Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam “Existentialism and Humanism[1]”
Oleh: Hendar Putranto
( Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta )
Pengantar[2] :
Filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905. Karir filsafatnya baru mendapatkan perhatian yang besar dari publik intelektual setelah ia menulis dan menerbitkan L’être et le néant. Essai d’ontologie phénomenologique (1943). Dengan buku ini segera Sartre menjadi filsuf ternama dan diidolakan sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Meskipun buku ini mengorbitkan nama Sartre namun toh harus diakui bahwa tidak begitu banyak orang yang memahami pemikirannya yang memang rumit, khususnya yang berbicara tentang kesadaran. Untuk mempopulerkan idenya itu, maka tiga tahun kemudian Sartre mengeluarkan buku kecil berjudul L’existentialisme est un humanisme (1946). Lewat buku ini Sartre menyingkatkan pemikirannya sekaligus berupaya menanggapi sejumlah kritik yang dialamatkan kepadanya[3], khususnya dari kaum komunis dan pihak Kristen.
Buku itulah yang kini ingin kami eksplorasi dalam tulisan singkat ini. Adapun tujuan dekat dari penulisan ini adalah untuk memberikan sekelumit gambaran yang lebih terang mengenai eksistensialisme sebagaimana dimaksud Sartre dan dari situ kita bisa belajar sejumlah tema umum eksistensialisme seperti liberté (kebebasan), engagement (komitmen), angoisse (kecemasan), responsibilité (tanggungjawab), subjectivité (subjektivitas) dan bahwa ‘eksistensi mendahului esensi.’ Tujuan jauh dari tulisan ini adalah agar pembaca tergerak untuk langsung membaca dari sumber-sumber pertama dan bukan melulu tergantung dari keterangan yang diberikan dalam buku Sejarah Filsafat atau kritik atasnya. Selanjutnya diharapkan agar kita dapat menjadi kritis terhadap situasi dunia di sekeliling kita, kritis terhadap ideologi-ideologi yang bertebaran di sana-sini dan tidak lupa untuk menjadi kritis terhadap pemikiran Sartre dan terhadap diri sendiri. Tulisan akan dibagi menjadi 3 bagian pokok yang satu dengan lainnya saling berkaitan, walaupun mungkin secara longgar. Bagian pertama akan berbicara tentang eksistensialisme itu sendiri dengan keberagaman nuansanya. Dalam bagian kedua, penulis akan melihat apa yang dimaksud Sartre dengan humanisme. Pada bagian ketiga akan disampaikan sejumlah kritik atas pandangan Sartre. Mengingat keterbatasan ruang pengungkapan, tidak semua tema menarik yang dihantar oleh Sartre dalam bukunya tersebut akan penulis uraikan di sini.
Penjernihan istilah Eksistensialisme oleh Sartre
Atas sekian banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu Eksistensialisme, Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak, “Eksistensialisme itu tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme, misalnya dituduh sebagai nama lain dari pesimisme, quietisme[4], bahkan filsafat keputus-asaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat darinya[5]. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan bahwa kejelekan atau keburukan itu diidentikkan dengan eksistentialisme[6]. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan filsafat kaum bourgeois.
Dari pihak Katolik, seperti Mlle.Mercier, dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-ihwal yang memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu melulu voluntary. Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai.
Ada lagi yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke-terisolir-annya. Dan ini, dalam pandangan kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada subjektivitas murni---seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cogito-nya---karenanya, eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang tentang solidaritas.
Namun, apakah memang tepat tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Sartre dan eksistensialisme ini? Bagaimana Sartre membela dirinya dan membela paham yang ia anut? Pertama, ia sendiri juga menyayangkan bahwa istilah “eksistensialisme” dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga istilah “eksistensialisme” nyaris tidak punya arti apa-apa lagi[7]. Kedua, guna meluruskan salah-kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human universality of condition[8]. Dua definisi yang baru saja disebut di sini hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi[9] dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif. Apa maksud Sartre dengan proposisi ini?
Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife).[10] Seorang pembuat pisau kertas, disebut artisan, tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae) serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain, produksinya mendahului eksistensinya. Di sini, kita memandang dunia dari sudut pandang teknis. Namun, hal itu berbeda tatkala kita membayangkan Allah sebagai Sang Pencipta yang berarti mengatribusikan padaNya kualitas “seorang” supernatural artisan. Apapun doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa tatkala Allah menciptakan, Ia tahu persis apa yang sedang Ia ciptakan. Dengan begitu, tiap individu manusia adalah realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu, manusia memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang esensi dirinya, di mana masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi tentang Manusia, entah itu animal rationale (Aristoteles), atau wild man of the woods (Rousseau), man in the state of nature (Thomas Hobbes), dan the bourgeois (Karl Marx).
Justru pandangan di mana “esensi manusia mendahului eksistensinya” seperti ini yang keliru dan dikritik tajam oleh Sartre. Bagi Sartre, jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya ada sebelum esensinya, sebuah makhluk yang eksis sebelum ia dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu adalah manusia.
Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia). Singkatnya, Manusia adalah[11].
Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari eksistensialisme: Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya?
Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis----bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya ini yaitu tentang humanisme.
Humanisme dalam pandangan Sartre
Di atas sudah kita singgung secara sepintas bahwa Sartre menempatkan martabat manusia lebih luhur daripada benda-benda. Dengan ini saja kita bisa beranggapan bahwa yang menjadi pusat perhatian Sartre adalah manusia dengan segala kompleksitas eksistensinya. Pandangan Humanisme yang kalau kita lacak dalam sejarah pemikiran Barat sebenarnya bertolak dari gerakan Humanisme di Eropa pada abad ke-15 dengan tokohnya yaitu Erasmus Huis. Gerakan Humanisme ini mencapai puncaknya pada saat Revolusi perancis (k.l. 1789-1799) di mana kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité)
dan persaudaraan (fraternité) menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak hanya manusia sebagai individu yang bebas dan otonom (dalam artian menentukan dirinya sendiri), namun juga kesadaran akan nilai intrinsik dari manusia itu sendiri dan tempatnya sebagai pusat dari realitas. Lalu, apakah Sartre sebenarnya hanya mengulangi apa yang sudah didengung-dengungkan beberapa ratus tahun sebelumnya dengan mengatakan humanisme? Apa yang baru dalam konsepsi Sartre tentang humanisme? Apa hubungannya eksistensialisme dengan humanisme?
Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya[12]. Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan dan kemanusiaan, dan untuk itu Allah harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip Dostoevsky[13], “Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan.” Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre. Manusia lantas tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is.”[14] Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia. Namun tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. A man is no other than a series of undertakings that he is the sum, the organisation, the set of relations that constitute these undertakings. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. I ought to commit myself and then act my commitment. Dan komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi[15], Sartre mau membangun kerajaan manusia (bukan Kerajaan Allah!) sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi. Subyektivitas sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Sebabnya apa? Meminjam istilah yang digunakan Descartes, namun sekaligus mengoreksinya, dalam kesadaran cogito, aku berpikir, tidak hanya diri sendiri yang ditemukan namun juga orang lain. Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian. Penyingkapan jati diriku pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasanku. Berhadapan baik dalam artian “bagi” atau “melawan.” Dengan begitu, kesadaran akan diriku dalam dunia ini sifatnya adalah inter-subjectivity. Berkenaan dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya a human universality of condition. Tanpa bermaksud masuk ke dalam detil dari uraian ini, cukuplah dikatakan di sini bahwa human universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan pemilihan lagi dan lagi selama hidupnya. Sebagai penutup dari bagian ini, kiranya pantas diajukan argumen ketiga yang memberikan ciri pada humanisme Sartre. Berangkat dari keberatan yang diajukan pada Sartre, “nilai-nilaimu itu tidaklah serius sebab bukankah kamu sendiri yang memilih mereka,”[16] Sartre menyanggahnya demikian. Pertama, Sartre sudah menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan nilai-nilai bagi manusia. Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create) nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Dan penemuan nilai-nilai ini berarti bahwa tidak ada yang à priori dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa jika belum dihayati. Dan penghayatan ini, engkau sendirilah yang menetukannya. Dan nilai atau makna atas kehidupan ini tak lain tak bukan adalah sesuatu yang engkau pilih. Karenanya menjadi jelas bahwa selalu ada kemungkinan untuk menciptakan sebuah komunitas manusia. Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia maksud dengan humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori yang meninggikan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan sebagai nilai tertinggi (supreme value).[17] Bagi Sartre ini humanisme yang absurd sebab hanya anjing atau kuda yang paling mungkin berada dalam posisi untuk melontarkan penilaian umum atas apa manusia itu. Seorang eksistensialis tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih harus ditentukan[18]. Humanity yang absurd semacam ini akan menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte (Comtian humanism), dan berpuncak pada Fascisme.
Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Karena manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya sendiri, self-surpassing, dan mampu meraih obyek-obyek hanya dalam hubungannya dengan ke-self-surpassing-annya, maka ialah yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian self-surpassing). Dan relasi antara transendensi manusia dengan subjectivitas (dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri melainkan selalu hadir dalam semesta manusia) itulah yang disebut Sartre dengan existential humanism. Ini disebut humanisme karena mengignatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak[19] secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.
Kritik dan tanggapan atas pandangan Sartre
Jeff Mason dalam tulisannya di philosophers.net[20] pernah mengatakan bahwa lebih indah dan lebih aman bagi manusia jika ia memiliki esensi lebih dulu daripada eksistensi. Ia dapat beristirahat dengan damai dalam relung nasib dan tidak perlu berjuang dengan susah-payah untuk mendefinisikan diri. Kalau itu yang terjadi, tidak perlu ada pilihan-pilihan eksistensialis, tidak akan ada tanggungjawab yang tak terpikul, tidak akan ada kecemasan yang mengalir. Kiat tinggal berharap akan imortalitas dan dunia “di sana.” Namun justru di sinilah kritik Sartre masuk dan mengena. Kita tidak bisa menipu diri sendiri (self-deception atau istilah Sartre mauvaise foi) dengan menghindar dari tanggungjawab pelibatan (engagement), lebih-lebih dalam artian sosial-politis. Walter Kaufmann bagaimanapun juga menafsirkan situasi manusia yang Sartre bangun dengan filsafatnya sebagai situasi yang absurd dan tragis. Dunia Sartre lebih dekat dengan dunia Shakespeare yang tragis-melankolis daripada dunia dalam pandangan Buddhist di mana life follows on life and salvation remains always possible[21].
Ada situasi-situasi tertentu di mana apapun keputusan dan pilihan yang kita buat, kita tidak bisa lari dari rasa bersalah. Walau demikian, dalam rasa bersalah dan kegagalan itu manusia tetap dapat mempertahankan integritasnya dan memberontak terhadap kungkungan-kungkungan maupun ancaman-ancaman yang datang dari dunia.[22]
Mengenai kebebasan sebagaimana didewakan Sartre dalam mengartikan eksistensi eksistensi=kebebasan), kita mungkin bisa meratap bersama John Macquarrie yang mengatakan bahwa semakin kita berbicara tentang kebebasan, semakin kebebasan itu tidak menjadi jelas artinya karena sifatnya yang elusif[23]. Sudah barang tentu, Sartre agak naïve saat mengatakan bahwa manusia itu bebas secara total dan sepenuhnya menentukan dirinya sendiri. Frederick Copleston lebih realistis tatkala berkomentar bahwa kebebasan kita itu sudah barang tentu dibatasi oleh segala macam faktor-faktor baik internal maupun eksternal. Apa saja misalnya? Faktor-faktor fisik dan psikis, lingkungan, pemeliharaan, pendidikan, tekanan sosial yang dihimpitkan pada kita secara terus menerus tanpa kita sadari[24] (atau bagi saya, lebih tepatnya, tatkala kita masih belum sampai pada tahap kesadaran untuk menyadari sesuatu yang membentuk diri kita). Mungkin yang baik saya anjurkan di sini, belajar dari Sartre, adalah bahwa manusia itu dalam menentukan dirinya, ia terbuka terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan (opennes to possibilities). Dalam ruang kemungkinan-kemungkinan yang tanpa batas itulah manusia eksis, bertindak, mewujudkan dirinya dan setia terhadap janjinya (komitmen) dalam mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Dalam konteks sejarah di mana Sartre hidup (dunia yang dicabik-cabik oleh dua perang dunia, invasi tentara Jerman ke kota Paris pada tahun 1940, kekejaman NAZI atas nama ‘kemanusiaan’ demi pemurnian ras yang berujung pada puncak tragedi kemanusiaan selama abad ke-20 yaitu peristiwa Holocaust.) kritik dan filsafat Sartre ini memang kuat bersuara dan dengan lantang mengkritik orang-orang yang menipu dirinya sendiri, khususnya para penguasa/régime yang menyalahgunakan kekuasaannya dan melecehkan harkat kemanusiaan, entah dengan excuse ilmiah dan demi kemajuan (lalu bertindak kejam dan absurd) maupun dengan menghindar dari tanggungjawab sosial sembari berkata “kami tidak bisa berbuat apa-apa. Itu di luar kuasa kami. Itu sudah merupakan keniscayaan sejarah.”
Kini, puluhan tahun sesudah Sartre menerbitkan bukunya Existentialism and Humanism, kita dipanggil untuk menemukan otentisitas (authenticité) diri kita sebagai individu di tengah kepungan fenomena massa yang tanpa identitas dan juga dalam arus kemajuan teknologi-informasi yang semakin cepat berkembang di satu sisi namun juga semakin cepat mendevaluasi martabat manusia di sisi lain; dalam budaya pop yang menyetir keinginan-keinginan manusia dan pada gilirannya menentukan diri manusia (dan berarti merampas hak manusia untuk menentukan dirinya sendiri: self-determination). Bagaiamanapun, pesan filosofis dan analisis Sartre atas situasi manusia pada zamannya masih tetap relevan hingga kini.
Daftar Pustaka:
Acuan Utama:
Sartre, Jean-Paul. Existentialism and Humanism. (Translated from ‘L’Existentialisme est un humanisme’, Paris: Les Editions Nagel (1946), Introduction by Philip Mairet). London: Eyre Methuen Ltd (1948).
Sartre, Jean-Paul. Existentialism and Humanism. (Translated from ‘L’Existentialisme est un humanisme’, Paris: Les Editions Nagel (1946), Introduction by Philip Mairet). London: Eyre Methuen Ltd (1948).
Acuan Sekunder:
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama (1996), hlm. 81-120.
Copleston, Frederick. A History of Philosophy: From Bergson to Sartre; Chapter XVI ∓mp; XVII: The Existentialism of Sartre. Garden City, Doubleday Co.: Image Books. 1962. Hlm. 340-389.
Kaufmann, Walter. Existentialism from Dostoevsky to Sartre. Cleveland: The World Publishing Company. 1956.
Macquarrie, John. Existentialism. Middlesex-England: Penguin Books. 1972.
Mason, Jeff. Sartre"s Existential Humanism Part 1 taken from http://www.philosophersnet.com/article.php?id=172
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama (1996), hlm. 81-120.
Copleston, Frederick. A History of Philosophy: From Bergson to Sartre; Chapter XVI ∓mp; XVII: The Existentialism of Sartre. Garden City, Doubleday Co.: Image Books. 1962. Hlm. 340-389.
Kaufmann, Walter. Existentialism from Dostoevsky to Sartre. Cleveland: The World Publishing Company. 1956.
Macquarrie, John. Existentialism. Middlesex-England: Penguin Books. 1972.
Mason, Jeff. Sartre"s Existential Humanism Part 1 taken from http://www.philosophersnet.com/article.php?id=172
Catatan Kaki
[1] Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism. Translated from ‘L’Existentialisme est un humanisme’, Paris: Les Editions Nagel (1946), Translation and Introduction by Philip Mairet, London: Eyre Methuen Ltd, 1948.
[2] Pada bagian pengantar ini, penulis mengutip sebagian dari deskripsi historis yang disampaikan Prof. Dr. K. Bertens dalam Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 84-86.
[3] Keyakinan ini sudah dikatakan oleh Sartre di bagian paling awal dari bukunya tersebut, “Tujuan saya menulis buku ini adalah untuk membela eksistensialisme dari sejumlah kritik yang ditujukan padanya.” (ibid. hlm. 23)
[4] Pengertian Quietisme di sini, sebagaimana disebutkan Sartre sendiri, adalah sikap orang yang berkata “biarkan orang lain mengerjakan apa yang tidak bisa kukerjakan.” (ibid. hlm. 41) Quietisme di sini dekat dengan pengertian non-doing, atau bahkan, seperti yang sering dikritik Sartre, cara hidup abad pertengahan: via contemplativa. Dan bukan via activa, hidup yang melibatkan diri dengan persoalan real yang dihadapi masyarakat, termasuk menceburkan diri ke dalam alam politik. Untuk pembedaan yang lebih terelaborasi mengenai tema ini (via activa vs. via contemplativa), lihat karya Hannah Arendt, The Human Condition, New York: Double Day Press, 1957.
[5] Ibid., hlm. 24, “The essential charge laid against us is that of over-emphasis upon the evil side of human life.” Di tempat lain ia mengatakan bahwa ada sejumlah orang yang mengeluh, “that existentialism is too gloomy a view of things.” (ibid., hlm. 25)
[6] Ibid. Di sini Sartre agak humoris dengan mengambil contoh dari seorang wanita yang saat terkaget atau sedang stress lalu mengumpat dengan kata-kata vulgar, dan setelahnya memaafkan dirinya dengan berkata “I believe I am becoming an existentialist.”
[7] Ibid., hlm. 25-26. [8] Ibid., hlm. 46. [9] Ibid., hlm. 26.
[10] Yang dimaksud dengan paper knife ini bisa jadi berupa cutter (pemotong kertas) atau pembuka surat yang bentuknya memang seperti pisau tetapi ujungnya majal. Namun yang penting di sini bukan contoh benda konkretnya melainkan bagaimana Sartre menjelaskan analogi eksistensi dan esensi dengan menggunakan contoh benda-benda konkret.
[11] Ibid., hlm. 28. pantas dikutip secara panjang lebar di sini apa yang dikatakan Sartre, yang menurut hemat saya, menjadi pemikiran sentral Sartre atas siapakah manusia itu. Dikatakan, “What do we mean by saying that existence precedes essence? We mean that man first of all exists, encounters himself, surges up in the world---and then defines himself afterwards. If man as the existentialist sees him is not defineable, it is because to begin with he is nothing. He will not be anything until later, and then he will be what he makes of himself. Thus, there is no human nature, because there is no God to have a conception of it. Man simply is.”
[12] Ibid., hlm. 33
[13] Dostoevsky dalam The Brothers Karamazov sebagaimana diucapkan oleh tokoh utama dalam cerita itu, Ivan. [14] Ibid., hlm. 41.
[15] Ibid., hlm. 45. Dikatakan di situ, “All kinds of materialism lead one to treat everyman including oneself as an object---that is a set of pre-determined reactions, in no way different from the patterns of qualities and phenomena which constitute a table, or a chair or a stone.” [16] Ibid., hlm. 54.
[17] Ini kritik Sartre atas humanisme à la Era Pencerahan (Aufklärung) yang terutama berpuncak pada imperatif kategoris Kant yang kedua yang kira-kira berbunyi demikian, “Perlakukanlah manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan bukan sebagai sarana atau alat untuk mencapai sesuatu”
[18] oleh dirinya sendiri dan bukan oleh kategori-kategori yang dipaksakan dari luar dirinya seperti dari tradisi atau pepatah bijak masa lalu. [19] Sartre, op. cit., hlm. 56.
[20] Jeff Mason, Sartre"s Existential Humanism Part 1 taken from http://www.philosophersnet.com/article.php?id=172
[21] Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky to Sartre, Cleveland: The World Publishing Company, 1956, hlm. 47
[22] Bisa dibandingkan dengan integritas tokoh Ibbieta yang teruji di hadapan maut (regu tembak) dalam Novel “Dinding” (Le Mur, Editions Gallimard, 1939, hlm. 9-35) karya Sartre
[23] John Macquarrie, Existentialism , Middlesex-England: Penguin Books, 1972, hlm. 138. Dikatakan di situ, “But how can we talk at all of freedom or try to conceptualize it? However we try to grasp it, it seems to elude us. However precious we may esteem it, by its very nature it is insubstantial and fleeting.”
[24] Frederick Copleston, A History of Philosophy: From Bergson to Sartre; Chapter XVI ∓mp; XVII: The Existentialism of Sartre, Garden City, Doubleday Co.: Image Books, 1962, hlm. 355.
[2] Pada bagian pengantar ini, penulis mengutip sebagian dari deskripsi historis yang disampaikan Prof. Dr. K. Bertens dalam Filsafat Barat Abad XX Jilid II: Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 84-86.
[3] Keyakinan ini sudah dikatakan oleh Sartre di bagian paling awal dari bukunya tersebut, “Tujuan saya menulis buku ini adalah untuk membela eksistensialisme dari sejumlah kritik yang ditujukan padanya.” (ibid. hlm. 23)
[4] Pengertian Quietisme di sini, sebagaimana disebutkan Sartre sendiri, adalah sikap orang yang berkata “biarkan orang lain mengerjakan apa yang tidak bisa kukerjakan.” (ibid. hlm. 41) Quietisme di sini dekat dengan pengertian non-doing, atau bahkan, seperti yang sering dikritik Sartre, cara hidup abad pertengahan: via contemplativa. Dan bukan via activa, hidup yang melibatkan diri dengan persoalan real yang dihadapi masyarakat, termasuk menceburkan diri ke dalam alam politik. Untuk pembedaan yang lebih terelaborasi mengenai tema ini (via activa vs. via contemplativa), lihat karya Hannah Arendt, The Human Condition, New York: Double Day Press, 1957.
[5] Ibid., hlm. 24, “The essential charge laid against us is that of over-emphasis upon the evil side of human life.” Di tempat lain ia mengatakan bahwa ada sejumlah orang yang mengeluh, “that existentialism is too gloomy a view of things.” (ibid., hlm. 25)
[6] Ibid. Di sini Sartre agak humoris dengan mengambil contoh dari seorang wanita yang saat terkaget atau sedang stress lalu mengumpat dengan kata-kata vulgar, dan setelahnya memaafkan dirinya dengan berkata “I believe I am becoming an existentialist.”
[7] Ibid., hlm. 25-26. [8] Ibid., hlm. 46. [9] Ibid., hlm. 26.
[10] Yang dimaksud dengan paper knife ini bisa jadi berupa cutter (pemotong kertas) atau pembuka surat yang bentuknya memang seperti pisau tetapi ujungnya majal. Namun yang penting di sini bukan contoh benda konkretnya melainkan bagaimana Sartre menjelaskan analogi eksistensi dan esensi dengan menggunakan contoh benda-benda konkret.
[11] Ibid., hlm. 28. pantas dikutip secara panjang lebar di sini apa yang dikatakan Sartre, yang menurut hemat saya, menjadi pemikiran sentral Sartre atas siapakah manusia itu. Dikatakan, “What do we mean by saying that existence precedes essence? We mean that man first of all exists, encounters himself, surges up in the world---and then defines himself afterwards. If man as the existentialist sees him is not defineable, it is because to begin with he is nothing. He will not be anything until later, and then he will be what he makes of himself. Thus, there is no human nature, because there is no God to have a conception of it. Man simply is.”
[12] Ibid., hlm. 33
[13] Dostoevsky dalam The Brothers Karamazov sebagaimana diucapkan oleh tokoh utama dalam cerita itu, Ivan. [14] Ibid., hlm. 41.
[15] Ibid., hlm. 45. Dikatakan di situ, “All kinds of materialism lead one to treat everyman including oneself as an object---that is a set of pre-determined reactions, in no way different from the patterns of qualities and phenomena which constitute a table, or a chair or a stone.” [16] Ibid., hlm. 54.
[17] Ini kritik Sartre atas humanisme à la Era Pencerahan (Aufklärung) yang terutama berpuncak pada imperatif kategoris Kant yang kedua yang kira-kira berbunyi demikian, “Perlakukanlah manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan bukan sebagai sarana atau alat untuk mencapai sesuatu”
[18] oleh dirinya sendiri dan bukan oleh kategori-kategori yang dipaksakan dari luar dirinya seperti dari tradisi atau pepatah bijak masa lalu. [19] Sartre, op. cit., hlm. 56.
[20] Jeff Mason, Sartre"s Existential Humanism Part 1 taken from http://www.philosophersnet.com/article.php?id=172
[21] Walter Kaufmann, Existentialism from Dostoevsky to Sartre, Cleveland: The World Publishing Company, 1956, hlm. 47
[22] Bisa dibandingkan dengan integritas tokoh Ibbieta yang teruji di hadapan maut (regu tembak) dalam Novel “Dinding” (Le Mur, Editions Gallimard, 1939, hlm. 9-35) karya Sartre
[23] John Macquarrie, Existentialism , Middlesex-England: Penguin Books, 1972, hlm. 138. Dikatakan di situ, “But how can we talk at all of freedom or try to conceptualize it? However we try to grasp it, it seems to elude us. However precious we may esteem it, by its very nature it is insubstantial and fleeting.”
[24] Frederick Copleston, A History of Philosophy: From Bergson to Sartre; Chapter XVI ∓mp; XVII: The Existentialism of Sartre, Garden City, Doubleday Co.: Image Books, 1962, hlm. 355.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar