persoalan klasik di mana hukum dialektika “hal-hal yang bertentangan akan selalu hadir bersamaan, saling menyaratkan dan saling menggulingkan” . Kita lihat saja saat ini, ketika di dalam satu pertemuan terjadi perdebatan yang alot, orang biasanya akan memutuskan untuk menempuh pemungutan suara. Setelah ditetapkan syarat kemenangan dalam pemungutan suara itu (misal, mayoritas sederhana, yakni 50% + 1), siapapun yang berhasil mencapai jumlah itu akan dijadikan pemenang. Sekalipun hanya selisih satu suara, yang akan diberlakukan sebagai keputusan adalah usulan dari para pemenang. Ini adalah sebuah kenyataan di mana kediktatoran diberlakukan secara efektif. Bayangkan saja, hanya gara-gara kurang satu suara, bisa jadi separuh dari mereka yang hadir dalam pertemuan terbungkam suaranya. Sekalipun banyak orang tidak menyadarinya, kita harus dengan jujur mengakui bahwa ini adalah salah satu bentuk kediktatoran.
            Sebaliknya, sebuah kediktatoran sebenarnya adalah satu bentuk demokrasi – demokrasi yang dijalankan oleh minoritas. Sebuah junta militer sekalipun mengandung demokrasi. Hanya saja, hak untuk berdemokrasi itu dibatasi dan menjadi hak istimewa dari segelintir orang. Hanya para jenderal saja yang berhak berdemokrasi, itulah hakikat sebuah junta militer
            Oleh karena itulah kita menyebut Neoliberalisme sebagai Kediktatoran Modal. Artinya sederhana: Modal yang menentukan keputusan apa yang akan diambil. Baik para Pemodal secara langsung mempengaruhi pembuatan kebijakan (seperti membayar para pelobi atau menyogok anggota legislatif) ataupun para pembuat kebijakan menempatkan kepentingan Modal sebagai pijakan utama untuk penyusunan tiap peraturan dan undang-undang. Di dalam neoliberalisme berlaku demokrasi – tapi hanya untuk mereka yang punya modal. Mereka yang tidak punya modal, cukup diberi kesempatan bersuara lima tahun sekali. Itupun untuk menunjuk pemodal mana yang akan diberi hak untuk “berdemokrasi” .
            Dalam hal ini, para pendukung Teokrasi (baca: klerikalisme, kekuasaan para pendeta atau ulama) lebih jujur ketimbang para pendukung “demokrasi liberal”. Para pendukung Teokrasi, setidaknya, mengakui bahwa mereka menentang demokrasi. Bagi mereka, hak demokrasi hanya ada di tangan segelintir minoritas orang yang (karena keturunan atau pendidikannya) dianggap dapat menerjemahkan kehendak Allah. Para pendukung demokrasi liberal, sebaliknya, memasang kedok demokrasi (dalam pengertian “kehendak mayoritas”) padahal yang dilakukannya adalah melindungi hak istimewa segelintir orang untuk mengambil keputusan.
            Rakyat pekerja membutuhkan demokrasi – dalam pengertian “kepentingan mayoritas adalah penentu kebijakan” – karena jumlahnya memang merupakan mayoritas di negeri ini, atau bahkan juga di dunia. Demokrasi, bagi rakyat pekerja, berarti “jika terjadi benturan kepentingan antara rakyat pekerja dengan kelompok lain dalam masyarakat, kepentingan rakyat pekerja didahulukan.” Inilah bentuk demokrasi yang harus kita perjuangkan.
 

Rakyat pekerja tidak tahu apa yang dibutuhkannya?

Argumen paling kuat untuk melawan model demokrasi (kediktatoran mayoritas) seperti yang harus kita perjuangkan ini adalah pertanyaan di atas. Rakyat pekerja dianggap bodoh oleh para pemilik modal yang bisa bersekolah sampai tinggi. Orang awam yang tidak sempat belajar ilmu kekitaban dianggap tidak mampu mengerti Tuhan. Rakyat jelata yang tidak pernah sempat latihan baris-berbaris dianggap umpan peluru saja oleh para perwira bersenjata.
            Kita bisa saja mengeluh bahwa rakyat pekerja tidak mampu menempuh pendidikan karena miskin atau lain-lain alasan. Tapi, sebagaimana kebanyakan alasan lain di dunia ini, alasan itu tidak berdasar dan omong kosong saja. Rakyat pekerja menjadi bodoh karena ia tidak memiliki ambisi untuk berkuasa. Ia menjadi bodoh karena puas akan kehidupannya. Ia menjadi bodoh karena diliputi oleh bayang-bayang kekuasaan hegemoni kelas berkuasa.
            Salah satu perjuangan utama kita yang memikul beban sebagai pelopor adalah membangkitkan ketidakpuasan orang terhadap tingkat kehidupannya yang sekarang – termasuk membangkitkan minat, hasrat dan ambisinya untuk berkuasa. Semakin seorang melangkah maju dalam semangat ini, ia akan semakin menemui berbagai hal yang kurang dipahaminya. Dan, jika ia cukup berambisi, dengan organisasi yang dimilikinya ia akan belajar. Ia akan mengubah organisasi menjadi sebuah sekolah untuk mencapai kekuasaan.
            Dengan demikian, seorang buruh tidak akan puas hanya dengan menguasai soal UU Perburuhan atau soal Kerja Kontrak. Ia akan mencambuk dirinya untuk memahami bagaimana perikehidupan nelayan dan petani. Ia akan memukul kepalanya jika gagal memahami bagaimana mengatur perumahan di perkotaan agar tidak lagi kumuh dan menjelma menjadi hunian yang manusiawi. Ia akan memaki dirinya jika tidak berhasil menguasai administrasi dan pembukuan yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan sebuah usaha menyejahterakan masyarakat.
Pendeknya, rakyat pekerja yang berambisi untuk mewujudkan demokrasi mayoritas adalah mereka yang haus akan diskusi, haus akan pendidikan dan bacaan, haus akan aspek intelekual dari perjuangan mereka. Ia tidak akan membanggakan kemampuannya melakukan advokasi atau memahami UU Perburuhan. Ia akan menganggap kemampuan-kemampuan ini hanya sebagai landasan, sebagai kuda-kuda untuk jurus-jurus yang lebih maut dan sedap dipandang mata. Ia akan berlatih memahami UU Perburuhan agar ia kelak lebih mudah menyerap filsafat dan ilmu kemasyarakatan lainnya. Ia akan berlatih advokasi agar kelak dapat memahami perikehidupan berbagai kelompok masyarakat lain di luar situasi kehidupan pribadinya.
Kemunculan dan menguatnya ilusi fundamentalisme disebabkan oleh kekosongan ambisi rakyat pekerja untuk membuat dirinya mampu mengambil keputusan demi hidupnya sendiri. Karena takut dengan tanggung jawab dan kerja besar yang dibutuhkan untuk membuat dirinya mampu mengambil keputusan, rakyat pekerja mencari-cari orang yang berani mengklaim dirinya mampu mengambil keputusan. Rakyat pekerja mencari orang yang dianggapnya pandai. Secara umum, ini adalah Meritokrasi (kuasa di tangan para cerdik-cendekia) . Teokrasi, karena pada hakikatnya merupakan klerikalisme, juga merupakan salah satu bentuk meritokrasi – dan yang paling primitif pula, karena teokrasi telah dipraktekkan kasta pendeta sejak jaman peradaban kuno, di mana para Raja diproklamirkan sebagai titisan Dewa.
Pendeknya, jika rakyat pekerja tidak berambisi berkuasa dan mewujudkan demokrasi mayoritas, mereka tidak akan pernah menikmati kesempatan untuk berdemokrasi.

Demokrasi mayoritas = partisipasi aktif mayoritas

Demokrasi mayoritas hanya bisa terjadi jika cukup banyak orang yang memahami duduk permasalahan. Jika tidak demikian, kekuasaan untuk mengambil keputusan akan kembali jatuh ke tangan minoritas – sekalipun kekuasaan telah dipegang oleh orang-orang yang mengaku berjuang demi kekuasaan mayoritas. Tanpa didukung oleh luasnya kemampuan melancarkan kritik dan otokritik, tanpa didukung oleh luasnya kemampuan mengajukan usulan dan saran yang berbobot, tanpa disokong oleh luasnya partisipasi dalam perencanaan – demokrasi mayoritas tidak akan pernah terwujud. Dan kita akan kembali pada tirani minoritas atas orang banyak.
            Demokrasi, secara inheren mengandung pembatasan. Tapi, hak seseorang untuk mengemukakan pendapat tidaklah dibatasi oleh hak orang lain, seperti kata para pejabat pemerintah. Yang boleh ada adalah pengaturan, mekanisme yang sehat, di mana perdebatan dapat berlangsung dengan sebebas-bebasnya, dialektik, ilmiah – dan, yang terpenting, mekanisme ini juga harus merupakan hasil dari kesepakatan bersama. Tidak seperti sekarang, di mana mekanisme untuk mengeluarkan pendapat diatur oleh segolongan kecil dalam masyarakat, justru untuk membungkam dan menangkal partisipasi mayoritas dalam pengambilan keputusan.
            Demokrasi mayoritas, dengan demikian, adalah hasil kerja dan pemikiran mayoritas. Ia bukan kumpulan segelintir penguasa yang berpura-pura mengerti kehendak mayoritas, melainkan hasil dari kerja keras mayoritas itu sendiri. Ia menjadi kediktatoran karena ia akan memaksa orang tunduk pada kehendak mayoritas, tapi ia menjadi demokrasi karena tidak satupun orang yang tidak digairahkan untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan ini – bukan hanya pada saat pemungutan suara, melainkan dari mulai penyusunan, pengujian, perdebatan sampai pada pengambilan kesimpulan.  Demokrasi mayoritas adalah kediktatoran di mana semua orang tunduk secara sukarela, sebab mereka sendirilah pengambil keputusan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar