Selasa, 17 Juni 2014

Gerakan Perempuan

Gerakan Perempuan
Tujuan dan Target:
  1. Peserta memahami atas konsep gender 
  2. Peserta mengetahui implikasi biologis terhadap ketidakadilan gender.
  3. Peserta mengetahui historisitas gerakan perempuan.
  4. Peserta memahami pola gerakan perempuan
  5. Terbentuknya kesadaran kritis akan realitas ketidakadilan gender untuk selanjutnya melakukan gerakan perubahan sosial.
Pokok Bahasan :
  1. Definis Jender
  2. Perbedaan jender dan seks
  3. Jender dan problem ketidakadilan
  4. Sensitifitas Jender
  5. Sejarah gerakan perempuan di Indonesia dan pola gerakannnya

A. Definisi Gender

Jender berasal dari bahasa Latin, yaitu “genus”, berarti tipe atau jenis. Jender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh sosial dan budaya setempat, maka jender tidak berlaku selamanya tergantung kepada waktu (tren) dan tempatnya.
Menurut John M. Echols dan Hasan Shadily dalam kamus Inggris-Indonesia, kata gender  berasal dari bahasa Inggris, gender berarti jenis kelamin. Sedangkan dalam Women Studies Encyclopedia gender lebih difahami sebagai konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laiki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

B. Perbedaan seks dan jender

            Jender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis dan bisa memproduksi sperma, sementara perempaun mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui.
C. Jender dan problem ketidakadilan
Sejarah perbedaan Jender, perbedaan laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial, yang dimulai sejak manusia lahir terjadi melalui proses yang panjang. Perbedaan tersebut dikonstruksi secara sosial atau kultur, dibentuk, disosialisasikan dan diperkuat melalui ajaran keagamaan maupun negara (Julia Cleves Mosse, 2003). Bahkan menurut Mansour Faqih perbedaan jender mampu menciptakan ideologi jender yang diwarnai oleh pandangan bahwa laki-laki lebih tinggi diatas perempuan, yang juga diperkukuh melalui agama dan tradisi. Ideologi jender memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan agama. Dampak terburuk dari pelegitimasian ini adalah diyakininya perbedaan jender merupakan ketentuan Tuhan atau takdir, yang pada akhirnya tidak mudah bagi masyarakat untuk membedakan antara ketentuan Tuhan yang sesungguhnya dengan konstruksi sosial. Ideologi jender telah membentuk budaya yang patriarkhal di masyarakat dan menciptakan male dominated culture, budaya yang didominasi oleh laki-laki.
Perbedaan jender tidak akan menjadi perhatian dan menjadi bahan pertimbangan penting kalau saja tidak membawa dampak yang merugikan bagi kehidupan manusia, terutama perempuan. Konsep jender menjadi penting karena perbedaan jender telah melahirkan ketidakadilan jender dalam masyarakat dan bahkan dalam kebijakan pemrintah.
Ketidakadilan jender menurut Mansour Faqih muncul diberbagai aspek kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara bahkan beragama di seluruh lini dan wilayah. Bentuk ketidakadilan jender antara lain, marjunalisasi, subordinasi, stereotip, beban ganda dan kekerasan terhadap perempuan. Marjinalisasi perempuan bisa terjadi pada wilayah negara, keyakinan, masyarakat, agama (institusi dan tafsiran) organisasi atau tempat bekerja, keluarga, atau diri sendiri. Subordinasi, sebagaimana marjinalisasi terjadi baik diwilayah domestik atau publik. Konstruksi jender yang menganggap perempuan emosional, tidak rasional, dan lemah melahirkan sipat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari mitranya, laki-laki. Stereotip adalah pelabelan negatif yang direkatkan pada kelompok tertentu, yang dalam hal ini perempuan. Sama dengan marjinalisai dan subordinasi, stereotip dapat dilihat dalam setiap wilayah kehidupan. Bentuk ketidakadilan yang tak kalah penting adalah beban ganda perempuan. Perempuan yang dipandang tekun dan rajin bekerja dianggap lebih tepat menangani pekerjaan rumah tangga, yang ada akhirnya disebut sebagai jenis pekerjaan perempuan, sementara laki-laki yang dipandang kuat dan rasional menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah. Ketika perempuan yang pada kenyataannya juga bekerja diluar rumah dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian keluarga, pada saat yang sama dia dibebani dengan pekerjaan kultural di wilayah domestik, yang tentu saja mengakibatkan beban ganda. Bentuk ketidakadilan yang terakhir adalah kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan adalah serangan atau pemukulan terhadap fisik atau mental psikologis seseorang. Pelabelan perempuan sebagai sosok perempuan yang lemah, rendah dan tidak berdaya banyak menimbulkan fenomena kekerasan. Bentuk kekerasan tersebut antara lain, pemerkosaan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan, tindakan pemukulan dan serangan fisik dalam rumah tangga, kekerasan dalam bentuk pelacuran, pornografi, dan pelecehan seksual. Kekerasan yang disebabkan oleh bias jender tersebut disebut dengan “ gender related violence” atau kekerasan yang terkait dengan jender. 
D. Sensitifitas Jender
Sensitifitas artinya kepekaan, sehingga makna dari sensitifitas jender adalah kepekaan terhadap persoalan, perbedaan, ketimpangan, atau ketidakadilan yang disebabkan oleh pandangan atau ideologi jender yang ada disekitar kita. Menurut Inayah Rohmaniyah kepekan merupakan sebuah “skill” atau kemampuan yang dapat ditumbuhkan, dilatih, diinternalisasikan, dan dibudayakan. Sensitifitas jender sengat diperlukan dan penting dalam upaya membanngun dan memperjuangkan hak-hak dan kewajiban perempuan yang ada.
E. Sejarah gerakan perempuan di Indonesia dan pola gerakannya
Sejak dahulu telah ada orang-orang yang memberi perhatian pada nasib wanita, yang dianggap perlakukan tidak adil dalam masyarakat maupun dalam keluarga dibanding pria. Tetapi dimanapun masih dirasakan adanya ketimpangan dalam pengakuan dan penghargaan  terhadap wanita dari pada pria. Pada abad 18 di Perancis muncul gerakan wanita, gerakan itu didorong oleh ideologi pencerahan (Aufklarung) yang lebih mendewakan akal atau rasio. Semua manusia, pria dan wanita pada dasarnya adalah makhluk rasional maka penting adalah pendidikan untuk meningkatkan kecerdasannya. Kecerdasan dianggap syarat mutlak untuk membangun masyarakat yang sejahtera. Mereka menuntut hak wanita sejajar dengan pria (Equality) dibidang politik, kesempatan memperoleh pendidikan, perbaikan dalam hukum  perkawinan dan lain sebagainya. Revolusi tahun 1789 tidak banyak memberi keuntungan kepada wanita, bahkan perkumpulan-perkumpulan wanita dilarang dan dalam hukum perdata yang disusun oleh pemimin-pemimpin revolusi dan disahkan oleh Napoleon I menunjukkan rendahnya kedudukan wanita.
            Sejarah gerakan wanita di Indonesia menunjukkan kemiripan dengan gerakan wanita di Negara-negara yang pernah mengalami penjajahan oleh Negara-negara Barat. Di Indonesia, proses itu sudah menjelma pada abad ke-19 (pra kemerdekaan) dalam bentuk peperangan di banyak daerah dibawah pimpinan para raja atau tokoh-tokoh. Dalam peperangan tersebut dikenal beberapa tokoh wanita antara lain : Martha Grhistina Tiahahu, Cut Meutia, Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang. Bentuk perlawanan tersebut bersifat konfrontatif.
            Pada abad 19 berawal dari politik etis Belanda mempunyai inisiatif untuk membalas budi atas tanah jajahannya dengan cara memberikan pendidikan kepada rakyat Indonesia. Akan tetapi. Kesempatan memperoleh pendidikan hanya terbatas pada golongan-golongan tertentu saja. Kartini yang karena pergaulannya dan korespondensinya dengan orang-orang Belanda, memperkuat pemikirannya bahwa pendidikan sangat  penting untuk kemajuan bangsa.
            Pada masa itu politik etis juga tidak menguntungkan bagi perkembangan dan kemajuan perempuan. Ternyata dari program edukasi Belanda yang mampu mengaksis pendidikan hanyalah kaum elit, penguasa dan priyayi. Hal ini dipengaruhi oleh kuatnya feodalisme dan budaya patriarki yang diyakini oleh kaum yang berkuasa waktu itu. Lagi-lagi perempuan tidak mendapat kesempatan sedikitpun untuk mengakses pendidikan.
            Berangkat dari kondisi seperti itulah tokoh perempuan Kartini tergugah nuraninya untuk melakukan penyadaran, perlawanan dan perubahan sistem yang berlaku, yaitu dengan menuntut akses pendidikan yang sama bagi perempuan. Selain itu dia juga mendirikan sekolah-sekolah ketrampilan bagi kaum perempuan pada masa itu, meskipun banyak mendapat perlawanan dari kaum penjajah.

