Rabu, 21 Desember 2011


TUGAS RESUME
Nama : Dadang Nurjaman
NIM    : 208203336

Secara kronologi historik asal mula kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophos, philosophi. Kata ini kemudian dipakai dalam bahasa Latin philosophia dan Prancis klasik filosofie. Lalu diadopsi dalam bahasa Inggris abad pertengahan menjadi philosophie dan kemudian philosophy. Dalam bahasa Arab diadaptasi menjadi falsafah (jamak, falasifah) dan dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai filsafat atau filosofi. Yang artinya cinta kebijaksanaan (love of wisdom).

Setidaknya ada 8 makna filsafat secara terminologis (istilah). Namun yang paling relevan dengan tulisan ini adalah “a set of ideas or beliefs relating to a particular field or activity; an underlying theory” (ide pokok yang menjadi landasan suatu aktifitas atau keilmuan tertentu). Dengan definisi ini, ketika dikatakan “filsafat pendidikan Islam”, maka maksudnya adalah apa saja kerangka ide utama suatu sistem pendidikan itu disebut Islami atau berada dalam koridor keislaman. Dan apa tujuan utama dari suatu sistem pendidikan Islam. Tulisan singkat ini hanya akan menggarisbawahi sejumlah filosofi pendidikan Islam di mata kalangan edukator muslim berpengaruh, baik yang klasik maupun kontemporer.

Pendidikan Islam ideal, kata Wan M. Nor Wan Daud, harus meliputi dua kategori ilmu tradisional, dan hubungan hirarki keduanya. Yakni ilmu wahyu yang dapat dicapai melalui ilmu-ilmu agama (QS At Taubah 9:122). Dan ilmu umum yang dapat digali melalui ilmu rasional, intelektual dan filosofis. (QS Ali Imron 3:190).

Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa dalam konsep tauhid, ilmu bersifat holistik (menyeluruh). Tidak ada pembagian ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Karena kedua tipe keilmuan itu sama-sama ikut berkontribusi dalam memperkuat iman. Ilmu agama memperkuat keimanan melalui wahyu sementara ilmu umum melalui kajian ilmu humanitas dan alam secara sistematik dan seksama.

Syed Muhammad Naguib al-Attas menyebut pendidikan Islam sebagai ta’dib (dari kata, adab). Dia mendefinisikan istilah ini sebagai kedisiplinan fisik, pikiran dan jiwa yang memungkinkan manusia untuk mengenal dan mengakui posisi yang pantas dalam hubungannya dengan dirinya, keluarganya dan komunitasnya. Kepantasan posisi atau derajat seseorang adalah berdasarkan pada kriteria intelektual, ilmu dan kesalihan (ihsan). Dengan pengertian ini, adab adalah refleksi kearifan (hikmah) dan kedilan (‘adl).

Al Attas bukanlah “inventor” pertama yang memperkenalkan istilah adab dalam konsep pendidikan Islam. Adalah sastrawan Arab legendaris Amr bin Bahr al-Jahiz (wafat 869 M) yang mempopulerkan istilah ini pertama kali. Al Jahiz mengartikan adab sebagai sistem pendidikan menyeluruh dari seorang muslim yang berbudaya yang menjadikan seluruh isi dunia sebagai obyek ilmu dan rasa keingintahuan. Di mana pada gilirannya pendidikan yang holistik akan memengaruhi perkembangan moral seseorang ke arah yang lebih baik.

Pandangan serupa juga diungkapkan oleh seorang edukator muslim asal Turki Fethullah Gülen. Menurutnya filsafat pendidikan Islam adalah sistem pendidikan holistik, menyeluruh dan tidak terpisah—antara ilmu agama dan ilmu umum– yang bertujuan untuk memperkaya pemikiran spiritual dan kritis baik bagi laki-laki dan perempuan. Bagi Gulen, pendidikan adalah alat untuk melatih jiwa dan raga dalam rangka melaksanakan kehendak Allah di muka bumi. Menurutnya pelatihan yang tepat dari seluruh aspek kondisi manusia akan membuahkan hasil yang holistik bagi seseorang baik secara spiritual, moral, rasional dan psikologis.

Gulen tidak sependapat adanya garis pemisah antara ilmu agama (religious sciences) dan ilmu umum (secular sciences). Pemisahan ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu umum adalah pandangan tidak holistik atas ilmu Allah. Dia menyadari pentingnya menguasai ilmu-ilmu sains dan menekankan bahwa tak ada pemisahan kognitif antara kebenaran spiritual dan penelitian saintifik, dan oleh karena itu dia meyakini bahwa tidak ada ketidakcocokan (disharmoni) antara prinsip-prinsip Islam dan metodologi saintifik.

Dari pandangan sejumlah edukator muslim di atas, dapat digarisbawahi bahwa filosofi atau kerangka besar (grand design) pendidikan Islam memiliki beberapa tujuan dasar penting sebagai berikut:
 Pertama, bahwa pendidikan bertujuan untuk mendidik raga, pikiran dan jiwa untuk semakin bertakwa dan beriman kepada Allah yang pada gilirannya akan tergambar pada perilaku salih (ihsan) dan arif (hikmah) serta adil. Dengan demikian, seluruh proses belajar mengajar dan pelatihan harus mengarah ke tujuan peningkatan keimanan tersebut.

Kedua, dalam konsep tauhid ilmu agama dan ilmu umum bukanlah sesuatu yang berbeda karena keduanya sama-sama ilmu Allah dan dapat berpotensi sebagai alat untuk meningkatkan keimanan dan pengembangan kepribadian moral, spiritual dan psikologis.

Ketiga, bahwa kriteria yang pantas bagi seseorang untuk menempati suatu posisi hendaknya berdasarkan pada tiga elemen yaitu intelektual, ilmu dan kesalihan. Dan ini harus menjadi kesadaran inheren anak didik sejak dini.

Sistem Nilai Dan Moral Islami  & Manusia Dan Fitrah Perkembangannya

Mengenai nilai, saya akan membahas mengenai etika. Etika adalah nilai-nilai berupa norma-norma moral yang menjadi pedoman hidup bagi seseorang atau kelompok orang dalam berperilaku atau berbuat. Etika dalam arti ini disebut “sistem nilai budaya”. Sistem nilai budaya merupakan gambaran perilaku baik, benar, dan bermanfaat yang terdapat dalam pikiran (akal sehat) seseorang atau kelompok. Perilaku yang dibenarkan, diterima karena bermanfaat bagi semua orang.
Dengan demikian, sistem nilai selalu mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu:
1)   Norma moral, sebagai acuan perilaku, jenisnya adalah peraturan, pemberitahuan, petunjuk, arahan, dan simbol
2)   Keberlakuan norma moral, hasilnya perbuatan baik, benar, dan bermanfaat, contohnya berkendaraan di jalan sebelah kiri, bekerja keras dan produktif, atau membersihkan lingkungan tempat tinggal
3) Nilai-nilai, sebagai produk perbuatan berdasarkan norma moral, contohnya adalah ketertiban, kesejahteraan, kesehatan, dan penghargaan
Sistem nilai budaya akan dipahami dan dipatuhi orang lain atau kelompok masyarakat apabila diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata yang dapat dijadikan teladan. Apabila yang berbuat itu tokoh, pemimpin, atau fungsionaris masyarakat, sistem nilai budaya itu akan cepat berkembang dan dianuti anggota masyarakat, sehingga menjadi terbiassa dan membudaya, yang disebut budaya masyarakat.

Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathr yang berati belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna antara lain “penciptaan’ dan “ kejadian”. Fitrah manusia adalah kejadian sejak semula atau bawaan sejak lahirnya. Adalah tugas pendidikan untuk mengembangkan potensi (fitrah), shingga dengan proses pendidikan manusia mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer kebudayaannya  dari suatu komunitas ke komunitas yang lain, mengetahui nilai baik dan buruk dan lain sebagainya. Hanya bagaimna langkah-langkah untuk mengembangkan fitrah tersebut ? Filsafat ilmu pendidikan atau bahkan mengacu kepada petunjuk-petunjuk al-Quran juga bisa mendapatkan solusinya.
Bila makna manusia yang ditunjukan Allah dalam al-Quran dicermati secara seksama, sesungguhnya akan dapat dijadikan pedoman bagi upaya mempormat interaksi pendidikan yang proporsional dan ideal. Hal ini dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu : Pertama, Pendekatan perkata. Ketia Allah menggunakan term al-basyar dalam menunjuk manusia sebagai makhluk biologis , maka interaksi pendidikan yang ditawarkan harus pula menyentuh perkembangan potensi biologis (fisik) peserta didik. Ketika allah menggunakan term al-insan, maka interaksi pendidikan harus pula mampu mengembangkan aspek fisik dan psikis peserta didik. Demikian pula ketika Allah menggunakan term an-nas, maka interaksi pendidikan harus pula mampu menyentuh kehidupan sosial peserta didik. Ketiga term tersebut harus diformulasi secara integral dan haromnis dalam setiap interaksi pendidikan yang ditawarkan. Hanya saja mungkin dalam operasionalnya, proporsi antara ketiga term tersebut sedikit berbeda penekanannya, sesuai dengan materi dan tujuan yang ingin dicapai dari proses pendidikan tersebut.
Kesemua pendekatan tersebut harus berjalan secara berproses dan berkesinambungan, sebagaimana proses kejadian manusia yang telah ditunjukan dan digambarkan Allah dalam al-quran. Dengan bentuk interaksi  yang demikian, maka proses belajar yang ditawarkan akan mampu menarik dan mendapatkan respon positif. Pendekatan yang demikian juga akan mampu menumbuhkan minat peserta didik untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilkinya, tanpa melupakan visi sosio-kultural dan nramtifitas kewahtyuan.
Kedua, pendekatan makna subtansial. Ketika Allah menunjukan ketiga term tersebut dalam memaknai manusia, Allah SWT secara implisit telah melakukan serangkaian interaksi edukatif pada manusia secara proporsional. Allah telah memberikan kelebihan pada manusia dengan berbagai potensi yang bersifat dinamis , disamping berbagai kelemahan dan keterbatasan manusia dalam menjalankan kehidupannya di muka bumi. Dengan berbagai potensi tersebut, manusia lebih unggul dan sempurna –sesuai dengan tujuan penciptaannya–, dibanding dengan makhluk Allah lainnya. Di sisi lain manusia juga bisa menjadi makhluk yang paling hina, tatkala seluruh potensi tersebut tak mampu diaktualkan dan diarahkan secara maksimal, sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Dalam posisi ini, Allah telah memberikan kebebasan pada manusia untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliknya secara maksimal dalam batas-batas yang diridoi-Nya.
Interaksi yang ditawarkan allah melalui pendekatan ketiga term manusia yang digunakan al-Quran, merupakan sebuah pendekatan interaksi edukatif yang bersifat persuasif dan integral. Intergralitasnya mencakup aspek jasmani, rohani, intelektual, emosi, akhlak, ketrampilan, dan sosial. Al-Quran dalam mendepinisikan manusia  lebih mengacu pada aspek psikis, hal ini disebabkan karena esensi manusia terletak pada aspek psikisnya, disamping aspek fisiknya. Keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, sebab wujud manusia terletak pada kedua aspek tersebut.
Kesatuan wujud manusia antara jasmaniah dan rohaniah yang didukung oleh potensi-potensi yang ada di dalamnya, membuktikan sempurnanya Allah menciptakan makhluk-Nya terutama manusia. Diciptakannya manusia dengan sebaik-baik bentuk dengan dibekali berbagai potensi, menempatkan manusia pada posisi yang sangat strategis dan mulia.Konsekuensi dari hal ini, terlihat dari kedudukannya dimuka bumi yaitu sebagai abd.. Allah (hamba allah) dan khalifah fil-ard.
Konsep fitrah manusia dalam perspktif pendidikan Islam , tidak sama dengan teori Tabulasara John Locke. Sebab dalam Islam, manusia sejak lahir telah memiliki berbagai bentuk potensi yang bisa dikembangkan. Tanpa potensi tersebut, manusia akan sulit untuk mampu melaksanakan tugas dan fungsinya  sebagai wakil Allah. Konsep fitrah manusia menurut Islam juga berbeda jauh dengan teori nativisme  A.Scophenhour, sebab dalam Islam mengakui adanya pengaruh yang besar di luar diri manusia, baik insani maupun non isnsani, dalam mengembangkan dan memodifikasi potensi yang dimilkinya.
Konsep fitrah, menurut islam juga berbeda dengan teori konvergensi yang dilakukan oleh William stren. Sebab dalam pandangan Islam, perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan dan tidak bisa ditentukan melalui pendekatan kuantitas, sejauh mana peranan keduanya 9potensi dan lingkunan) dalam membentuk kepribadian manusia. Adakalanya potensi yang lebih dominan dalam membentuk kepribadian manusia, tapi ada juga kalanya lingkungan yang lebih dominan, atau kedua-duanya sama dominannya.  Bahkan dalam Islam, di luar kedua pengaruh tersebut, ada pengaruh lainnya yang juga ikut memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian manusia, yaitu faktor hidayah yang diberikan allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki.
Stidaknya ada empat bentuk hidayah yang diberikan allah kepada manusia, yaitu : pertama, hidayah potensi naluriah (hidayat al-wujdan) yang dibawanya sejak lahir, seperti makan,menyusu, dan sebagainya. Kedua, hidayah potensi indrawi (hidayat al-hawasy) berupa pancaindera. Ketiga, hidayah potensi akal (hidayat al-‘aql). Keempat, hidayah potensi agama (hidayat ad-din).
Dari penjelasan di atas , terlihat bahwa cakupan dan pengertian fitrah manusia dalam perspektif pendidikan islam memilki makna yang sangat luas dibanding dengan batasan  yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan kontemporer. Dengan luasnya cakupan yang dikandung dalam makna fitrah manusia di atas, sekaligus meng-counter pandangan beberapa teori pendidikan kontemporer di atas dalam melihat potensi manusia yang terkesan bersifat parsial dan lepas dari kerangka bingai religiusitas manusia yang skral dan asasi.
Implikasi dari rujukan di atas memberikan nuansa bahwa wacana pendidikan islam merupakan sarana bagi pengembangan potensi  yang dimilki manusia seoptimal mungkin. Dengan demikian, manusia sangat memerlukan pendidikan, baik formal, informal, maupun non formal.
Demikian juga sebaliknya, proses pendidikan tidak akan banyak berperan, jika lahan kajiannya –manusia—merupakan makhluk yang bersifat pasif dan statis, sebagaimana potensi yang dimiliki makhluk Allah selain manusia. Artinya, manusialah –merupakan makhluk Allah—yang dapat dan memerlukan pendidikan untuk mempersiapkan dirinya mampu mengembangkan dan memikul amanat yang diberikan Allah kepadanya.
Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan islam ukan hanya sekedar proses pentrensferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dari satu generasi  kepada generasi berikutnya, akan tetapi jauh dari itu, pendidikan islam merupakan suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya, yang meliputi pengembangan jasmani , rasionalitas, intelektualitas, emosi, dan akhlak, yang berfungsi menyiapkan individu muslim yang memilki kepribadian paripurna bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Dengan demikian, berarti pendidikan islam merupakan proses peneneman nilai Ilahiyah  yang diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yang disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan potensi peserta didik. Artinya, pola pendidikan yang ditawarkan harus disesuaikan dengan kebutuhan fisik  dan psikis peserta didik sebagai subyek pendidikan. Jika tidak, proses pendidikan yang ditawarkan akan mengalami kebekuan dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus mampu menyentuh kesemua asfek manusia secara utuh, yaitu asfek jasamaniah dan rohaniah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar