PENDIDIKAN PAULO FREIRE
OLEH : DADANG NURJAMAN
Bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tapi kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak menusiawi selelu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusia, yang terjadi senyatanya, yang dikhotomi dalam pengertian psikologis.
Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektif yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berpikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak terutama berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah.
Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:
1. Pengajar
2. Pelajar atau anak didik
3. Realitas dunia
Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini. Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandalkan sebagai sebuah “bank” (banking concept of educational) di mana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar daripadanya kelak diharapkan suatu hasil lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositnya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak . Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunai yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.
Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonis pendidikan “gaya bank” sebagai brtikut:
1. Guru mengajar, murid belajar.
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid mendengarkan
6. Guru mengatur dan memilih memaksakan pilihannya, murid menuruti.
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana murid bertindak sesuai dengan tindakan guru.
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesioanlismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid hanya obyeknya.
Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrh saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam ini menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan “biofili” Implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadi diri mereka sendiri sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah lahir lagi manusia-manusia penindas yang baru. Jika kemudian mereka menjadi guru atau pendidik juga, maka daur penindasanpun segera dimulai lagi dalam dunia pendidikan, dan seterusnya. Sistem pendidikan, karena itu, menjadi sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) ke arah perubahan dan pembaharuan. Bagi Freire, sistem pendidikan sebaliknya justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia . Sistem pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak-didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut (disinheried masses) dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi ada dalam artian menjadi seperti yang berarti menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.
Pola pendidikan semacam itu paling jauh hanya akan mampu merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, tetapi tidak akan mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta, sehingga mudah dipahami mengapa suatu revolusi yang paling revolusioner sekalipun pada awal mulanya, tetapi digerakkan oleh orang-orang yang dihasilkan oleh sistem pendidikan mapan seperti itu, pada akhirnya hanyalah menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang sebenarnya sama saja, bahkan terkadang jauh lebih buruk.
Maka akhirnya Freire pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakannya sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan membaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan, bukan penguasaan (dominasi). Pendidikan memang harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia, dan karena itu, secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran dakan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas itu. Inilah makna dan hakekat praxis itu, yakni:
Dengan kata lain, “praxis”, adalah “manunggal karsa, kata, dan karya”, karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara, dan berbuat .
Makna “praxis” tidak memisahkan ke tiga fungsi atau aspek tersebut sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi padu dalam gagasan maupun cara wujud seseorang sebagai manusia seutuhnya. Jika hal itu dibuat terpisah, maka akan ada dua kutub ekstrem yang terjadi, yakni pendewaan berlebihan pada kata-kata (sacrifice of verbalism), atau pendewaan berlebihan pada kerja (sacreifice of ativism). Prinsip “prais” inilah yang menjadi kerangka dasar sistem dan metodologi pendidikan kaum tertindas Paulo Freire. Setiap waktu dalam prosesnya, pendidikan ini merangsang ke arah diambilnya suatu tindakan, kemudian tindakan itu direfleksikan kembali, dan dari refleksi itu diambil tindakan baru yang lebih baik.
Demikian seterusnya, sehingga proses pendidikan merupakan suatu daur bertindak dan berpikir yang berlangsung terus-menerus sepanjang hidup seseorang:
Pada saat bertindak dan berpikir itulah, seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur belajar seperti ini, maka setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka di dalamnya. Karena itu, Freire juga menyebut model pendidikannyasebagai “pendidikan hadap masalah” (problem posing education). Anak-didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu juga sang guru.
Jadi keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, seling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbagan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun menjadi hubungan subyek—subyek, bukan subyek—obyek. Obyek meraka adalah realitas. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu obyek bersama.
“ Demikian Analisa yang dapat saya berikan untuk pembaca sekalian, mudah-mudahan pembaca sekalian dapat mengambil pelajaran dalam analisa ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam analisa ini, oleh karena itu penulis mohon kritik dan saran pembaca sekalian untuk kemajuan analisa penulis selanjutnya “.
“ Belajar Tanpa Berfikir Itu Bahaya Dan Befikir Tanpa Belajar Hanya Untuk Orang-Orang Genius ”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar