Pekan II
Asal-Mula Filsafat
4. Filsafat Melalui Demitologisasi Metafisis
Setelah kita amati pada Pekan I bahwa filsafat lahir dari
mitos, kita sekarang harus mengakui bahwa mitos begitu saja bukanlah
filsafat. Jalan yang mengarah dari mitos menuju ilmu, melalui sastra
dan filsafat, justru bisa disebut "demitologisasi". Istilah
ini mengacu pada proses pengambilan "mitos" (dalam pengertian modern
sebagai "keyakinan yang keliru") keluar dari mitos--yaitu
mempertanyakan keyakinan-keyakinan kita yang tak tertanyakan dengan harapan
mengubahnya menjadi ungkapan kebenaran yang lebih andal. Jadi, sebagai misal,
ketika saya menyarankan dalam kuliah yang lalu bahwa kita semua harus mengakui
"pohon filsafat" sebagai mitos untuk kuliah-kuliah ini, kita sebenarnya
tidak berfilsafat. Alih-alih, kita menyiapkan landasan untuk menanam pohon itu
sendiri. Sesudah anda menyudahi matakuliah ini, saya harap anda
masing-masing akan menyediakan waktu secara serius untuk bukan hanya
mempertanyakan mitos, melainkan juga mempertanyakan analogi (puitis) bahwa
"filsafat itu laksana pohon". Namun jika anda buru-buru
mempertanyakan prakiraan ini di sini, akan anda dapati bahwa landasan benak
anda terlalu payah untuk menerima wawasan yang bisa diilhamkan oleh mitos ini
kepada kita.
Salah satu wawasan tersebut adalah bahwa, sebagaimana
pohon merupakan organik lengkap yang terdiri atas empat bagian utama (akar,
batang, cabang, daun), banyak juga, kalau bukan sebagian besar, ide filosofis
yang diorganisasikan menurut pola seperti itu. Kita telah melihat beberapa pola
tersebut di Pekan Pertama. Namun sebelum kita mengamati beberapa contoh
bagaimana demitologisasi berjalan di Yunani kuno, saya akan menunjukkan
beberapa pola lipat-empat menarik lainnya.
Jika pola "mitos, sastra, filsafat, ilmu" diakui
sebagai paparan perkembangan cara pikir manusia pada skala makrokosmik
(yakni budaya manusia), maka
kita jangan terkejut mendapati pola serupa yang berjalan pada skala mikrokosmik
(yakni individu manusia).
Salah satu cara umum terpenting pemaparan tahap-tahap perkembangan individu
adalah mengacu pada "lahir, muda, dewasa, dan tua". Dengan
mengkorelasikan masing-masing itu dengan tingkat kesadaran yang secara
progresif lebih tinggi, muncullah pola yang tampak pada Gambar II.1.
Sebagaimana perkembangan dari lahir sampai muda bertepatan dengan pembangkitan
benak bawah-sadar (unconscious) anak-anak, maka perkembangan dari muda
sampai dewasa pun memerlukan penajaman kesadaran (consciousness)
secara bertahap, sampai timbul keinsafan khas akan diri sendiri. Adapun
orang yang sadar-diri (self-conscious) yang perkembangannya tidak
terselangi akhirnya masuk ke suatu tahap baru yang, karena ingin istilah yang
lebih baik, bisa kita sebut super-sadar (super-conscious). Kealiman para orang tua diakui pada
semua masyarakat tradisional terutama bukan karena banyaknya tahun-tahun yang
mereka alami, melainkan karena cara pikir baru yang terbuka bagi mereka; bila
mereka mengambil keuntungan darinya, mereka bisa memandang implikasi yang lebih
luas dari hal-hal di luar mereka sendiri.
lahir
super-sadar bawah-sadar
tua muda
sadar-diri sadar
dewasa
Kealiman
mereka yang dihasilkan pada "tahun-tahun keemasan" mereka itu
mengandung banyak kemiripan dengan jalan hidup orang-orang yang dalam imajinasi
kita hidup di suatu "masa keemasan"
yang padanya banyak budaya menengok ke belakang (Lihat Kuliah 3). Sekalipun
demikian, yang terakhir ini tidak bersesuaian dengan masa tua, tetapi dengan
pengalaman bayi pralahir di rahim ibunya. Pemetaan kaitan-kaitan ini pada suatu
lingkaran menyiratkan dengan tepat sifat melingkar perkembangan yang kita
pertimbangkan di sini: kesupersadaran bisa juga meliputi penangkapan kembali
sesuatu yang hilang pada saat kelahiran seseorang--suatu gagasan yang
dipertahankan oleh Plato sebagaimana yang akan kita amati di Kuliah 5.
Setiap tahap ini bisa juga berkorelasi dengan daya
atau "fakultas" benak insani tertentu, seperti terlihat dalam Gambar
II.2. Imajinasi merupakan daya yang mengatur tahun-tahun pertama
kehidupan kita, laksana mitos yang mengatur pemikiran orang-orang yang hidup di
budaya primitif. Sebagaimana semua orang tahu, perbedaan antara fantasi dan
realitas tidak berbeda dalam benak anak-anak sejati. Namun pada remaja, daya
ini diambil alih oleh gelora jiwa
(passion): dengan berubahnya raga pada masa pubertas, benak pun mengubah
cara mengadaptasi alam. Pujangga digerakkan oleh gelora jiwa untuk dengan
kata-kata mengungkap sesuatu yang pada masa kanak-kanak hanya merupakan impian.
Sebaliknya, para filsuf biasanya dikenal bukan karena gelora jiwa mereka. Ini
karena daya yang cocok dengan budi-diri dewasa adalah daya pemahaman. Daya ini, bila berkembang sepenuhnya, beralih menjadi
daya penimbangan. Tugas para ilmuwan
adalah melampaui sudut pandang mereka sendiri dengan tujuan menimbang-nimbang
bagaimana alam pada kenyataannya. Demikian juga, orang-orang yang betul-betul
pantas disebut "tua" ialah mereka yang benaknya diatur terutama oleh
daya penimbangan ini.
lahir
(mitos)
penimbangan imajinasi
tua muda
(ilmu) (sastra)
pemahaman gelora jiwa
dewasa
(filsafat)
Dengan menentukan arah pengungkapan daya-daya ini,
pemahaman kita menjadi lebih lengkap mengenai kesalingterkaitan antara ide-ide
itu. Mitos menggunakan imajinasi untuk mengungkap keyakinan. Sastra
memakai gelora jiwa untuk mengungkap keindahan. Filsafat memanfaatkan
pemahaman untuk mengungkap kebenaran, sedangkan ilmu (science)
menerapkan penimbangan untuk mengungkap pengetahuan. Kita bisa melambangkan tujuan-tujuan
terdalam itu dengan memetakannya pada suatu bujur-sangkar yang mencakup
lingkaran yang tersaji di Gambar II.2, sebagaimana terlihat pada Gambar di
bawah ini:
pengetahuan keyakinan
lahir
(mitos)
penimbangan imajinasi
tua muda
(ilmu) (sastra)
pemahaman gelora jiwa
dewasa
(filsafat)
kebenaran keindahan
Saya telah memanfaatkan waktu untuk menunjukkan pola-pola
itu kepada anda bukan hanya karena saya pikir pola-pola tersebut secara
intrinsik menarik, melainkan juga karena pola-pola itu akan membantu kita dalam
menempatkan filsafat pada konteksnya yang tepat. Semakin baik pemahaman anda
tentang konteksnya, semakin kokoh akar-akar "pohon"
filosofis pribadi anda sendiri.[i][1] Diagram-diagram pada Gambar II.1-3 ini
menggambarkan pola-pola logis, sehingga implikasi-implikasinya tidak
akan menjadi jelas sebelum kita mengkaji logika pada bagian-kedua matakuliah
ini (terutama Pekan V). Bagaimanapun, dalam hal ini melihat secara singkat
asal-usul logika itu sendiri ada gunanya, karena penerapan logika secara tepat
diperlukan supaya demitologisasi berlangsung.