            Semenjak itu banyak bermunculan organisasi-organisasi perempuan di Indonesia, diantaranya adalah :
·         Pada tahun 1912-19328 berdiri organisasi perempuan bernama Putri Mardika. Organisasi ini menuntut akses pendidikan yang lebih adil antara  laki-laki dan perempuan serta menuntut keadilan posisi serta peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.
·         Pada akhir tahun 1920-an pola gerakan wanita lebih diorientasikan pada wilayah politik. Isu yang mereka bawa adalah menuntut partisipasi perempuan dalam kancah politik dan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan.
·         Tahun 1928-1935 muncul organisasi Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang merupakan bentukan dari hasil Kongres Perempuan Indonesia yang diadakan pada tanggal 22 Desember. Corak gerakan yang ada cendrung sosialis-nasionalis. Mereka mengangkat isu-isu seputar perlindungan  wanita dan anak-anak dalam perkawinan, mencegah perkawinan anak-anak, menuntut pendidikan bagi anak-anak, dan kedudukan wanita dalam perkawinan.
·         Pasca kemerdekaan (1945-1946) corak serta karakteristik gerakan perempuan masih berkuat pada wilayah sosial (terutama perbaikan nasib perempuan) dan perjuangan melawan penjajah. Ini diperkuat dengan munculnya WANI (wanita Indonesia) dan KOWANI (kumpulan dari beberapa organisasi perempuan). Isu yang diangkat menuntut dan mempertahankan keadilan sosial.


            Kemudia, baru pada sekitar tahun 1950-1965 organisasi perempuan terjun dipergerakan nasional. Mereka konfrontatif dengan penjajah. Dalam artian, mereka langsung terjun digaris perlawanan melawan penjajah. Salah satu diantaranya adalah GERWIS. Organisasi ini berdiri tahun 1950 dengan isu gerakan orientasi pendidikan yang lebih terhadap perempuan, dan menyediakan fasilitas penitipan anak. Proses selanjutnya GERWIS, pada tahun 1954 berubah nama menjadi  GERWANI. Orientasi gerakan berubah kearah politik. Isu yang dibawa pun lebih banyak menuntut partisipasi perempuan di dalam parlemen, menuntut suara perempuan di parlemen, pembentukan organisasi perempuan, dan menuntut hukum perkawinan. Ternyata dalam prosesnya GERWANI mampu menunjukkan eksistensinya dengan keberhasilannya mampu memobilisir massa (organisasi-organisasi perempuan) dan satu-satunya perempuan terbesar waktu itu dengan jumlah anggota (kurang lebih satu juta massa). Dan GERWANI mampu menjadi pelopor gerakan perempuan di bidang politik. Sampai kemudian tibalah masa demokrasi terpimpin (pergantian pucuk kekuasaan Orde lama ke Orde baru), yang berimplikasi pada pengjancuran gerakan permpuan (GERWANI)  pada tahun 1965. sejak itulah gerakan perempuan tidak pernah terdengar lagi  gaungnya. Gerakan perempuan seperti hilang ditelan masa. Karena sejak demokrasi terpimpin mengabil alih gerakan perempuan ditarik, dikoordinasikan dan disatukan kewilyah domestic. Disini ada semacam domestikasi gerakan. Orientasi gerakan diarahkan pada wilayah-wilayah domestik. Walaupun telah berdiri organisasi-organisasi seperti IDHATA Ikatan Dharma Wanita), akan tetapi fungsi dari pada organ tersebut hanya sebagai wadah perkumpulan para  perempuan-perempuan atau istri dari pada kepala desa, lurah, polisi serta pejabat.  Wilayah garapanpun hanya pada masalah keperempuanan yang sifatnya domestik. Tidak pernah sekalipun  menyoroti masalah sosial kemasyarakatn ataupun politik. Akan tetapi masih ada  sisa-sisa dari gerakan perempuan (KOWANI) yang berhasil meng’gol’kan UUD perkawinin dan UUD ketenagakerjaan (memperjuangkan nasib buruh wanita) pada tahun 1974. kemudian baru pada Revormasi (1998), sentralnya pada masa kepemimpinan GusDur (sampai sekarang), banyak munculnya LSM-LSM dan PSW yang diberi hak penuh untuk berkreasi dan mengeluarkan pendapat, terutama bagi organisaai perempuan yang selama ini hak berbicara dan berpolitiknya dipasung. Orientasi LSM perempuan dan PSW (Pusat Study Wanita) lebih mengarah  pada program pendampingan masyarakat (realitas sosial). Dan ada sebuah organisasi perempuan yang intens menyikapi serta mengkritisi kebijakan pemerintah, yaitu KPI (Koalisi Perempuan Internasional). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar