Senin, 08 November 2010


ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA TAKSONOMI BLOOM DAN KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(Oleh : Dedi Hendra, Ab)
A. Konsep Taksonomi Bloom
1. Pengertian
Taksonomi berasal dari bahasa Yunani tassein berarti untuk mengklasifikasi dan nomos yang berarti aturan. Taksonomi berarti klasifikasi berhirarkhi dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Semua hal yang bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian- sampai pada kemampuan berpikir dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi (http://en.wikipedia.org/wiki/Bloom%27s_Taxonomy).
Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh Benjamin Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan. Konsep ini mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
2. Tujuan Pendidikan Taksonomi Bloom
Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.[1]
Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain,[2] yaitu :
  1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
  2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
  3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu: cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, dan pengamalan.
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.
B. Konsep Pendidikan dalam Perspektif Islam
1. Dalil Al-Qur’an
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ {125}
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Berdasarkan ayat diatas kita mendapatkan tiga konsep dasar yang menjadi pedoman dalam dalam melakukan pendidikan, dengan kata lain pendidikan dituntut untuk bisa mencapai kepada tiga aspek tersebut, guna untuk mendapatkan hasil pendidikan yang sesuai dengan harapan.
1. Al-Hikmah
Kata  الحكمةberasal dari bahasa arab, dari wazan  حكم yang mempunyai arti  صار حكيما (Menjadi seorang Hakim) .[3] kata Al-hikmah juga bisa berarti العلم  (pengetahuan), keadilan, falsafah, kebijaksanaan, dan uraian yang benar [4]. Al-hikmah berarti mengajak kepada jalan Allah dengan cara keadilan dan kebijaksanaan, selalu mempertimbangkan berbagai faktor dalam proses belajar mengajar, baik faktor subjek, obyek, sarana, media dan lingkungan pengajaran. Pertimbangan pemilihan metode dengan memperhatikan audiens atau peserta didik diperlukan kearifan agar tujuan pembelajaran tercapai dengan maksimal. Imam Al-Qurtubi menafsirkan Al-hikmah dengan “kalimat yang lemah lembut”. Beliau menulis dalam tafsirnya :
وأمره أن يدعو إلى دين الله وشرعه بتلطف ولين دون مخاشنة وتعنيف, وهكذا ينبغي أن يوعظالمسلمون إلى يوم القيامة[5]
Artinya : Nabi diperintahkan untuk mengajak umat manusia kepada “dienullah” dan syariatnya dengan lemah lembut tidak dengan sikap bermusuhan. Hal ini berlaku kepada kaum muslimin seterusnya sebagai pedoman untuk berdakwah dan seluruh aspek penyampaian termasuk di dalamnya proses pembelajaran dan pengajaran. Hal ini diinspirasikan dari ayat Al-Qur’an dengan kalimat “qaulan layinan”. Allah berfirman :

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan lancar manakala ada interaksi yang kondusif antara guru dan peserta didik. Komunikasi yang arif dan bijaksana memberikan kesan mendalam kepada para siswa sehingga “teacher oriented” akan berubah menjadi “student oriented”. Guru yang bijaksana akan selalu memberikan peluang dan kesempatan kapada siswanya untuk berkembang.
Al-Hikmah dalam tafsir At-Thobari adalah menyampaikan sesuatu yang telah diwahyukan kepada nabi, dan Ath-Thobari menguraikan :
[6]يقول بوحى الله الذى يوحيه اليك, وكتابه الذى نزله عليك  بالحكمة
Hal ini hampir senada dengan Mustafa Al-Maroghi bahwa Al-Hikmah cenderung diartikan sebagai sesuatu yang diwahyukan. [7] Demikian pula dalam tafsir Al-Jalalain Al-hikmah diartikan dengan Al-Qura’nul kariem sebagai sesuatu yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. An-Naisaburi menegaskan bahwa yang dimaksud Al-hikmah adalah tanda atau metode yang mengandung argumentasi yang kuat (Qoth’i) sehingga bermanfaat bagi keyakinan. Beliau menulis :
بالحكمة ) اشارة الى استعمال الحجج القطعية المفيدة لليقين[8])
Nampak dengan gamblang sebenarnya yang dimaksud adalah sebuah metode penyampaian ilmu (transfer of knowlead ) dengan lemah lembut, tetapi juga tegas dengan mengunakan alasan-dalil dan argumentasi yang kuat sehingga dengan proses ini para peserta didik memiliki keyakinan dan kemantapan dalam menerima materi pelajaran serta memiliki pengetahuan yang bermanfaat dan berharga bagi dirinya, serta merasa memperoleh ilmu yang berkesan dan selalu teringat sampai masa yang akan datang.
2. Mauidzah Hasanah
Mauidzah Hasanah terdiri dari dua kata “al-Mauidzah dan Hasanah”. Al-mauidzah dalam tinjauan etimologi berarti “pitutur, wejangan, pengajaran, pendidikan, sedangkan hasanah berarti baik. Bila dua kata ini digabungkan bermakna pengajaran yang baik. Ibnu Katsir menafsirkan Al-mauidzah Hasanah sebagai pemberian peringatan kepada manusia, mencegah dan menjauhi larangan sehingga dengan proses ini mereka akan mengingat kepada Allah. Ibnu Katsir menulis sebagai berikut :
والموعظة الحسنة أي بما فيه من الزواجر والوقائع بالناس ذكرهم بها ليحذروا بأس الله تعالى[9]
At-Thobari mengartikan mauidzah hasanah dengan “Al-ibr al-jamilah” yaitu perumpamaan yang indah berasal dari kitab Allah sebagai hujjah, argumentasi dalam proses penyampaian.[10] Pengajaran yang baik mengandung nilai-nilai kebermanfaatan bagi kehidupan para siswa. Mauidzah hasanah sebagai prinsip dasar melekat pada setiap da’i (guru, ustadz, mubaligh) sehingga penyampaian kepada para siswa lebih berkesan. Siswa tidak merasa digurui walaupun sebenarnya sedang terjadi penstransferan nilai.
Al-Imam Jalaludin Asy-Syuyuti dan Jalaludin Mahali mengidentikan kata “Al-Mauidah” itu dengan kalimat مواعظه أو القول الرقيق artinya perkataan yang lembut [11]. Pengajaran yang baik berarti disampaikan melalui perkataan yang lembut diikuti dengan perilaku hasanah sehinga kalimat tersebut bermakna lemah lembut baik lagi baik.
Dengan melalui prinsip mauidzoh hasanah dapat memberikan pendidikan yang menyentuh, meresap dalam kalbu sehingga seorang peserta didik tidah hanya memiliki kecerdasan otak akan tetapi juga memilki kecerdasan spiritual.
3. Mujadalah
Kata mujadalah berasal dari kata “jaddala” yang makna awalnya percekcokan dan perdebatan[12]. Kalimat “jaddala” ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya dalam surat Al-Kahhfi ayat 54 (وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلً), dalam surat Az-Zukhruf ayat : 56, (َقَالُوا أَآلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ). Kalimat “jadala” dengan berbagai variasinya juga bertebaran dalam Al-Qur’an, seperti pada surat (2:197), (4:107,109), (6:25, 121), ( 7 : 71), ( 11:32,74), (13:13), (18:54,56(, (22:8,68), Bahkan ada surat yang bernama “Al-Mujaadilah” (perempuan-perempuan yang mengadakan gugatan) Mujadalah dalam konteks dakwah dan pendidikan diartikan dengan dialog atau diskusi sebagai kata “ameliorative” berbantah-bantahan. Mujadalah berarti menggunakan metode diskusi ilmiyah (ketrampilan)yang baik dengan cara lemah lembut serta diiringi dengan wajah penuh persahabatan sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah SWT[13].
Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirmya bahwa mujadalah ini adalah cara penyampaian melalui diskusi dengan wajah yang baik kalimat lemah lembut dalam berbicara, yang seperti firman  Allah:

إلى فرعون في قوله “فقولا له قولا ولا تجادلوا أهل الكتاب إلا بالتي هي أحسن إلا الذين ظلموا منهم” الآية
فأمره تعالى بلين الجانب كما أمر به موسى وهارون عليهما السلام حين بعثهما لينا لعله يتذكر أو يخشى[14]
           
Metode penyampaian ini dicontohkan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ketika berdialog-diskusi dan berbantahan dengan Fir’aun. Sedangkan hasil akhirnya dikembalikan kepada Allah SWT. Sebab hanya Allahlah yang mengetahui orang tersebut mendapat petunjuk atau tidak.
Metode diskusi yaitu cara penyampaian bahan pelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bisa memiliki ketrampilan dalam membicarakan, menganalisa guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternative pemecahan masalah. Dalam kajian metode mengajar disebut metode “hiwar” (dialog). Diskusi memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para siswa untuk mengeksplor pengetahuan yang dimilikinya kemudian dipadukan dengan pendapat siswa lain. Satu sisi mendewasakan pemikiran, menghormati pendapat orang lain, sadar bahwa ada pandapat di luar pendapatnya dan disisi lain siswa merasa dihargai sebagai individu yang memiliki potensi, kemampuan dan bakat bawaannya.
2. Tujuan Pendidikan Islam [15]
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan dalam Al-quran (Islam) ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat az- Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.

3. ANALISIS
Dari hasil analisa perbandingan tentang konsep tujuan pendidikan dalam Al-Quran dengan Taksonomi Bloom, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan tentang konsep tujuan pendidikan tersebut, yang meliputi :
1. Proses pendidikan itu itu harus dengan “Al-Hikmah” dalam arti seorang pendidik harus memiliki ilmu yang mempuni untuk diajarkan kepada anak didiknya serta bijaksana dalam melakukan proses pendidikan itu sendiri demi untuk terpenuhinya kebutuhan kognitif peserta didik tersebut.
2. Seorang pendidik harus memilki sifat yang baik dan lembut (Mauidzah Hasanah), serta dalam proses belajar mengajar harus senantiasa melalui pendekatan psikologis guna untuk implementasi terhadap peserta didik dalam menumbuhkan kecerdasan Afektifnya.
3. Dalam proses belajar mengajar seorang guru harus memiliki kreatifitas serta keahlian, yang dapat disalurkan kepada anak didiknya guna untuk menumbuh kembangkan potensi yang dimilki oleh seorang anak dalam mengembangkan kreatifitasnya (Psikomotorik). Misalnya dengan cara ; diskusi (Mujadalah) dan lainnya.
4. Teori Taksonomi Bloom yang diusung oleh Barat tersebut ternyata telah terlebih dulu di ungkapkan dalam Al-quran, dan pantas teori ini di diklaim sebagai Teori Timur(Islam).







[1]. http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom

[2]. Ibid
[3]. Al-munjid fi al-Lughah wa al-A’lam,Al-Maktabah As-Syarqiyyah Dar al-Masyriq,Beirut.Cet ke 41,Thn.2005.hal:726. Pendapat ini penulis ambil dengan maksud bahwa, antara lughah dan kalimat terdapat kesamaan dalam arti dan tujuan penekanan makna sebagaimana yang akan diterangkan selanjutnya dalam pengertian bahasa arab.
[4]. Husen Al-Habsy, Kamus Arab Lengkap, ( Bangil : YAPPI, 1989), hlm. 64
[5]. Imam Al-Qurtubi., Loc.,Cit,.
[6]. Ja’far Muhmaad ibn Jarir Ath-Thobarii, Tafsir Ath-Thobari ; Jami’ul Bayan Ta’wilul Qur’an, ( Bairut-Libanon : Darul kutubul Ilmiuah, 1996), hlm. 663.
[7]. Al-Mustofa Al-Maroghi, Loc.Cit,
[8] An-Naisaburi, Tafsir Ghoroibil Qur’an wa roghoibil Furqon, ( Bairut-Libanon : Darul kutubul Ilmiuah, 1996), hlm. 316
[9]. Ibnu Katisr., Loc., Cit.
[10] Ath-Thobari, Loc. Ci
[11] Jalaludin Asy-Syuyuti dan Jalaluddin Mahalli, Loc., Cit.
[12] Husen Al-HAbsyi., Op.Cit., hlm. 43
[13]. Imam Al-Baidhowi, Tafsir Al-Baidhowi ; Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil ( Bairut-Libanon : Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1408 H/1988M), hlm. 571. Nama lengkap Al-Imam Al-Baidwowi adalah Nashiruddin Abi said Ibn Umar Muhammad ASy-yaeroji Al-Baidhowi
[14]. Ibnu Katsir., Loc.,Cit.
[15]. Ahmad Tafsir., Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam., PT. Remaja Rosdakarya., Bandung, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar