Jumat, 05 November 2010

TEORI EMANASI menurut Al-Farabi

 AL-FARABI

PENDAHULUAN

Filsafat sebagai dalam dunia Islam telah membuktikan dirinya sebagai penggerak utama bagi pengetahuan yang kemudian menjadi pondasi bagi peradaban Islam. Filsafat cukup digandrungi oleh sebagian intelektual Islam pada masa dahulu hingga sekarang. Al-Farabi merupakan seorang filosof muslim sebagai penerus tradisi intelektual Al-Kindi, namun dengan kemampuan, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih mendalam lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam. 
Al-Farabi dalam dunia intelektual Islam mendapat kehormatan dengan julukan al-Muallim al-Sany (Guru Kedua). Penilaian ini dihubungkan dengan jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles. Oemar Amin Hoesin berargumen, seolah-olah Aristoteles dalam dunia filsafat telah usai dan tugas itu diemban Al-Farabi sebagai guru kedua. Al-Farabi berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya hanya satu, yaitu sama-sama mencari kebenaran yang satu, karena tujuan filsafat ialah memikirkan kebenaran, sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya. Kalaupun berbeda, hanya pada lahirnya. Upayanya ini terealisasi ketika ia mendamaikan pemikiran Aristoteles dengan Plato dalam bukunya yang populer al-Jam’ bain al-Ra’yai al-Hakimain, dan antara filasafat dan agama. 
Sebagaimana filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan ini memungkinkan karena didukung oleh ketekunan dan kerajinanya serta ketajaman otaknya. 
Dalam makalah ini membahas pemikiran-pemikiran Al-Farabi tentang teori emanasi, filsafat jiwa, filsafat kenabian dan filsafat politik.




PEMBAHASAN


A. Biografi singkat Al-Farabi

Al-Farabi mempunyai nama lain Abu Nashr Ibnu Audagh Ibnu Thorhan Al-Farabi. Sebenarnya nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H (870 M). Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar. Pokok-pokok pemikiran Al Farabi yang lain, yaitu : logika, filsafat, metafisika, hakikat dan sifat Tuhan, etika serta politik. 
Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun. 

B. Teori Emanasi

Dalam falsafah ini, Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang satu. Tuhan bersifat Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat Tuhan, bagaimana alam materi ini dari yang Maha Satu? Menurut Al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi. Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud”. 
Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana cara terjadinya emanasi tersebut? Seperti halnya Plotinus, Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Karena itu, yang keluar dari-Nya juga satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap zat-Nya yang satu. Dasar adanya emanasi tersebut adalah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya. 
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal pertama yang mengandung dua segi yaitu :
1) Segi hakikatnya sendiri, yaitu wujud yang mungkin
2) Segi lain, yang wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan, sebagi zat yang menjadikan.
Jadi meskipun akal pertama tersebut satu (tunggal) namun pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi-segi lain, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.
Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui Tuhan, maka keluarlah Akal kedua. Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang mungkin dan mengetahui dirinya, maka timbullah langit pertama atau benda langit dan jiwanya.
Dari Akal kedua, timbullah Akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap beserta jiwanya, dengan cara yang sama seperti terjadi pada akal pertama.
Dari Akal ketiga, keluarlah Akal keempat dan planet Saturnus, juga beserta jiwanya. Dari Akal keempat, keluarlah Akal kelima dan planet Yupiter beserta jiwanya.
Dari Akal kelima keluarlah Akal keenam dan planet Mars beserta jiwanya.
Dari Akal ke keenam keluarlah Akal ketujuh dan matahari beserta jiwanya.
Dari Akal ketujuh keluarlah Akal kedelapan dan planet Venus juga beserta jiwanya.
Dari Akal kedelapan keluarlah Akal kesembilan dan planet Merkurius beserta jiwanya pula.
Dari Akal kesembilan keluarlah Akal kesepuluh dan bulan.
Dengan demikian, maka dari satu akal keluarlah satu akal dan planet beserta jiwanya. 
Dari Akal kesepuluh, sesudah dengan dua seginya, yaitu wajibul wujud karena Tuhan, maka keluarlah manusia beserta jiwanya. 
Mengapa jumlah akal dibatasi sampai sepuluh? Jumlah akal dibatasi pada bilangan sepuluh, ini disesuaikan dengan bintang yang berjumlah sembilan, untuk tiap-tiap ¬akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai satu planet ketika keluar dari Tuhan.
Teori Emanasi Al Farabi saat itu dipengaruhi oleh temuan saintis pada saat itu jumlah bintang adalah sembilan, karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian Al-Farabi menambah dua lagi yaitu benda yang terjauh dan bintang-bintang tetap, yang diambil dari Ptolomey (atau Cladius Ptolomazus) seorang ahli astronomi dan ahli bumi Mesir, yang hidup pada pertengahan abad ke dua Masehi. 

C. Filsafat Jiwa

Jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari Akal Kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagi form bagi jasad. Masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. 
Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut.
a) Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang
b) Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
c) Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkat berikut.
1. Akal Potensial (al-Hayulany), ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
2. Akal Aktual (al-Aql bi al-fi’il), akal yang telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi telah dalam bentuk aktual.
3. Akal Mustafad (al-‘Aql al-Mustafad), akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan Akal Kesepuluh.
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan dengan filsafat Negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada Negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini, menurut Al-Farabi, akan kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada hegara fasiqah, yakni jiwa yang kenal Allah, tetapi ia tidak melaksanakan segala perintah Allah, ia kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sementara itu, jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni jiwa yang tidak kenal sama sekali dengan Allah dan tidak pula pernah melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan. 

D. Filsafat Kenabian

Filsafat kenabian Al-Farabi erat kaitannya antara nabi dan filosof dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan Akal Fa’al. Motif lahirnya filsafat Al-Farabi ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ahmad ibnu Ishaq Al-Ruwandi (w.akhir abad III H). Tokoh yang berkebangsaan Yahudi ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad Saw. Khususnya. Kritiknya ini dapat dideskripsikan sebagai berikut.
a. Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima seruhan dan larangan-Nya.
b. Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya thawaf di Ka’bah, dan sa’i di Bukit Safa dan Marwa dengan tempat-tempat lain.
c. Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa bertasbih dan serigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang Badr dan mengapa dalam perang Uhud tidak?
d. Alquran bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (al-khariq al-‘adat). Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah Alquran, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah kabilah yang paling pasahah di kalangan Arab.
Justru itulah, daripada membaca kitab suci, lebih berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku astronomi, logika, dan obat-obatan. 
Dikarenakan oleh suasana tersebut, Al-Farabi merasa harus menjawab tantangan dari Ahmad ibnu Ishaq Al-Ruwandi, apalagi Al-Farabi segenerasi dengannya, karena kenabian adalah asas sentral dalam agama, apabila ia telah batal, maka membawa kebatalan pada agama itu sendiri. Selain Ahmad ibnu Ishaq Al-Ruwandi, ada lagi seorang tokoh filsafat yang sependapat menolak masalah kenabian yaitu Ar-Razi. 
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan Akal Fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapat mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi. 
Filsafat kenabian al-Farabi berkaitan erat dengan daya-daya jiwa manusia yang terbagi dalam lima tahap yaitu :
- Pertumbuhan (memungkinkan manusia untuk tumbuh), 
- Penginderaan (memungkinkan manusia menerima rangsangan, seperti panas, dingin, mendegar, mengecap dan lain-lain), 
- Bernafsu (memungkinkan manusia untuk merasakan suka atau tidak suka terhadap sesuatu), 
- Mengkhayal (memungkinkan manusia untuk memperoleh kesan dari hal-hal yang dirasakan setelah objek tersebut lenyap dari jangkauan indera, menggabungkan atau memisahkan seluruh kesan-kesan yang ada sehingga menghasilkan kombinasi yang beraneka ragam, dan hasilnya bisa benar, atau tidak)
- Berpikir (memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan yang mulia dari yang hina serta menguasai ilmu). Menurutnya, manusia memperoleh pengetahuan dari daya mengindera, mengkhayal dan berfikir. Ketiga daya ini merujuk pada kedirian manusia yaitu jism, nafs, dan aql. Daya mengindera merujuk pada indera eksternal sedang daya mengkhayal dan berfikir disebut dengan indera internal. 
Daya mengindera hanya dapat mengetahui dunia eksternal, yaitu materiil. Penginderaan tidak dapat mencapai objek setelah materinya tidak ada. Maka, guna mengabstraksi materi agar memperoleh pengertian bentuk-bentuk, manusia membutuhkan daya diatas mengindera, yaitu daya mengkhayal. Untuk menyimpan bentuk-bentuk setelah objek menghilang dari jangkauan penginderaan dilakukan daya representasi, daya estimasi, disimpan dalam daya ingat, daya kompositif (berfungsi menggabungkan citra-citra tertentu dengan citra yang lain atau memilah-milahnya, dalam daya kompositif pada manusia disebut imajinasi rasional dan pada hewan disebut imajinasi sensitif. Jadi daya mengkhayal memiliki lima indera yaitu representasi, estimasi, memori, imajinasi rasional, dan imajinasi sensitif. 
Setelah daya mengkhayal, manusia untuk memperoleh pengetahuan memiliki daya berfikir untuk memahami. Daya pikir ini menurut Al-farabi menjadi dua : praktis dan teoretis. Kemampuan berfikir praktis adalah sesuatu yang dimanfaatkan untuk membedakan sedemikian rupa satu sama lain sehingga kita dapat menciptakannya atau mengubahnya menjadi satu kondisi ke kondisi lainnya. Apa yang menjadi persoalannya adalah masalah ketrampilan-ketrampilan, misalnya, pertukangan, pertanian, kedokteran, navigasi (pelayaran). Sedangkan daya pikir teoretis berkaitan dengan bentuk objek intelektual atau yang biasa disebut Al-Farabi dengan istilah ma’qulat. 
Konsep Al-Farabi, manusia bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, namun tentu tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al aql al fa’āl. Melainkan hanya orang yang memiliki jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan fikiran yang banyak, akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan dengan al aql al fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut. 
Jadi ciri khas pertama seorang nabi menurut Al-Farabi, adalah bahwa nabi mempunyai daya imajinasi yang kuat dan memungkingkan ia dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada waktu ia terjaga. Dengan imajinasi tersebut ia dapat menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Tuhan melalui al aql al fa’āl. Selain nabi nabi-nabi ada orang yang kuat daya imajinasinya, tetapi di bawah tingkatan nabi-nabi, dan oleh karena itu tidak dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl (akal ke sepuluh/jibril). 

E. Filsafat Politik

Al-Farabi berpendapat, bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Semua tindakan dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur memelihara tindakan dengan cara yang baik dapat diteliti. 
Kebahagiaan manusia diperoleh karena tindakan dan perbuatan serta cara hidup yang ia jalankan. Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki (sebenarnya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang ini (di dunia ini), tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu al-akhirat. Namun sekarang ini juga ada kebahagiaan yang nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan dan kesenangan yang dapat nampak dan dijadikan pedoman hidup. Kebahagiaan sejati senantiasa dengan suatu tindakan-tindakan yang mulia, kebijakan-kebijakan dan keutamaan-keutamaan. Maka untuk menuju ke arah itu terwujud melalui kepemimpinan yang tegak dan benar-benar. Kepemimpinan tumbuh dari Keahlian dan pembawaan manusia. Hal ini dapat mengarahkan manusia dalam menegakkan nilai-nilai utama dan tindakan-tindakan yang bakal memelihara sebagai kemantapan. Keahlian dapat disebut pemerintahan dan raja. Adapun politik adalah bentuk operasional dari keahlian tersebut. 
Ada dua macam macam problem politik yaitu :
a) Pemerintahan atas dasar penegakan terhadap tindakan-tindakan yang sadar, cara hidup, disposisi positif. Dasar ini dapat dijadikan upaya untuk memperoleh kebahagiaan. Pemerintahan atas dasar demikian disebut pemerintahan utama, dimana sebagai ciri kota-kota dan bangsa-bangsanya tunduk terhadap pemerintahan.
b) Pemerintahan atas dasar penegakan terhadap tindakan-tindakan dan watak-watak dalam rangka mencapai sesuatu yang diperkirakan mendapat suatu kebahagiaan, maka muncul beraneka ragam bentuk pemerintah, apabila yang dikejar kejayaan semata dapat dianggap sebagai pemerintah yang rendah, jika mengejar kehormatan, disebut pemerintahan kehormatan, dan pemerintahan bergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.
Sedangkan dipandang dari kemampuan suatu pemerintahan, ilmu politik terbagi menjadi dua yaitu :
a) Kemampuan dalam melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat universal.
b) Kemampuan yang disebabkan oleh adanya ketekunan dalam aktivitas politik, dengan harapan bisa menjadi kebijaksanaan. 



KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari beberapa uraian tentang pemikiran filsafat Al-Farabi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Teori Emanasi Al Farabi.
Tuhan berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran ini timbul maujud lain. Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu dapat menciptakan sesuatu. Menurut A-Farabi, alam terjadi karena proses Emanasi. Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud”. Tuhan merupakan wujud yang pertama, karena Tuhan berpikir tentang diri-Nya sendiri yang Esa, maka timbullah maujud kedua yang disebut akal pertama yang tidak bersifat materi. Selanjutnya, akal pertama berpikir tentang Tuhan sehingga timbul akal kedua. Akal pertama juga berpikir tentang diri-Nya sehingga terciptalah langit. Akal kedua berpikir tentang Tuhan, timbul akal ketiga, dan berpikir tentang dirinya, maka terciptalah bintang-bintang. Begitu seterusnya hingga sampai pada akal kesepuluh

2. Filsafat Jiwa
Jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut.
a) Daya al-Muharrikat (gerak),
b) Daya al-Mudrikat (mengetahui), 
c) Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkat berikut.
1. Akal Potensial (al-Hayulany) ;
2. Akal Aktual (al-Aql bi al-fi’il) ;
3. Akal Mustafad (al-‘Aql al-Mustafad) 

3. Filasafat Kenabian
Manusia dapat berhubungan dengan Akal Fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapat mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi. 
Jadi ciri khas pertama seorang nabi menurut Al-Farabi, adalah bahwa nabi mempunyai daya imajinasi yang kuat dan memungkingkan ia dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada waktu ia terjaga. Dengan imajinasi tersebut ia dapat menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar.

4. Filsafat Politik
Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki (sebenarnya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang ini (di dunia ini), tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu al-akhirat. Kebahagiaan sejati senantiasa dengan suatu tindakan-tindakan yang mulia, kebijakan-kebijakan dan keutamaan-keutamaan. Maka untuk menuju ke arah itu terwujud melalui kepemimpinan yang tegak dan benar-benar. Maka suatu pemerintahan bergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.

Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa Al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama membawa pemikiran filsafat secara lebih dalam. Ia mendirikan tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu, karena didukung oleh ketekunan dan kerajinanya serta ketajaman otaknya. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam. Manusia dapat berfikir atas kejadian-kejadian yang ada, dan hanya Allah SWT yang tahu akan kebenaran atas kekuasaan-Nya.



DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi, M.A, Pengantar Filsafat Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1981
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern, Pustaka Pesantren, 2004
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Drs, H, Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, cet.1, 1997
Drs. H. Musa Asya’arie, Filasafat Islam, Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, Lesfi, Yogya, 1992
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1983


Tidak ada komentar:

Posting Komentar