Kata "logika" berasal dari kata Yunani logos,
yang bermakna "kata"--yang meliputi kata yang terucap
("pidato"), kata yang tertulis ("buku"), dan kata yang
terpikir ("akal"). Namun di Yunani Kuno, logos kadang-kadang
juga dipakai untuk menunjuk sesuatu yang bisa kita sebut makna yang
tersembunyi di dalam mitos. Dalam pengertian ini, logos suatu
benda merupakan tujuan akhir atau sifat hakikinya. Inilah kata yang digunakan
dalam Bibel ketika, sebagai misal, Injil Yohanes bermula dengan pernyataan:
"In the beginning was the logos, and the logos was with God, and the
logos was God." Orang yang
hidup dengan bermitos mengalami logos ini langsung dari sumbernya, dan
dengan demikian tidak perlu menjelaskannya. Pujangga ialah yang mula-mula
mengakui perlunya penggunaan kata-kata untuk
mengungkap gelora jiwa; dengan kata-kata, pengalaman logos mengisi jiwa seseorang. Para filsuf berupaya memahami
logos dengan cara sedemikian
rupa untuk memisahkan kebenaran dari khayalan. Adapun ilmuwan melalaikan
logos sepenuhnya dalam
penelusuran fakta-fakta konkret yang bisa dikelola. "Pelalaian" ini
merupakan sumber masalah kenirmaknawian atau "keterasingan" modern
dan sedikit-banyak akan kita perhatikan nanti (lihat sebagai misal, Kuliah 18).
Proses pergeseran dari pengalaman logos yang
mendalam ke suatu keadaan yang melupakan kehadirannya merupakan proses
demitologisasi. Dalam pengertian tertentu, pelalaian logos merupakan
malapetaka bagi umat manusia. Namun dalam pengertian lain, sebagaimana yang
hendak kita amati pada Kuliah 9, pelalaian seperti itu (atau paling tidak, pengabaian)
merupakan syarat-perlu supaya timbul pengetahuan. Sains mensyaratkan bahwa kita
melupakan logos yang tersembunyi karena pengetahuan faktual hanya
mengakui hal-hal yang terungkap secara terbuka. Sesungguhnya, kesulitan yang
kita hadapi dalam berpikir sehubungan dengan logos itu muncul sebagai
akibat langsung dari fakta bahwa kita hidup di suatu zaman yang didominasi oleh
pandangan dunia ilmiah, yang tidak memberi tempat sama sekali bagi logos.
Sekalipun begitu, selalu ada kemungkinan untuk kembali lagi ke tahap mitos,
termasuk sesudah pelalaiannya dalam proses pemerolehan pengetahuan. Salah satu
cara terbaik untuk membangkitkan kembali memori mengenai kenyataan yang
terlupakan itu adalah memelihara pohon filsafat di dalam diri kita sendiri.
Para pelaku demitologisasi yang terawal di Yunani Kuno
ialah para filsuf yang hidup pada jangka waktu antara Thales dan Aristoteles
(lihat Gambar I.5). Dengan dua pengecualian penting (yang akan dibahas pada
kuliah mendatang), para filsuf itu diacu sebagai filsuf-filsuf
"prasokrates" karena mereka hidup sebelum masa seorang filsuf yang
sangat berpengaruh yang bernama Sokrates. Salah satu kepedulian utama filsuf
"prasokrates" adalah memerikan hakikat "realitas terdalam"
(ultimate reality). Inilah, sebagaimana yang saya sebut pada Kuliah 1,
tugas utama bagian filsafat yang kini kita sebut "metafisika". Di
antara para pelaku demitologisasi terawal ini terdapat empat orang yang
pandangannya pantas mendapat sebutan istimewa. Masing-masing berkenaan dengan
salah satu dari empat "anasir" tradisional (atau sesuatu yang
menyerupainya) karena betul-betul merupakan realitas terdalam. Thales sendiri
berpendapat bahwa segala sesuatu pada akhirnya bisa dijadikan air.
Anaximenes (kira-kira 585-528 S.M.) membantah dengan mengklaim bahwa anasir
yang paling dasar itu sebenarnya udara. Tak lama sesudah itu,
Heraklitus (karyanya kira-kira muncul pada 500-480 S.M.), yang memiliki gagasan
yang menarik mengenai logika lawanan (lihat Kuliah 12), menyarankan agar api
merupakan anasir yang paling tepat untuk memaparkan kompleks-bangunan
metafisis dasar. Akhirnya, Demokritus (kira-kira 460-371 S.M.), yang namanya
sangat mirip dengan suatu ideologi politik modern populer, membela kondisi "atomisme"
terawal, yang memandang anasir dasar sebagai "yang-berada" (being
atau what is) saja. Dengan
kata ini ia memaksudkannya sebagai sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang kita
maksudkan sebagai "zat atau bahan" (matter), yang pada garis besarnya sekurang-kurangnya menyiratkan
kecocokan dengan anasir bumi, karena bumi itu mengacu bukan pada tanah
belaka, melainkan pada semua zat padat. Karenanya, empat pandangan metafisis
tadi bisa dipetakan pada salib sederhana, sebagai berikut:
api
(Heraklitus)
bumi air
(Demokritus) (Thales)
udara
(Anaximenes)
Sebagaimana siratan diagram ini, yang terbaik dari
jawaban-jawaban awal terhadap pertanyaan tentang kenyataan hakiki dikemukakan
oleh Anaximander (kira-kira 610-546 S.M.), yang berpendapat bahwa di antara
empat anasir tersebut tidak ada yang bisa diakui dengan tepat sebagai
unsur dasar, karena anasir tersebut saling berlawanan (seperti basah dan
kering, panas dan dingin). Jika satu unsur itu "tanpa tapal batas",
maka ini akan merontokkan semua anasir lainnya. Ia berpendapat, sebagaimana
yang ditunjukkan di sini, bahwa di pusat salib tersebut, pengakuan kebutuhan
atas keempat anasir itu harus dianut bersamaan dengan keseimbangan yang
kreatif. Pandangan ini dikembangkan lebih lanjut oleh Empedokles (kira-kira
495-435 S.M.), yang mengakui keempat anasir tersebut sebagai
realitas-realitas dasar, yang menjelaskan keseimbangannya karena dianut
bersama-sama dengan daya yang berlawanan antara "cinta" (philia)
dan "cekcok" (neikos).
Mana pun jawaban yang kita kira terbaik terhadap
pertanyaan tadi, kita harus berhati-hati bila mengakui suatu unsur yang mana
saja sebagai sesuatu yang memberi penjelasan tentang hakikat dunia fisik,
karena kata "metafisika" berarti "sesudah" atau
"melampaui" fisika (yakni "alam"). Jadi, kita harus
berhati-hati supaya tidak mengira bahwa para filsuf tadi berpendapat bahwa segala
sesuatu di bumi memang benar-benar terbuat dari (sebagai misal) api. Tentu saja
itu tidak benar, kecuali jika kita dahulu kala telah membakar semua benda!
Lagipula, penjelasan semacam itu merupakan tugas ilmu, bukan tugas filsafat.
Alih-alih, kita harus menganggap teori-teori para filsuf tadi sebagai upaya
terawal untuk mengungkap kebenaran tunggal yang tidak dapat diperkecil lagi
yang terletak di balik berbagai wujud pengalaman kita sehari-hari. Dengan kata
lain, mereka berusaha untuk memahami makna-tersembunyi khazanah mitologis
mereka sendiri dari suatu posisi di luar mitos itu sendiri. Hasilnya
adalah penjelasan yang sekarang ini kita sebut sebagai penjelasan
"simbolik" mengenai bagaimana kita bisa memecahkan masalah
metafisika. (Alam simbolisme akan dibahas pada Kuliah 31.) Akan tetapi,
sebagaimana yang akan kita lihat pada jam kuliah mendatang, semua solusi
tersebut menuju kegagalan.
5. Filsafat Sebagai Dialog Rasional
Garis pembagi tebal dalam filsafat Yunani kuno--garis
yang menempatkan para filsuf yang memiliki pandangan yang terlihat jauh dan
asing di satu sisi dan para filsuf yang mempunyai pandangan yang dengan jelas
tampak lebih relevan dengan urusan filosofis kontemporer di sisi lain--terdapat
dalam bentuk seorang filsuf saja yang, sepengetahuan kita, tidak pernah menulis
buku. Filsuf tersebut, Sokrates (470-399 S.M.), memberi penafsiran yang
benar-benar baru mengenai tugas filosofis, yang implikasi penuhnya merentang
sampai duaribu tahun. Kita mengetahui ide dan kehidupan Sokrates terutama melalui
tulisan-tulisan seorang pengikut dekatnya, Plato (427-347 S.M.). Bersama-sama
dengan murid cemerlang Plato, Aristoteles (384-322 S.M.), orang-orang ini
merupakan inti tradisi filsafat Yunani kuno. Meskipun mengingat-ingat kepastian
tahun kehidupan mereka tidak penting, urutan
masa kehidupan mereka perlu diketahui. Ini mengingatkan kita bahwa Sokrates
sudah agak tua manakala ia mempengaruhi Plato muda, dan bahwa ia meninggal
sebelum Aristoteles lahir:
470
Sokrates 399
384 Aristoteles 322
427 Plato 347
Kehidupan Sokrates tidak banyak diketahui. Beberapa
ilmuwan bahkan mempertanyakan apakah sesungguhnya orang tersebut pernah hidup.
Namun demi tujuan kita, kita dapat mengabaikan perdebatan itu karena, walaupun
barangkali tokoh itu hanya rekaan Plato dan orang-orang sezamannya, tokoh
tersebut telah berfungsi sebagai "mitos" yang menuntun perkembangan
filsafat Barat selama lebih dari dua milenium. Sokrates ialah seorang pemikir
sejati yang mempraktekkan ucapannya.
Sekalipun ia orang Athena yang berstatus tinggi, ia kadangkala sudi
menanggalkan kedudukannya di tengah kehidupannya untuk menjalani hidup dengan
"sangat miskin" sebagai seorang filsuf (PA 23b). Selama masa itu ia memanfaatkan waktunya untuk menjelajahi
kota Athena dengan mengajak orang-orang untuk bercakap-cakap tentang berbagai
persoalan. Ia sering bentrok dengan kaum Sofis, para filsuf profesional populer
yang melahirkan "kealiman" mereka (dengan ciri khas, penelitian
secermat-cermatnya tanpa penerapan semestawi sama sekali) demi uang. Kendatipun ia bersikeras bahwa ia bukan guru (33a), terdapat sekelompok pemuda
(salah satunya ialah Plato) yang suka berkerumun mengelilinginya, yang tertarik
untuk belajar seni berfilsafat dengan cara baru itu.
Jalan karir Sokrates yang paling signifikan, sebagaimana
yang dicatat oleh Plato dalam Apology-nya,
bermula ketika kawan lamanya, Chaerefon, bertanya kepada peramal Delfi apakah
ada orang yang lebih alim daripada Sokrates. Tatkala Sokrates mendengar bahwa
dukun tersebut menjawab "tidak", ia merasa dihadapkan dengan suatu
teka-teki yang harus dipecahkan, karena ia yakin [dirinya] tidak pantas disebut
alim. Oleh sebab itu, ia bepergian mewawancarai semua orang yang memiliki
reputasi alim, seperti politisi, pujangga, dan cendekiawan, dengan harapan
belajar dari mereka tentang makna kealiman sejati. Akan tetapi, upaya mereka
untuk menjelaskan "kealiman" mereka sendiri senantiasa patah oleh
pertanyaan Sokrates yang bertubi-tubi. Mereka tak hanya tak mampu memaparkan
dalam hal apa mereka "alim". Sokrates pun di depan umum berupaya
"membuktikan" bahwa sesungguhnya mereka tidak alim. Secara alamiah,
dengan mempertanyakan semua mitos tradisional yang dianut oleh hartawan dan
tokoh di kalangan masyarakatnya, ia mengail musuh banyak sekali! Namun bagi
Sokrates, itu tidak penting karena dengan melakukannya ia bisa menemukan
"bahwa orang-orang yang berreputasi tertinggi [perihal kealiman mereka]
hampir seluruhnya kurang alim, sedangkan kualifikasi kecerdasan-praktis
orang-orang lain yang disangka lebih rendah [justru] jauh lebih baik" (PA 22a).
Akhirnya Sokrates menyimpulkan (PA 23a-b) bahwa peramal itu memang mengetengahkan suatu teka-teki,
tetapi solusinya merupakan sebutir pil pahit bagi orang-orang yang perlu
membela kemuliaan-kemuliaan kealiman manusia demi peran mereka di masyarakat:
[Some people have described] me as a professor of wisdom....
But the truth of the matter ... is pretty certainly this, that real wisdom is
the property of God, and this oracle is his way of telling us that human wisdom
has little or no value. It seems to me that he is not referring literally to
Socrates, but has merely taken my name as an example, as if he would say to us,
The wisest of you men is he who has realized, like Socrates, that in respect of
wisdom he is really worthless.
([Beberapa orang menggambarkan bahwa] saya ialah guru-besar
kealiman.... Namun yang benar ... tentu saja bahwa kealiman sejati merupakan
sifat Tuhan dan bahwa peramal itu bermaksud memberitahu kita bahwa kealiman
manusia tidak atau kurang bernilai. Tampak oleh saya bahwa ia tidak mengacu
pada Sokrates secara harfiah, tetapi hanya mencomot nama saya sebagai contoh,
seakan-akan ia berujar kepada kita, "Yang paling alim di antara kalian
ialah orang yang, seperti Sokrates, mengakui bahwa dalam hal kealiman ia
sebenarnya kurang berharga.")
Memahami implikasi wawasan ini
sangat penting jika kita hendak memahami perkembangan filsafat, dan terutama metafisika, dalam duaribu tahun
sepeninggalnya. Ini karena dalam pernyataan itu Sokrates dengan jelas
menyatakan kriteria pertama untuk menjadi filsuf yang baik: kita harus mengakui kebebalan kita!
Harga yang harus dibayar oleh Sokrates demi wawasan
tersebut adalah nyawanya. Para warganegara yang berpengaruh di Athena
mengajukannya ke sidang pengadilan, menuduh dia "merusak pikiran pemuda
dan memyakini dewa-dewa temuannya sendiri sebagai pengganti dewa-dewa yang
diakui oleh negara" (PA 24b).
Selama pengadilannya, ia membela diri bukan dengan bermohon belas kasih atau
berjanji untuk berperilaku secara lebih beradab, melainkan dengan berpidato
secara terbuka dan tajam di depan para penuduhnya. Ia menjelaskan bagaimana
kehidupan filosofis merupakan kehidupan yang menghargai kematian. Filsuf ialah orang yang mentaati perintah
prasasti pada kuil di Delfi, "Kenalilah
dirimu sendiri". Orang yang tidak menerima tantangan ini berada dalam
situasi yang menyedihkan, mengingat "kehidupan yang tak terperiksa bukan
kehidupan yang berharga" (38a). Memang, Sokrates jelas-jelas menghargai
kehidupan yang berperiksa-diri sebagai kehidupan yang mengabdi kepada Tuhan: meskipun ia sengaja menumbuhkan
keragu-raguan terhadap perkembangan dewa-dewa dalam tradisi Yunani, Sokrates
sendiri menghargai filsafat sebagai kejuruan yang berilham ilahi. Hanya dengan
menghidupkan kehidupan semacam itu manusia bisa berbudi luhur dan juga turut
mengantar masyarakat yang laik:
For I spend all my time going about trying to persuade you,
young and old, to make your first and chief concern not for your bodies nor for
your possessions, but for the highest welfare of your souls ... Wealth does not
bring goodness [i.e., virtue], but goodness brings wealth and every other
blessing, both to the individual and to the state. (30a-b)
(Saya curahkan seluruh waktu saya dengan melakukan upaya
membujuk kalian, pemuda dan orang tua, agar kepedulian pertama dan utama kalian
bukan demi raga kalian atau pun harta kalian, melainkan demi kesejahteraan
tertinggi jiwa kalian ... Kekayaan tidak membawa kebaikan [yakni keluhuran],
tetapi kebaikan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu
maupun bagi negara.) (30a-b)
Pernyataan-pernyataan sedemikian itu tentu saja bagaikan
tamparan di wajah mereka yang ia ceramahi, yaitu orang-orang yang sebagian
besarnya memandang Sokrates selaku (mantan) teman karena ia sendiri pernah
menjadi anggota mahkamah tersebut. Jadi, tidaklah begitu mengejutkan setelah
suara juri dihitung Sokrates divonis mati (sekalipun dengan selisih yang cukup
kecil, 281 lawan 220). Namun menghadapi kekejaman putusan itu, Sokrates
menerimanya dengan ketenangan yang tulus, dengan memprediksi bahwa jumlah orang
yang mau mempersoalkan status quo--yakni
jumlah filsuf--akan meningkat, bukan
menyusut, sebagai akibat dari kematiannya (PA
39c)! Alih-alih menyembunyikan ketakutannya akan kematian, ia dengan tegas
memaparkan bagaimana tugasnya sebagai filsuf telah menjadi tugas pelajaran tentang cara mati. Demikianlah
Apology Plato berakhir (42a) dengan
seruan Sokrates: "Kini saatnya kita pergi, saya menuju kematian dan kalian
menuju kehidupan, tetapi siapa yang akan lebih berbahagia tiada yang tahu
selain Tuhan."
Prediksi Sokrates mengenai pertumbuhan filsafat ternyata
akurat. Segera sesudah kematian Sokrates, tulisan-tulisan Plato menyajikan
gagasan-gagasan inti Sokrates. Sayangnya, filsuf-filsuf
"pascasokrates" terlalu sering enggan untuk mempersoalkan orang-orang
yang memegang kekuasaan di masyarakat. Ini sebagian karena pertalian antara
filsuf dan "negara-kota" tersebut telah banyak berubah sejak masa
Sokrates. Pada masa itu filsafat cenderung diterima sebagai bagian dari status quo, salah satu pokok-persoalan
yang harus dikaji dalam perburuan pendidikan "pribadi utuh" (whole person); yang agak mengejutkan,
perubahan ini bermula dengan Plato sendiri.
Plato menyajikan pandangan filosofisnya dalam bentuk Dialog-Dialog. Buku-buku ini mengubah
kebiasaan Sokrates yang berupa pengajuan pertanyaan yang bertubi-tubi menjadi metode filosofis tertentu. Pada satu
tingkat, sebuah Dialog hanya
merupakan sebuah buku yang merekam percakapan antara pembicara utama--dalam Dialogues, karya tulis Plato, biasanya
Sokrates--dan satu atau lebih tokoh penyerta. Di dalam percakapan itu tokoh
utamanya bertindak selaku "bidan" bagi calon wawasan yang menunggu
untuk "dilahirkan" di benak tokoh-tokoh lain. (Ibu Sokrates kebetulan
berprofesi sebagai bidan.) Dengan kata lain, sebagaimana bidan yang baik
melatih ibu yang hamil supaya si ibu bisa melahirkan bayinya (alih-alih sang
bidan mengeluarkan bayi dari rahim secara paksa), tokoh utamanya pun mengajukan
pertanyaan dan mengemukakan saran yang, sebagaimana adanya, "melatih"
tokoh-tokoh penyerta sedemikian rupa sehingga mereka menemukan simpulan yang
dikehendaki tanpa harus diberitahu.
Namun pada tingkat yang lebih mendalam, kebermaknaan metode baru tersebut
terletak pada dorongannya yang kuat menuju wewenang yang lebih tinggi, yakni akal, sebagai juri yang tepat untuk
segala perdebatan. Sebagaimana terlukis dalam Gambar II.6, dialog itu
dilaksanakan dengan asumsi bahwa wewenang yang lebih tinggi ini, yang sama-sama
dimiliki oleh semua orang, mampu menanamkan pemahaman yang lebih mendalam
tentang realitas terdalam, atau kebenaran.
tokoh utama
akal kebenaran
tokoh penyerta
Plato menggunakan metode dialog, berlandaskan
pemahamannya atas ide-ide Sokrates (walaupun dalam hal-hal tertentu tak pelak
lagi melampaui gagasan-gagasan tersebut), dalam membangun sistem metafisika
pertama yang lengkap dengan nada modern. Filsafatnya, yang menyediakan pola
dasar sistem-sistem metafisika "idealis", terlalu rumit untuk dikaji
secara agak mendalam pada matakuliah pengantar ini. Akan tetapi, dengan
meninjau secara singkat teori-teorinya tentang pengetahuan dan hakikat
manusia, kita akan dapat memperoleh contoh yang baik perihal bagaimana
idealismenya berjalan.
Bagian filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan di
sekitar hakikat dan asal-usul pengetahuan manusia disebut
"Epistemologi" (dari kata Yunani epistemos,
yang berarti "pengetahuan", dan logos,
yang di sini sebaiknya bermakna "studi"). Metafisika dan epistemologi
selalu bergandengan lekat-lekat. Ini karena pemahaman filsuf tentang apa yang pada hakikatnya nyata itu tak
pelak lagi akan mempengaruhi pandangannya tentang bagaimana kita mengetahui hal-hal yang nyata itu, dan
sebaliknya. Oleh sebab itu, hingga akhir kajian kita tentang metafisika, di
setiap pembahasan filsuf baru saya akan mencantumkan paparan epistemologinya.
Epistemologi Plato didasarkan pada asumsinya bahwa
"universa", atau kadang-kadang ia sebut "forma" atau
"idea", merupakan satu-satunya realitas sejati, sedangkan
"partikula", yaitu "zat atau bahan" atau "benda",
hanya merupakan penampakan dari
realitas ini. Karena itu, dalam banyak pengalaman kita sehari-hari kita
membiarkan ilusi bahwa benda-benda dan obyek-obyek di sekeliling kita di dunia
fisik merupakan realitas terdalam. Sebenarnya bagi manusia situasinya adalah
bahwa idea-idea kita bukan hanya
menguak keadaan terdalam subyektif, melainkan juga sifat sejati realitas itu
sendiri. Oleh sebab itu, tugas hakiki filsuf adalah memperhatikan benda-benda
di balik penampakannya belaka supaya dapat mengetahui idea-idea ini.
Dalam dialog terhebatnya, Republic, Buku VII, Plato menggambarkan Sokrates yang membandingkan
situasi manusia dengan sekelompok orang yang terpenjara di dalam gua sejak masa
kanak-kanak mereka. Leher dan kaki mereka dibelenggu sedemikian rupa sehingga
mereka tidak mampu memandang pintu gua. Terdapat tabir di belakang mereka, dan
di balik tabir itu orang-orang mengangkat patung dan pola berbagai benda yang
menempel di tabir tersebut. Di belakang mereka semua ada cahaya dari api besar
(yang kemudian dikenal sebagai matahari). Dengan demikian, orang-orang itu
hanya bisa melihat bayangan obyek-obyek itu yang semu di dalam gua. Karena
orang-orang tersebut tidak pernah mengetahui apa pun selain bayangan-bayangan
itu, kelirulah perkiraan mereka bahwa itu obyek yang nyata.
yang baik
Dunia Forma
akal dan kebenaran
idea
jiwa
selera dan ilusi
raga
bayangan
Dunia Penampakan
Analogi tersebut, sekurang-kurangnya dalam bentuk yang
disederhanakan itu, amat gamblang. Gua itu melambangkan dunia tempat kita
hidup, dan orang-orang yang dibelenggu itu melambangkan orang-orang yang belum
pernah berfilsafat. Bayangan-bayangan itu merupakan obyek-obyek material
(”penampakan") yang biasanya kita perlakukan sebagai obyek-obyek nyata.
Adapun obyek-obyek penghasil bayangan-bayangan itu merupakan "forma"
sejati penampakan-penampakan ini. Hakikat ini bisa terkuak melalui perenungan
filosofis. Oleh karena itu, tugas filsuf adalah menyadari forma-forma sejati
itu dengan mematahkan belenggu-belenggu yang mengikat kita pada realitas dunia
material khayalan; ini dilakukan dengan merenungkan idea-idea kita, dan berupaya memperlakukan idea-idea ini sebagai realitas terdalam. Itulah versi Plato
mengenai pengakuan kebebalan: kebebalan kita masih ada selama kita terus
membuat kekeliruan dengan memperlakukan dunia material sebagai realitas
terdalam. Kekeliruan ini terjadi manakala kita memunggungi matahari, yang
melambangkan idea tertinggi, idea "yang-baik", di antara semua idea
dalam sistem Plato. Kebaikan merupakan realitas; dari kebaikanlah cahaya akal
dan kebenaran memancar keluar, sehingga memungkinkan kita untuk memandang semua
forma kekal lainnya.
Plato membangun sistem hierarkis idea-idea, yang
membentang dari idea yang lebih dekat pautannya dengan dunia material
(umpamanya idea-idea yang berkaitan dengan hasrat manusia) sampai idea yang
sedikit-banyak bisa membawa kita jauh ke luar "gua". Perihal idea
yang terakhir ini, kebenaran dan keindahan bersama-sama dengan kebaikan
merupakan tiga idea tertinggi. Meskipun ada kalanya kita dapati
tiruan-tiruannya di dunia material, idea-idea itu tidak akan dapat terwujud
secara sempurna dengan sendirinya di dunia penampakan. Kita tak akan bisa menunjuk sesuatu di dunia ini dan
mengatakan "inilah yang kita sebut kebenaran".
Ini karena kebenaran merupakan forma yang
keadaannya abadi, tidak pernah berubah atau pun lenyap. Plato menyarankan para
filsuf muda agar bermula dari pengetahuan tentang forma yang lebih rendah, yang
melempangkan jalan mereka menuju pandangan universal tentang realitas terdalam,
yang (seperti keadaan "super-sadar" yang dibahas pada Kuliah 4)
pencapaiannya dalam kehidupan mungkin hanya agak terlambat. Bentuk pengetahuan
yang berfungsi sebagai pedoman yang paling andal di sepanjang jalan ini,
menurut dia, adalah matematika; adapun bentuk pengetahuan yang terandal di
dalam matematika adalah geometri. Barangkali
ini merupakan satu alasan yang baik mengapa penggunaan diagram bisa bermanfaat
untuk memahami pandangan-pandangan filosofis yang musykil.
Plato yakin, orang-orang yang berhasil mencapai sasaran
itu, yakni visi universal, merupakan orang-orang yang paling mampu untuk
memerintah negara ideal ("republik"). Pikiran politik Plato perihal
kemestian penyelenggaraan "filsuf-raja" tersebut acapkali dikecam
dengan tajam lantaran berbagai alasan. Kita akan melihat lebih dekat filsafat
politik pada Pekan IX. Namun dalam hal ini cukup ditunjukkan bahwa teori
filsuf-raja dari Plato layak untuk dipertimbangkan secara serius: siapa yang
lebih mampu memerintah dengan cara yang adil dan luhur, orang yang haus
kekuasaan dan jabatan ataukah orang yang memiliki idea yang benar mengenai kekuasaan dan jabatan?
Dalam menyusun teorinya tentang forma, Plato, seperti
kebanyakan filsuf-filsuf terbesar, memperhatikan persoalan realitas terdalam manusia sebagai salah satu dari aspek
teori metafisisnya yang paling signifikan. Oleh sebab itu, mari kita simpulkan
bahasan tentang idealisme Plato dengan secara singkat mengamati implikasinya
bagi hakikat manusia. Jika dunia material merupakan khayalan, maka raga manusia
tentu saja bukan realitas penentu hakikat manusia. Menurut Plato, justru raga
itulah yang membelenggu kita di dalam "gua", membatasi penglihatan
kita pada bayangan-bayangan realitas [saja]. Realitas sejati kita terletak
dalam forma atau idea "kemanusiaan" dan sebaiknya disebut idea
"jiwa" (psyche atau soul). Jiwa merupakan realitas abadi yang, sebagaimana adanya, terpenjara dalam raga manakala seorang
manusia lahir ke dunia ini. Seperti terlihat pada Gambar II.8, jiwa itu terdiri
atas tiga bagian (atau daya) utama: "selera" merupakan bagian
terendah (yang bersesuaian dengan perut
raga), "akal" merupakan bagian tertinggi (yang bersesuaian dengan kepala), dan "rohani"
merupakan bagian penengah (yang bersesuaian dengan hati).
Menurut Plato, jiwa itu tak pernah tidak eksis, karena
kekal. Sebelum kelahiran kita, jiwa kita dalam forma kekalnya berada di alam
idea, dan ke alam inilah jiwa kita kembali sesudah kita meninggal dunia. Karena
forma kekalnya tidak terhambat oleh kegelapan dan keterbatasan "gua",
di alam pikiran ini jiwa itu mudah mengakses semua pengetahuan. Pengalaman kelahiran menyebabkan kita lupa akan apa-apa yang dahulu kita
ketahui. Karenanya, metafisika Plato menyediakan landasan bagi solusinya
terhadap salah satu pertanyaan tersulit dalam epistemologi: "Bagaimana
kita sampai mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak kita ketahui?"
Jawaban yang ditawarkan oleh idealisme Plato, dengan sangat sederhana, adalah
bahwa semua pembelajaran di bumi ini sebenarnya merupakan pengingatan kembali apa-apa yang sebelum kita lahir kita ketahui.
akal:
kepala
rohani:
hati
selera:
perut
Pada jam kuliah ini saya telah mencurahkan waktu hanya
untuk memperkenalkan ide-ide yang dikemukakan oleh Plato (dan Sokrates).
Selanjutnya jam-jam kuliah mendatang kita manfaatkan untuk mengkaji seluk-beluk
idealismenya, dan bahkan kita baru saja mulai memahami kedalaman pemikirannya.
Sesungguhnya, Plato sendiri yakin bahwa sistem forma kekalnya mampu menjelmakan
filsafat menjadi ilmu, suatu wujud pengetahuan yang
berkedudukan-kuat--suatu tujuan yang banyak dianut oleh para filsuf sejak itu.
Sekalipun demikian, bagaimana tujuan ini dicapai merupakan persoalan yang
senantiasa diperdebatkan. Pada jam kuliah berikut, kita akan memeriksa
pandangan seorang murid Plato yang yakin bahwa filsafat ilmiah hanya bisa
ditegakkan dengan mengikuti suatu jalur yang jauh berbeda.
6. Filsafat Sebagai Ilmu Teleologis
Pada jam kuliah tadi kita memperhatikan gagasan-gagasan
Sokrates dan pengikutnya, Plato. Pemanfaatan akal universal oleh Sokrates dan
penggunaan dialog oleh Plato untuk membangun sistem idealisme, yang didasarkan pada ajaran-ajaran Sokrates,
mengubah dengan cepat perkembangan filsafat di Yunani kuno. Dengan menyebut
gagasan Plato, saya telah menyimpulkan bahwa idealisme bisa menghasilkan
bangunan ilmu universal. Fakta bahwa
sebetulnya saat ini tiada ilmuwan yang menengok ide-ide Plato sebagai sumber
sains modern menyiratkan bahwa Plato gagal dalam tugas tersebut
(sekurang-kurangnya, pandangan modern tentang apakah sains itu). Akan tetapi,
seperti yang akan kita perhatikan pada jam kuliah ini, sistem lain yang
diajukan oleh Aristoteles, murid Plato yang paling berpengaruh berhasil dalam
tugas tersebut melalui suatu jalan yang tidak pernah ditempuh oleh gurunya.
Seusai menempuh studi di sekolah terkenal yang didirikan
oleh Plato, yang disebut “Akademi”, Aristoteles mengajar di sekolah ini sampai
sesudah kematian Plato. Selama duapuluh tahun itu, ia tentu saja pasti telah
mengenal ide-ide Plato dengan baik. Namun demikian, kemudian ia meninggalkan
Akademi itu dan bekerja selaku guru privat Iskandar Agung selama sekitar tiga
tahun. Sekembalinya ke Athena, ia mendirikan sekolah sendiri. Di situ ia
mengembangkan dan mengajarkan sistem filsafat yang konon bertolak belakang
dengan sistem Plato. Sayangnya, semua tulisan Aristoteles yang sampai kepada
kita adalah catatan kuliah dan buku-ajar yang dimaksudkan untuk dipakai oleh
murid-muridnya. Akibatnya, tulisan-tulisan itu kering dan jauh kurang menarik
daripada Dialogues Plato yang lincah.
Gaya tulisan Plato yang terlalu longgar ladang-kadang mangaburkan maknanya,
sedangkan makna tulisan Aristoteles seringkali kabur karena keketatannya. Tak
pelak, untuk menyajikan wawasan filosofis, gaya penulisan yang lebih patut
adalah gaya yang di antara keduanya.
Aristoteles mendasarkan sistemnya pada suatu metafisika
yang sedikit-banyak menempatkan idealisme Plato di benaknya dengan berpendapat
bahwa yang pada hakikatnya nyata itu partikula,
bukan universa. Ia menyangkutpautkan partikula dengan suatu istilah khusus, “ousia”, yang bermakna “realitas”, walau biasanya istilah ini diterjemahkan
menjadi “substansi”. Karena itu, pertanyaan dasar dalam “filsafat pertama”
(maksudnya metafisika)-nya adalah “Apakah substansi itu?”. Ia menjawab
pertanyaan ini dengan mendefinisikan substansi sebagai benda yang eksis secara
individual (lihat AC 1b-4b). “Benda”
semacam itu bukan sekadar forma atau pun sebongkah bahan. Benda ini pasti
justru selalu menggabungkan bahan dan
forma dengan sendirinya. Substansi itu menggabungkan forma dan bahan sedemian
rupa sehingga bahan ini memenuhi fungsi niscaya,
alih-alih sekadar atribut atau ilusi. Karena bahan substansi itu memberi “tanda
pembeda”, yang “secara kalkulatif tinggal satu dan [masih] sama, [substansi]
itu mampu menerima karakter yang bertentangan” melalui perubahan bahan. Umpamanya, kapur tulis yang saya pegang sekarang
ini masih akan merupakan contoh substansi “kapur tulis” walaupun berubah
karakter dari kapur tulis putih
menjadi kapur tulis merah. Inilah
cara pandang khas terhadap hakikat realitas, yang disebut “realisme”.
Aristoteles mengembangkan lebih lanjut realismenya dengan
memperbedakan antara substansi “primer” dan substansi “sekunder”. “Substansi
primer ... adalah entitas yang mendasari segala benda lainnya”, sedangkan
substansi sekunder adalah karakterisrik yang dapat “dipredikatkan” terhadap
benda individual itu, khususnya jika karakteristik ini merupakan bagian dari
definisi [yang menjawab] “what is it?”
(AC 2a-b). Sesungguhnya substansi
sekunder mestinya terbatas pada “genus” dan “spesies” benda individual. Sebagai
misal, saya selaku manusia individu ialah substansi primer. Karena itu, fakta
bahwa saya ialah manusia (spesies)
dan hewan (genus) merupakan substansi sekunder, yang memerikan jenis substansi
saya. Namun dalam pengertian yang lebih luas, segala benda yang “dipredikatkan
[dari substansi primer] atau terdapat di dalamnya” bisa dianggap sebagai
substansi sekunder. Jadi, substansi primer biasanya tampil di subyek kalimat, sedangkan substansi
sekunder biasanya tampil di predikat-nya.
Artistoteles mengembangkan teorinya tentang substansi
pada permulaan bukunya, Categories,
yang mendefinisikan “kategori” sebagai “jenis
benda yang paling umum”. Kata “forma” itu sendiri dapat dianggap sebagai makna
“jenis seumum itu”, sehingga kategori merupakan forma yang sangat
disamaratakan. Dalam Categories,
Aristoteles menyusun daftar sepuluh jenis forma yang paling umum, yang pertama
adalah substansi itu sendiri (yaitu jenis
forma yang dijadikan nyata dengan ikut serta di dalam bahan). Sembilan lainnya
merupakan karakteristik yang membantu kita memahami: seperti apakah substansi
partikula itu. Di sini kita tidak perlu sampai merinci hakikat dan fungsi
kategori-kategori tersebut. Cukup didaftar saja sembilan forma lain itu menurut
urutan yang disajikan oleh Aristoteles: kuantitas, kualitas, relasi, tempat,
waktu, posisi, keadaan, tindakan, dan atribut (affection)(AC 1b).
Pembahasan Aristoteles tentang kategori-kategori ini banyak berkaitan dengan penggunaan istilah-istilah tersebut
dalam bahasa kita (sehingga mengisyaratkan penekanan pada analisis linguistik
dewasa ini, yang akan dibahas lebih lanjut di Kuliah 16). Namun demikian, ia
pun jelas-jelas mengakui bahwa kategori-kategori tersebut menyediakan suatu
cara pemahaman realitas itu sendiri (yaitu substansi) secara teratur dan
sistematik.
Dalam menerapkan realismenya pada hal-hal partikula,
Aristoteles menggunakan metode teleologis.
Artinya, ia berpendapat bahwa forma benda sebaiknya terketahui melalui
penyelidikan tentang maksud forma
tersebut. Kata Yunani telos
(“maksud”) juga mengacu pada akhir atau
tujuan benda atau peristiwa. Mengapa ini ada? Untuk apa ini digunakan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bisa
membantu kita menjelaskan mengapa sepotong bahan spesifik berforma tertentu (particular). Aristoteles memanfaatkan
metode teleologisnya sebagai bagian terpadu dari tugas pengelompokan obyek-obyek alamiah dan obyek-obyek hasil pemikiran.
Ini karena metode filosofisnya menaruh perhatian ganda pada klasifikasi logis
(linguistik) dan observasi teleologis (empiris). Penekanan ganda ini
berpengaruh besar terhadap orang-orang yang sejak itu mengikuti tradisi yang
sering disebut tradisi “empirisis”.
Tentu saja, sains modern merupakan salah satu dari
buah-buah tradisi empirisis. Jadi, tidaklah sampai mengejutkan bahwa ternyata
banyak nama yang kita berikan kepada cabang-cabang sains yang berlainan,
sebagaimana disiplin akademik lain, mula-mula ditetapkan dengan klasifikasi
teleologis Aristoteles tersebut. Buku-bukunya banyak dicurahkan pada penamaan
dan penyediaan landasan dasar bagi disiplin-disiplin seperti “psikologi”,
“zoologi”, dan bahkan “metafisika” itu sendiri. Jadi, sebagai misal, ia
mengatakan bahwa matematika itu mengenai penyebab formal, fisika mengenai
penyebab material, dan teologi mengenai penyebab keilahian, sehingga ketiganya
bisa dibedakan (AM 1026a). Selain itu, ia menancapkan banyak
pembedaan yang kini kita terima begitu saja, bukan hanya dalam filsafat
(seperti esensi-eksistensi dan sebab-akibat), melainkan juga dalam ilmu empiris
(seperti genus-spesies dan tanaman-hewan-manusia). Hal ini tentu saja
membenarkan pandangan bahwa Aristoteles ialah “datuk” ilmu modern, walaupun
metode teleologisnya sendiri kini dihujat oleh sebagian besar ilmuwan. (Sebagian besar, tidak semuanya. The Anthropic Cosmological Principle
adalah salah satu contoh buku mutakhir yang signifikan yang ditulis oleh
ilmuwan yang sungguh-sungguh menghargai
metode teleologis.)
Biarlah saya perjelas perbedaan epistemologis antara
realisme Aristoteles dan idealisme Plato dengan menggunakan sepotong kapur
tulis ini sebagai contoh. Bagaimana kita tahu
bahwa sepotong kapur tulis ini adalah kapur tulis? Apa yang membuatnya demikian? Plato akan
mengatakan bahwa idea kapur tulis,
“kekapurtulisan”-nya, merupakan realitas obyek ini. Itu karena seandainya kita
hendak melakukan suatu pemberantasan di segenap penjuru dunia dengan
menghancurkan semua partikula kapur tulis yang sekarang ada, kita tidak akan
melakukan perubahan terhadap realitas “kekapurtulisan”
sama sekali. Bahkan sekiranya kita secara sistematis menghapus semua referensi
tertulis tentang kapur tulis di seluruh literatur dunia, dan menunggu kematian
semua orang yang pernah melihat atau memakai kapur tulis, idea-nya masih akan senyata saat ini; ideanya masih akan merupakan forma
yang keberadaannya abadi, menunggu untuk diingat kembali oleh beberapa generasi
mendatang. Potongan zat yang kita sebut kapur tulis ini nyata hanya karena turut serta dalam idea nyata, idea
kekapurtulisan.
Sebaliknya, Aristoteles akan mengatakan bahwa realitas
substansi partikula ini yang saya pegang di tangan saya, yang dinamakan “kapur
tulis”, bergantung bukan hanya pada keturutsertaannya dalam forma
“kekapurtulisan”, melainkan juga pada kemampuan himpunan bahan untuk mengkonkretkan (yakni berfungsi sebagai
contoh nyata) forma itu di dunia yang kita alami. Ini berarti bahan itu harus
memenuhi maksud kapur tulis. Apa maksud kekapurtulisan
dilimpahkan kepada sebongkah bahan? Untuk apa kapur tulis dipakai? Tentu saja,
bila tampil di ruang kelas, sekurang-kurangnya, kapur tulis dipakai untuk
menulis hal-hal di papan tulis. Jadi, jika saya jatuhkan sepotong kapur tulis
ke lantai dan kemudian meremukkannya—seperti ini (jangan bilang-bilang saya
melakukannya)—maka Aristoteles akan mengatakan bahwa saya telah menghancurkan
substansinya, realitas kapur tulis.
Dalam kasus ini bahan-nya masih ada,
tetapi formanya tidak lagi eksis sebagai kapur tulis.
Jadi, baik bagi Plato maupun Aristoteles, forma benda
merupakan faktor penting dalam penentuan realitasnya. Namun bagi Plato, forma
saja sudah mencukupi; sedangkan bagi Artistoteles, kaitan-pasti dengan bahan
juga diperlukan. Pandangan mereka bisa diringkas secara cukup sederhana sebagai
berikut:[ii][2]
Idealisme
Plato Realisme Aristoteles
---------------- --------------------
forma
= realitas forma + bahan =
bahan
= ilusi substansi (realitas)
Ringkasan ini hanya mencungkil
permukaan catatan Aristoteles tentang hakikat substansi, tetapi cukup memadai
untuk maksud [kuliah] pengantar kita.
Bagaimana pandangan Aristoteles tentang hakikat manusia? Bagaimana sudut pandang
metafisis barunya, realismenya, mempengaruhi cara pemahamannya terhadap
realitas manusia? Ia sependapat dengan Plato bahwa jiwa (psyche) adalah forma raga. Secara demikian, fungsi utamanya
diperikan dengan peristilahan “daya penyerap gizi (nutritive), daya penyelera (appetitive),
daya pengindera (sensory), daya
penggerak (locomotive), dan daya
pemikir (rational)” (DA 414a). Raga itu sendiri kini diakui
tidak hanya sebagai atribut atau ilusi, tetapi juga sebagai unsur penting
substansi manusia; melalui raga, daya-daya ini diwujudkan. Bagi anda, pandangan
ini mungkin terasa jauh lebih alamiah daripada pandangan idealis Plato;
sekalipun demikian, beberapa konsekuensinya mungkin kurang dikehendaki. Ini karena
jika raga merupakan unsur-niscaya dalam manusia, maka bila raga mati, mati pula
realitas keberadaaan individu manusia. Jiwa tanpa raga tidak akan lebih nyata
daripada idea kekapurtulisan belaka dan tidak akan lebih berguna daripada
serpihan debu kapur tulis di lantai ini untuk menulis di papan tulis. Implikasi
negatif realisme Aristoteles tersebut, bagi siapa saja yang memyakini kehidupan
sesudah kematian, akhirnya mulai menyebabkan idealisme Plato tidak begitu
buruk! (Suatu jalan lain di seputar masalah itu akan sampai pada keyakinan
bahwa raga itu sendiri dihidupkan kembali entah bagaimana, walau dalam keadaan
yang sedikit-banyak berubah, sesudah kita meninggal. Kita akan membahas
kemungkinan ini lebih lanjut di Kuliah 35.)
Aristoteles sendiri mungkin telah berupaya menambal-sulam
konsekuensi realismenya yang pada potensinya tidak mengenakkan tatkala ia
berpendapat bahwa jiwa manusia mempunyai maksud lain yang membuatnya berbeda
dengan segala substansi duniawi lainnya. Jiwa tanaman disifati oleh daya penyerap
gizi dan daya penyelera. Jiwa hewan memiliki sifat-sifat itu, tetapi ditembah
dengan daya pengindera dan daya penggerak (yakni daya untuk bergerak). Jiwa
manusia mempunyai semua tujuan atau maksud itu, yang menentukan jiwa tanaman
dan hewan, tetapi melampaui itu semua melalui daya pemikir (nous). Dengan
memandang bahwa Tuhan ialah yang rasional murni, Aristoteles berpikiran bahwa
aspek sifat manusiawi ini menandakan “percikan ilahi” pada diri kita
masing-masing. Secara demikian, ia memaparkan bahwa jiwa manusia merupakan
[bagian] dari “hewan rasional”—suatu gagasan yang telah menjadi salah satu cara
penentuan hakikat manusia yang paling luas penerimaannya. Dengan memperlakukan
rasionalitas itu sendiri sebagai karakteristik jiwa ilahi, kita bisa memetakan
pembedaan Aristoteles pada sebuah salib, seperti yang terlihat pada Gambar
II.9.
kehidupan insani
(spiritual, bergerak)
kehidupan fauna kehidupan flora
(non-spiritual, (non-spiritual,
bergerak)
tidak bergerak)
kehidupan ilahi
(spiritual, tidak bergerak)
Pandangan tentang jiwa tersebut memberi jalan bagi
Aristoteles yang membolehkan tipe kehidupan sesudah kematian. Dalam DA 430a ia mengatakan, bila jiwa
“terpasang bebas dari kondisinya sekarang ini” (yakni manakala raga manusia itu
mati), inti rasionalitas yang tersisa itu “bersifat kekal dan tidak mati”. Itu
menyiratkan bahwa “percikan” rasionalitas pada jiwa individu akhirnya akan
kembali ke “api” Tuhan yang merupakan asalnya. Meskipun masih tidak membolehkan
kehidupan sesudah kematian, setidak-tidaknya hal itu memberi tujuan universal
untuk menciptakan dan melangsungkan kehidupan yang berharga. Jika maksud
kehidupan adalah meluaskan dan mengembangkan rasionalitas hingga titik
maksimalnya, maka tentu saja filsafat merupakan kejuruan paling bermakna yang
bisa diburu oleh manusia. Dalam pandangan Aristoteles, bagian universal dan filosofis
dari anda, dan bagian itu sendirian,[iii][3] akan menghidupkan kematian anda.
Terdapat banyak segi-lain filsafat Aristoteles yang akan
menarik bagi kita untuk dibahas di sini seandainya kita mempunyai waktu yang
lebih banyak. Saya akan menyimpulkan dengan menyebutkan idenya saja bahwa semua
pergerakan di dunia berasal dari “penggerak pertama” yang dengan sendirinya
“tidak bergerak”. Yang-Berada ini juga merupakan “penyebab terakhir” (yakni tujuan puncak) semua pergerakan. Dengan
kata lain, semua perubahan di dunia sekeliling kita bergerak menuju titik sandaran terakhir. Di titik ini semua
perubahan itu kembali ke sumber mereka di penggerak yang tidak bergerak,
seperti yang terlukis pada Gambar II.10.
Titik Omega
(Tuhan)
penyebab penggerak
terakhir pertama
alam
semesta
Ide serupa juga dikembangkan
secara cukup rinci oleh seorang paleontolog abad keduapuluh, pendeta Jesuit,
dan filsuf mistis, Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955), yang berpendapat
bahwa keseluruhan kosmos bergerak menuju sasaran kesatuan-dalam-keragaman
hakiki (ultimate unity-in-diversity),
bernama “titik omega”—“omega” merupakan huruf terakhir abjad Yunai dan lambang
tujuan abadi. Ini hanyalah salah satu contoh bagaimana para filsuf
sepeninggalnya, khususnya sesudah munculnya agama Kristean, mengembangkan
ide-ide Aristotelian menjadi catatan yang menarik tentang bagaimana alam
semesta bisa terkait dengan Yang-Berada yang biasanya kita sebut Tuhan.[iv][4]
Pertanyaan Perambah
1. 1.
A.
Yang mana dari empat anasir yang anda pikir paling
dasar, dan mengapa?
B.
Mengapa hanya ada empat anasir dasar?
..............................
..............................
2. 2.
A.
Bisakah demitologisasi terhadap suatu mitos dilakukan sampai tuntas?
B.
Bisakah “forma abadi” berubah?
..............................
..............................
3. 3.
A.
Apakah zat atau bahan itu ilusi?
B.
Mengapa filsafat sukar membuktikan diri sebagai ilmu?
..............................
..............................
4. 4.
A.
Apakah maksud itu?
B.
Apakah irrasionalitas mempunyai
maksud?
..............................
..............................
Bacaan Anjuran
1. 1.
Hans
Peter Duerr, Dreamtime: Concerning the
boundary between wilderness and civilization, terj. Felicitas Goodman
(Oxford: Basil Blackwell, 1985).
2. 2.
Frank
N. Magill (ed.), Masterpieces of World
Philosophy (New York: Harper Collins, 1990), “Anaximander” dan
“Heraclitus”, pp. 1-5, 12-16.
3. 3.
Reginald
E. Allen (ed.), Greek Philosophy: Thales
to Aristotle (New York: The Free Press, 1966), “Presocratic Philosophy”,
pp. 25-54.
5. 5.
Aristotle,
Categoriae (AC), Buku III De Anima (DA), dan Buku V Metaphysica (AM) (BWA
3-37, 581-603, 752-777).[vi][6]
6. 6.
Allan
Bloom, The Closing of the American Mind
(New York: Simon and Schuster, 1987), “From Socrates’ Apology to Heidegger’s Rektoratsrede”,
pp. 243-312.
7. 7.
John
D. Barrow dan Frank J. Tipler, The
Anthropic Cosmological Principle (Oxford: Clarendon Press, 1986), Bab Dua,
“Design Arguments”, pp. 27-122.
8. 8.
Pierre
Teilhard de Chardin, The Phenomenon of
Man, terj. Bernard Wall (London: Collins, 1959[1955]), Buku Empat, Bab Dua,
“Beyond the Collective: The Hyper-Personal”, pp. 254-272.
Catatan Penerjemah
[i][1] Untuk menempatkan filsafat pada konteksnya
yang tepat (bandingkan antara Gambar II.3 dan I.3), mestinya keindahan (sastra
ontologis) bersesuaian dengan masa lahir dan keyakinan (mitos metafisis)
bersesuaian dengan masa muda. Untungnya, Palmquist menerima kritikan ini dan
karenanya ia merasa berkewajiban untuk mengkaji masalah tersebut dengan lebih
mendalam sebelum menulis revisinya yang akan dimasukkan ke dalam “Edisi
Kelima”.
Bagaimanapun, bila perubahan semacam itu bisa diterima,
maka ia berharap agar pembaca Edisi Keempat ini dapat melihat bahwa: filsafat
berawal di tahap “muda”, tempat berkembangnya metafisika; dari situ filsafat
berjalan melalui logika (dan ditemukannya kebenaran independen) dan ilmu (atau
pengetahuan); baru sesudah itu, filsafat kembali ke “rahim”-nya dengan
menggunakan ontologi. Namun untuk menerapkannya sepenuhnya di dalam teks utama,
dibutuhkan revisi yang agak substansial di berbagai pasal tertentu yang
menyinggung mitos.
[ii][2] Palmquist mengakui bahwa hubungan antara
idealisme Plato dan realisme Aristoteles barangkali bisa digambarkan
dengan memanfaatkan geometri logika. Salah satunya adalah segitiga samasisi
(seperti Gambar I.2 dan gambar-gambar lain yang serupa), dengan “forma
(realitas)” di satu titik sisi kiri dan “bahan (ilusi)” di titik sisi kiri
lainnya, serta “substansi” di titik kanan. Lalu garis vertikal di sisi kiri
dapat disebut “idealisme Plato” dan titik sintesis di sebelah kanan bisa
dinamai “realisme Aristoteles”. Akan tetapi, Palmquist merasa lebih aman
menggunakan bentuk seperti yang ada di dalam teks utama. Untuk alternatif lain,
saya mengusulkan sebuah model penggambaran yang akan saya jelaskan sewaktu kita
membahas Gambar III.8.
[iii][3] Yang akan tetap bertahan hidup hanya bagian
universal dan filosofis dari anda, bukan badan, bukan benak, bukan ingatan,
atau pun bagian lain yang individual dari anda.
[iv][4] Hingga Kuliah 6 ini berakhir, begitu pula
di sembarang kuliah lainnya, Palmquist belum secara tersurat menerangkan versi
Aristoteles perihal pengakuan kebebalan (yang merupakan tema Bagian
Satu). Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Sehubungan dengan interpretasi yang terdapat pada buku
ini, Aristoteles mengambil posisi arsitektonik “ilmu” dalam perkembangan
metafisika yang dilukiskan secara ringkas di Gambar I.5. Sebagaimana yang
terlukis di Gambar I.7, pencapaian “ilmu” mensyaratkan “pelupaan” atau
“pengabaian” mitos. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa filsuf yang
berada di tahap ini biasanya akan meremehkan pentingnya pengakuan kebebalan.
Sebagaimana ilmuwan khas, yang memandang bahwa luas pengetahuan yang
nirmustahil itu tak terbatas, Aristoteles tampaknya memandang bahwa pada
prinsipnya perluasan filsafat tidak mensyaratkan pembatasan-niscaya.
[v][5] Untuk alternatif, lihat
http://classics.mit.edu/Plato/apology.html
http://www.utm.edu/research/iep/text/plato/rep/rep-7.htm
[vi][6] Untuk alternatif, lihat http://classics.mit.edu/Aristotle/categories.html
http://classics.mit.edu/Aristotle/soul.3.iii.html http://classics.mit.edu/Aristotle/metaphysics.5.v.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar