A. Biografi
Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria Ibn Yahya Al-Razi Lahir di Rayy, suatu kota di Teheran, pada tanggal satu Sya’ban 251 H/856 M. Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang, atau lebih mungkin sebagai pemain kecapi. Awalnya ia meninngalkan musik untuk belajar alkimia kemudian ketika berumur tiga puluh atau empat puluh ia meninggalkan alkimia, karena matanya terserang penyakit akibat ekperimen yang dilakukannya. Itulah yang menyebabkan ia mencari dokter dan obat-obatan bahkan ia mempelajari ilmu kedokteran. Ia belajar ilmu kedokteran dari ‘Ali ibn Rabban Al-Thabari, beliau adalah seorang dokter sekaligus filosof.
Al-Razi Pernah menjabat sebagai direktur rumah sakit di kota kelahirannya (Rayy). Kemudian juga direktur rumah sakit di Bagdad. Ia terkenal di barat dengan nama Rhazes dan buku-bukunya tentang kedokteran. Karangannya yang terkenal ialah “ Tentang Cacar dan Campak” yang di terjemahkan dalam berbagai bahasa di Eropa.[1]
Sepulangnya dari Bagdad, ia kembali ke Rayy dan disana ia mempunyai banyak murid. Sebagai mana yang di tuturkan al- Nadim dalam Fihrist,bahwa al-Razi kemudian menjadi syekh “dengan kepala besar menyerupai karung” yang di kelilingi oleh banyak murid.[2]
Al- Razi adalah orang yang murah hati, sayang pada pasien-pasiennya, dermawan kepada orang-orang miskin, karena itu ia memberikan pengobatan sepenuhnya tanpa meminta bayaran sedikitpun. Jika tidak bersama murid dan pasiennya, ia selalu menghabiskan waktunya untuk menulis dan belajar.[3] Mungkin ini yang menyebabkan penlihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya ia menjadi buta. Ada yang mengatakan sebab kebutaanya karena banyak makan buncis (Baqilah)[4]. Penyakitnya bermula dari rabun dan akhirnya menjadi buta sama sekali. Ia pun menolak untuk di obati. Dan mengatakan bahwa pengobatan itu akan sia-sia belaka, karena sebentar lagi ia akan meninggal dunia. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 M.[5]
B. Filsafatnya Tentang Lima Kekal
Al-Razi adalah seorang rasionalis murni. Ia mempercayai hanya akal, di bidang kedokteran, studi klinis yang dilakukannya telah menghasilkan metode yang kuat tentang penemuan yang berpijak pada observasi dan eksperimen. Hal ini juga terbukti dari karangannya yang di terjemahkan oleh E.G. Browne dalam ArabianMedicine, ia menerjemahkan satu halaman yang mungkin di ambil dari hawi. Bunyi terjemahan tersebut ialah:
“Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyak manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh,dan yang tersembunyi dari kita…..dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahguan tertinggi yang dapat kita peroleh…..Jika akal sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh melecehkannya; kita tidak boleh menentukannya, sebab Ia adalah penentu, atau mengendalikannya, sebab Ia adalah Pengendali, atau memerintahnya, sebab Ia adalah pemerintah; tapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya; kita harus sesuai dengan perintahnya”.[6]
a. Filsafat Lima Kekekalan
Filsafatnya yang terkenal denagan doktrin lima yang kekal; Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang Absolut, dan Zaman Absolut, dalam bahasa Arab :َالبَارِى تَعَالَى وَالنَّفْسُ الْكُلِّيَةِ وَالْهَيُوْ لاَ الاُوْلَى وَالْمَكَانُ الْمُطْلَقْ وَالزَّمَانُ المُطْلَقُ
Mengenai yang terakhir ia membuat perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu diantaranya (al-dahr, duration) dan (al-waqt, time). Yang pertama kekal dalam arti tidak bermula dan tak berakhir, dan yang kedua disifati oleh angka. Dia juga mengatakan dalam kemaujudan lima hal berikut adalah perlu: kesadaran bahwa materi terbentuk oleh susunan; ia berkaitan dengan ruang, karena itu harus ada ruang (tempat); pergantian bentuknya merupakan kekhasan waktu, karena ada yang dahulu dan ada yang berikut, dan karena waktu, maka ada kekunoan dan kebaruan, adanya kelebihtuaan dan kelebihmudaan; karenanya waktu itu perlu. Dalam kemaujudan, terdapat kehidupan, karena itu musti ada ruh? Dan dalam hal ini; mesti ada yang dimengerti dan hukum yang mengaturnya harus sepenuhnya sempurna; karena itu, dalam kenyataan ini, harus ada pencipta, yang bijaksana, mahatau, melakukan segala sesuatu sesempuna mungkin, dan memeberikan akal sebagai bekal mencari keselamatan.[7]
Dua dari yang lima kekal itu hidup dan aktif, Tuhan dan Roh. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, ruang dan masa.
Bagi benda (being) kelima hal ini ada;[8]
1. Materi; merupakan apa yang bisa ditangkap dengan panca indra tentang benda itu.
Menurut al-Razi kemutlakan materi pertama terdiri atas atom-atom. Setiap atom mempunyai volume; kalu tidak, maka dengan pengumpulan atom-atom itu, tidak dapat dibentuk. Bila dunia di hancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Dengan demikian, materi berasal dari kekekalan, karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan.
Apa yang lebih padat menjadi unsur bumi (tanah), apa yang renggang dari unsur bumi menjadi unsur air, apa yang lebih renggang lagi menjadi unsur udara, dan yang jauh lebih jarang lagi menjadi unsu api.
Al-Razi memberikan dua bukti untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi. Pertama, penciptaan adalah bukti; dengan demikian mesti ada penciptanya. Apa yang diciptakan itu ialah materi yang terbentuk. Tetapi, mengapa kita membuktikan bahwa Pencipta ada terlebih dahulu dari apa yang dicipta ? dan bukannya yang diciptakan itu yang lebih dahulu ada ? bila benar bahwa wujud tercipta (atau lebih tepat: dibuat (masnu’) ) dari sesuatu dari kekuatan agen, maka kita dapat mengatakan, apabila agen ini kekal dan tak dapat di ubah denagan kehendak-Nya, maka yang menerima tindak kekuatan ini tentu kekal sebelum ia menerima tindak tersebut.[9]
Bukti kedua berlandaskan ketidakmungkinan penciptaan dari ketiadaan. Penciptaan, katakanlah, yang membuat sesuatu dari ketiadaan, lebih mudah daripada menyusunnya. Diciptakannya manusia oleh Tuhan dalam sekejap lebih mudah daripada menyusun mereka dalam empat puluh tahun. Ini adalah premis pertama. Pencipta yang bijak tidak lebih menghendaki melaksanakan apa yang lebih jauh dari tujuan-Nya daripada yang lebih dekat, kecuali apabila Dia tidak mampu melakukan apa yang lebih mudah dan lebih dekat. Ini adalah premis kedua. Kesimpulan dari premis-premis ini adalah bahwa keberadaan segala sesuatu pati disebabkan oleh pencipta dunia lewat penciptaan dan bukan lewat penyusunan. Tetapi apa yang kita lihat terbukti sebaliknya. Segala sesuatu di dunia ini dihasilakan oleh susunan dan bukan oleh penciptaan. Bila demikian maka, Ia tidak mampu menciptakan dari ketiadaan, dan dunia ini wujud melalui susunan sesuatu yang asalnya adalah materi.[10]
2. Ruang; kerena materi menagambil tempat.
Sebagaimana telah dibuktikan bahwa materi itu kekal, dan karena materi menempati ruang, maka ada ruang yang kekal. Alasan ini hampir serupa dengan alasan al-Iransyahri. Tetepi al-Iransyahri mengatakan bahwa ruang merupakan kekuasaan nyata tuhan. Al- Razi tak mengikuti definisi kabur gurunya. Bagi dia, ruang adalah tempat keberadaan materi.
Menurt al-Razi ruang ada dua macam: ruang universal atau mutlak, dan ruang tertentu atau relatif. Yang pertama tak terbatas, dan tidak bergantung kepada dunia dan segala yang ada di dalamnya.
Kehampaan ada di dalam ruang, dan karenanya, ia berada di dalam materi. Sebagai bukti dari ketidakterbatasan ruang, al-Iransyahri dan al-Razi mengatakan, bahwa wujud yang memerlukan ruang tidak dapat maujud tanpa adanya ruang, meski ruang bisa maujud tanpa adanya wujud tersebut. Ruang tak lain adalah tempat bagi wujud-wujud yang membutuhkan ruang. Yang berisi keduanya, yaitu wujud, atau bukan wujud. Bila wujud, maka ia harus berada di dalam ruang, dan di luar wujud ini adalah ruang atau tiada-ruang; bila tiada-ruang, maka ia adalah wujud dan terbatas. Bila bukan wujud, ia berarti ruang. Karenanya, ruang itu tak terbatas, bila orang berkata bahwa ruang mutlak ini tak terbatas, maka ini berarti bahwa batasannya adalah wujud. Karena setiap wujud itu berbatas, sedang setiap wujud berada di dalam ruang, maka ruang bagaimanapun tak terbatas. Yang tak terbaatas itu adalah kekal, karenanya ruang itu kekal.[11]
3. Zaman; karena meteri berubah-ubah keadaannya, dan perubahan menandakan zaman, maka zaman itu mesti kekal pula kalau materi kekal.
Zaman (waktu) merupakan substansi yang mengalir (jauhar yajri). Al-Razi menentang merka (Aristoteles dan para pengikutnya) yang berpendapat bahwa waktu adalah jumlah gerak benda, karena jika demikian, maka tidak mungkin bagi dua benda yang bergerak untuk bergerak dalam waktu yang sama dengan dua jumlah yang berbeda.
Al-Razi membagi waktu menjadi dua macam, yaitu: waktu mutlak dan waktu terbatas (mahsyur). Waktu mutlak adalah keberlangsungan (al-dahr). Ia kekal dan bergerak. Sedang waktu terbatas adalah gerak lingkungan-lingkungan, matahari dan bintang-gemintang. Bila anda berfikir tentang gerak keberlangsungan, maka anda dapat membayangkan waktu mutlak, dan ia itu kekal. Jika anda membayangkan gerak bola bumi, berarti anda membayangkan waktu terbatas.[12]
4. Diantara benda-benda yang ada hidup dan oleh karena itu perlu ada roh. Dan diantara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciptaan-ciptaan yang teratur[13].
5. Semua ini perlu ada Pencipta Yang Mahabijaksana lagi Mahatau (Tuhan).
Kebijakan Tuhan itu maha sempurna. Ketidaksengajaan tidak dapat di sifatkan kepadan-Nya. Kehidupan berasal darinya sebagaimana sinar datang dari matahari. Ia mempunyai kepandaian sempurna dan murni. Tuhan menciptakan sesuatu, tiada bisa menandingi-Nya, dan tak sesuatupun yang dapat menolak kehendaknya.
C. Filsafatnya Tentang Roh dan Materi
Sungguhpun materi pertam kekal, alam tidak kekal. Alam diciptakan Tuhan, bukan dalam arti creatio ex nihilio (penciptaan dari tidak ada), teapi dalam arti di susun dari bahan yang telah ada. Menurut al-Razi, Tuhan pada mulanya tidak beniat membuat alam ini. Tetapi pada suatu ketika, keabadian yang lain yaitu roh tertarik dan mencintai materi pertama, bemain dengan materi pertama itu, tetapi materi pertama berontak. Tuhan menolong roh dengan membentuk alam ini dalam susunan yang kuat sehingga roh dapat mencari kesenangan materi didalamnya.
Tuhan tahu bahwa pengikatan ini merupakan sebab kejahatan, tetapi setelah hal itu terjadi, Tuhan mengarahkan ke jalan yang yang sebaik mungkin. Akan tetapi beberapa kejahatan tetap ada; sumber seluruh kejahatan, susunan roh dan materi ini sepenuhnya tak dapat di murnikan.[14]
Tuhan mewujudakan manusia dan di dalamnya mengambil tempat. Terikat pada materi, roh lupa pada asalnya dan lupa bahwa kesenangannya yang sebenarnya bukan terletak dalam persatuan dengan materi tetapi dalam melepaskan diri dari materi. Oleh karena itu mewujudkan akal, yang berasal dari zat Tuhan sendiri. Tugas akal ialah untuk menyadarkan manusia yang telah terpedaya oleh kesenangan materi, bahwa alam materi ini bukanlah alam yang sebenarnya. Alam yang sebenarnya dan kesenangan sebenarnya berada di luar alam materi dan alam itu dapat di capai hanya dengan falsafat. Roh akan tetap tinggal di alam materi ini, selama ia tidak dapat menyucikan diri dengan falsafat. Apakah dalam bentu reingkarnasi atau dalam bentuk pindah dari suatu planet ke planet yang lain, seperti pendapat alkindi, tidak jelas. Tetapi kalau seluruh roh sudah bersih, seluruhnya akan kembali ke alam asalnya. Pada ketika itu alam materi akan hancur, dan roh dan materi kembali ke asalnya semula. Alam ini adalah terbatas dan hanya satu, dan di luar alam terdapat tuhan.[15]
D. Filsafatnya Tentang Rasio dan Agama
Al-Razi adalah seorang rasionalis murni yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan perlunya nabi-nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini.
Manusia dalam pendapatnya, pada dasarnya mempunyai daya beerfikir yang sama besarnya, dan perbedaan timbul karena berlainan suasana perkembangannya.
Para nabi menurut pendapatnya, membawa kehancuran bagi manusia, dengan ajaran-ajaran mereka yang saling bertentangan. Bahkan ajaran-ajaran itu menimbulkan perasaan benci-membenci diantara umat manusia yang terkadang meningkat menjadi peperangan agama.
Semua agama ia kritik. Orang tunduk agama, menurut pendapatnya, karena tradisi, kekeuasaan yang ada pada pemuka-pemuka agama, dan karena tertarik pada upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa rakyat yang sederhana dalam pemikiran. Quran baik dalam bahasa dan gaya manapun dalam isi tidak merupakan mukjizat. Al- Razi lebih mementingkan buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan daripada buku-buku agama. Teteapi sungguhpun ia menentang agama pada umumnya, ia bukan seorang ateis, malahan seorang monoteis yang percaya pada adanya satu Tuhan, sebagai penyusun dan pengatur alam ini.
Dalam falsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, ia memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali pada Tuhan dengan meninggalkan alam materi. Untuk kembali ke Tuhan roh harus terlebih dahulu di sucikan dan yang dapat menyucikan roh ialah ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Pemahaman al-Razi dekat menyerupai zahid (زَاهِدْ) dalam hidup kebendaan. Tetapi ia menganjurkan moderasi, jangan terlalu mencari kesenangan. Manusia harus menjauhi kesenangannya yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya manusia jangan pula sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri.
Kesimpulan
Al-Razi tidak mempunyai tidak memiliki sistem filsafat yang teratur, tetapi melihat masa hidupnya, ia mesti dipandang sebagai pemikir yang tegar dan liberal di dalam islam, dan mungkin di sepanjang sejarah pemikiran manusia.
Ia adalah seorang rasiaonalis murni, sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala prasangka, dan sangat berani dalam mengemukakan gagasannya tanpa tedeng aling-aling.
Ia mempercayai manusia, kemajuan, Tuhan Mahabijak, tetapi ia tidak mempercayai agama manapun.
PUSTAKA
Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisme dalam Islam.
Syarif,ed. Para Filusuf Islam. Bandung: Mizan,1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar