TUGAS RESUME
Nama : Dadang Nurjaman
NIM : 208203336
Secara kronologi historik asal mula kata filsafat berasal dari bahasa
Yunani philosophos, philosophi. Kata ini kemudian dipakai dalam bahasa Latin
philosophia dan Prancis klasik filosofie. Lalu diadopsi dalam bahasa Inggris
abad pertengahan menjadi philosophie dan kemudian philosophy. Dalam bahasa Arab
diadaptasi menjadi falsafah (jamak, falasifah) dan dalam bahasa Indonesia
dikenal sebagai filsafat atau filosofi. Yang artinya cinta kebijaksanaan (love of wisdom).
Setidaknya ada 8 makna filsafat secara terminologis (istilah). Namun yang
paling relevan dengan tulisan ini adalah “a set of ideas or beliefs relating to
a particular field or activity; an underlying theory” (ide pokok yang menjadi
landasan suatu aktifitas atau keilmuan tertentu). Dengan definisi ini, ketika
dikatakan “filsafat pendidikan Islam”, maka maksudnya adalah apa saja kerangka
ide utama suatu sistem pendidikan itu disebut Islami atau berada dalam koridor
keislaman. Dan apa tujuan utama dari suatu sistem pendidikan Islam. Tulisan
singkat ini hanya akan menggarisbawahi sejumlah filosofi pendidikan Islam di
mata kalangan edukator muslim berpengaruh, baik yang klasik maupun kontemporer.
Pendidikan Islam ideal, kata Wan M. Nor Wan Daud, harus meliputi dua
kategori ilmu tradisional, dan hubungan hirarki keduanya. Yakni ilmu wahyu yang
dapat dicapai melalui ilmu-ilmu agama (QS At Taubah 9:122). Dan ilmu umum yang
dapat digali melalui ilmu rasional, intelektual dan filosofis. (QS Ali Imron
3:190).
Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa dalam konsep tauhid, ilmu bersifat
holistik (menyeluruh). Tidak ada pembagian ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu
umum. Karena kedua tipe keilmuan itu sama-sama ikut berkontribusi dalam
memperkuat iman. Ilmu agama memperkuat keimanan melalui wahyu sementara ilmu
umum melalui kajian ilmu humanitas dan alam secara sistematik dan seksama.
Syed Muhammad Naguib al-Attas menyebut pendidikan Islam sebagai ta’dib
(dari kata, adab). Dia mendefinisikan istilah ini sebagai kedisiplinan fisik,
pikiran dan jiwa yang memungkinkan manusia untuk mengenal dan mengakui posisi
yang pantas dalam hubungannya dengan dirinya, keluarganya dan komunitasnya.
Kepantasan posisi atau derajat seseorang adalah berdasarkan pada kriteria
intelektual, ilmu dan kesalihan (ihsan). Dengan pengertian ini, adab adalah
refleksi kearifan (hikmah) dan kedilan (‘adl).
Al Attas bukanlah “inventor” pertama yang memperkenalkan istilah adab dalam
konsep pendidikan Islam. Adalah sastrawan Arab legendaris Amr bin Bahr al-Jahiz
(wafat 869 M) yang mempopulerkan istilah ini pertama kali. Al Jahiz mengartikan
adab sebagai sistem pendidikan menyeluruh dari seorang muslim yang berbudaya
yang menjadikan seluruh isi dunia sebagai obyek ilmu dan rasa keingintahuan. Di
mana pada gilirannya pendidikan yang holistik akan memengaruhi perkembangan
moral seseorang ke arah yang lebih baik.
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh seorang edukator muslim asal Turki
Fethullah Gülen. Menurutnya filsafat pendidikan Islam adalah sistem pendidikan
holistik, menyeluruh dan tidak terpisah—antara ilmu agama dan ilmu umum– yang
bertujuan untuk memperkaya pemikiran spiritual dan kritis baik bagi laki-laki
dan perempuan. Bagi Gulen, pendidikan adalah alat untuk melatih jiwa dan raga
dalam rangka melaksanakan kehendak Allah di muka bumi. Menurutnya pelatihan
yang tepat dari seluruh aspek kondisi manusia akan membuahkan hasil yang
holistik bagi seseorang baik secara spiritual, moral, rasional dan psikologis.
Gulen tidak sependapat adanya garis pemisah antara ilmu agama (religious
sciences) dan ilmu umum (secular sciences). Pemisahan ilmu menjadi ilmu agama
dan ilmu umum adalah pandangan tidak holistik atas ilmu Allah. Dia menyadari
pentingnya menguasai ilmu-ilmu sains dan menekankan bahwa tak ada pemisahan
kognitif antara kebenaran spiritual dan penelitian saintifik, dan oleh karena
itu dia meyakini bahwa tidak ada ketidakcocokan (disharmoni) antara
prinsip-prinsip Islam dan metodologi saintifik.
Dari pandangan sejumlah edukator muslim di atas, dapat digarisbawahi bahwa
filosofi atau kerangka besar (grand design) pendidikan Islam memiliki beberapa
tujuan dasar penting sebagai berikut:
Pertama, bahwa pendidikan bertujuan
untuk mendidik raga, pikiran dan jiwa untuk semakin bertakwa dan beriman kepada
Allah yang pada gilirannya akan tergambar pada perilaku salih (ihsan) dan arif
(hikmah) serta adil. Dengan demikian, seluruh proses belajar mengajar dan
pelatihan harus mengarah ke tujuan peningkatan keimanan tersebut.
Kedua, dalam konsep tauhid ilmu agama dan ilmu umum bukanlah sesuatu yang
berbeda karena keduanya sama-sama ilmu Allah dan dapat berpotensi sebagai alat
untuk meningkatkan keimanan dan pengembangan kepribadian moral, spiritual dan
psikologis.
Ketiga, bahwa kriteria yang pantas bagi seseorang untuk menempati suatu
posisi hendaknya berdasarkan pada tiga elemen yaitu intelektual, ilmu dan
kesalihan. Dan ini harus menjadi kesadaran inheren anak didik sejak dini.
Sistem Nilai Dan Moral
Islami & Manusia Dan Fitrah
Perkembangannya
Mengenai nilai, saya akan membahas mengenai etika. Etika adalah nilai-nilai
berupa norma-norma moral yang menjadi pedoman hidup bagi seseorang atau
kelompok orang dalam berperilaku atau berbuat. Etika dalam arti ini disebut
“sistem nilai budaya”. Sistem nilai budaya merupakan gambaran perilaku baik,
benar, dan bermanfaat yang terdapat dalam pikiran (akal sehat) seseorang atau
kelompok. Perilaku yang dibenarkan, diterima karena bermanfaat bagi semua
orang.
Dengan demikian, sistem nilai selalu mengandung 3
(tiga) unsur, yaitu:
1) Norma moral, sebagai acuan perilaku, jenisnya adalah peraturan,
pemberitahuan, petunjuk, arahan, dan simbol
2) Keberlakuan norma moral, hasilnya perbuatan baik, benar, dan bermanfaat,
contohnya berkendaraan di jalan sebelah kiri, bekerja keras dan produktif, atau
membersihkan lingkungan tempat tinggal
3) Nilai-nilai,
sebagai produk perbuatan berdasarkan norma moral, contohnya adalah ketertiban,
kesejahteraan, kesehatan, dan penghargaan
Sistem nilai budaya akan dipahami dan dipatuhi orang
lain atau kelompok masyarakat apabila diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata
yang dapat dijadikan teladan. Apabila yang berbuat itu tokoh, pemimpin, atau
fungsionaris masyarakat, sistem nilai budaya itu akan cepat berkembang dan
dianuti anggota masyarakat, sehingga menjadi terbiassa dan membudaya, yang
disebut budaya masyarakat.
Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathr yang
berati belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna antara lain “penciptaan’
dan “ kejadian”. Fitrah manusia adalah kejadian sejak semula atau bawaan sejak
lahirnya. Adalah tugas pendidikan untuk mengembangkan potensi (fitrah), shingga
dengan proses pendidikan manusia mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer
kebudayaannya dari suatu komunitas ke komunitas yang lain, mengetahui
nilai baik dan buruk dan lain sebagainya. Hanya bagaimna langkah-langkah untuk
mengembangkan fitrah tersebut ? Filsafat ilmu pendidikan atau bahkan mengacu
kepada petunjuk-petunjuk al-Quran juga bisa mendapatkan solusinya.
Bila makna manusia yang ditunjukan Allah dalam al-Quran dicermati
secara seksama, sesungguhnya akan dapat dijadikan pedoman bagi upaya mempormat
interaksi pendidikan yang proporsional dan ideal. Hal ini dapat dilihat dari
dua pendekatan, yaitu : Pertama, Pendekatan perkata. Ketia Allah menggunakan
term al-basyar dalam menunjuk manusia sebagai makhluk biologis , maka interaksi
pendidikan yang ditawarkan harus pula menyentuh perkembangan potensi biologis
(fisik) peserta didik. Ketika allah menggunakan term al-insan, maka interaksi
pendidikan harus pula mampu mengembangkan aspek fisik dan psikis peserta didik.
Demikian pula ketika Allah menggunakan term an-nas, maka interaksi pendidikan
harus pula mampu menyentuh kehidupan sosial peserta didik. Ketiga term tersebut
harus diformulasi secara integral dan haromnis dalam setiap interaksi
pendidikan yang ditawarkan. Hanya saja mungkin dalam operasionalnya, proporsi
antara ketiga term tersebut sedikit berbeda penekanannya, sesuai dengan materi
dan tujuan yang ingin dicapai dari proses pendidikan tersebut.
Kesemua pendekatan tersebut harus berjalan secara berproses dan
berkesinambungan, sebagaimana proses kejadian manusia yang telah ditunjukan dan
digambarkan Allah dalam al-quran. Dengan bentuk interaksi yang demikian,
maka proses belajar yang ditawarkan akan mampu menarik dan mendapatkan respon
positif. Pendekatan yang demikian juga akan mampu menumbuhkan minat peserta
didik untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilkinya, tanpa melupakan visi
sosio-kultural dan nramtifitas kewahtyuan.
Kedua, pendekatan makna subtansial. Ketika Allah menunjukan ketiga term
tersebut dalam memaknai manusia, Allah SWT secara implisit telah melakukan
serangkaian interaksi edukatif pada manusia secara proporsional. Allah telah
memberikan kelebihan pada manusia dengan berbagai potensi yang bersifat dinamis
, disamping berbagai kelemahan dan keterbatasan manusia dalam menjalankan
kehidupannya di muka bumi. Dengan berbagai potensi tersebut, manusia lebih
unggul dan sempurna –sesuai dengan tujuan penciptaannya–, dibanding dengan
makhluk Allah lainnya. Di sisi lain manusia juga bisa menjadi makhluk yang
paling hina, tatkala seluruh potensi tersebut tak mampu diaktualkan dan
diarahkan secara maksimal, sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Dalam posisi
ini, Allah telah memberikan kebebasan pada manusia untuk mengembangkan seluruh
potensi yang dimiliknya secara maksimal dalam batas-batas yang diridoi-Nya.
Interaksi yang ditawarkan allah melalui pendekatan ketiga term manusia
yang digunakan al-Quran, merupakan sebuah pendekatan interaksi edukatif yang
bersifat persuasif dan integral. Intergralitasnya mencakup aspek jasmani,
rohani, intelektual, emosi, akhlak, ketrampilan, dan sosial. Al-Quran dalam
mendepinisikan manusia lebih mengacu pada aspek psikis, hal ini
disebabkan karena esensi manusia terletak pada aspek psikisnya, disamping aspek
fisiknya. Keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, sebab
wujud manusia terletak pada kedua aspek tersebut.
Kesatuan wujud manusia antara jasmaniah dan rohaniah yang didukung oleh
potensi-potensi yang ada di dalamnya, membuktikan sempurnanya Allah menciptakan
makhluk-Nya terutama manusia. Diciptakannya manusia dengan sebaik-baik bentuk
dengan dibekali berbagai potensi, menempatkan manusia pada posisi yang sangat
strategis dan mulia.Konsekuensi dari hal ini, terlihat dari kedudukannya dimuka
bumi yaitu sebagai abd.. Allah (hamba allah) dan khalifah fil-ard.
Konsep fitrah manusia dalam perspktif pendidikan Islam , tidak sama
dengan teori Tabulasara John Locke. Sebab dalam Islam, manusia sejak lahir
telah memiliki berbagai bentuk potensi yang bisa dikembangkan. Tanpa potensi
tersebut, manusia akan sulit untuk mampu melaksanakan tugas dan fungsinya
sebagai wakil Allah. Konsep fitrah manusia menurut Islam juga berbeda jauh
dengan teori nativisme A.Scophenhour, sebab dalam Islam mengakui adanya
pengaruh yang besar di luar diri manusia, baik insani maupun non isnsani, dalam
mengembangkan dan memodifikasi potensi yang dimilkinya.
Konsep fitrah, menurut islam juga berbeda dengan teori konvergensi yang
dilakukan oleh William stren. Sebab dalam pandangan Islam, perkembangan potensi
manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan dan tidak bisa
ditentukan melalui pendekatan kuantitas, sejauh mana peranan keduanya 9potensi
dan lingkunan) dalam membentuk kepribadian manusia. Adakalanya potensi yang
lebih dominan dalam membentuk kepribadian manusia, tapi ada juga kalanya
lingkungan yang lebih dominan, atau kedua-duanya sama dominannya. Bahkan
dalam Islam, di luar kedua pengaruh tersebut, ada pengaruh lainnya yang juga
ikut memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian manusia, yaitu
faktor hidayah yang diberikan allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki.
Stidaknya ada empat bentuk hidayah yang diberikan allah kepada manusia,
yaitu : pertama, hidayah potensi naluriah (hidayat al-wujdan) yang dibawanya
sejak lahir, seperti makan,menyusu, dan sebagainya. Kedua, hidayah potensi
indrawi (hidayat al-hawasy) berupa pancaindera. Ketiga, hidayah potensi akal
(hidayat al-‘aql). Keempat, hidayah potensi agama (hidayat ad-din).
Dari penjelasan di atas , terlihat bahwa cakupan dan pengertian fitrah
manusia dalam perspektif pendidikan islam memilki makna yang sangat luas
dibanding dengan batasan yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan
kontemporer. Dengan luasnya cakupan yang dikandung dalam makna fitrah manusia
di atas, sekaligus meng-counter pandangan beberapa teori pendidikan kontemporer
di atas dalam melihat potensi manusia yang terkesan bersifat parsial dan lepas
dari kerangka bingai religiusitas manusia yang skral dan asasi.
Implikasi dari rujukan di atas memberikan nuansa bahwa wacana
pendidikan islam merupakan sarana bagi pengembangan potensi yang dimilki
manusia seoptimal mungkin. Dengan demikian, manusia sangat memerlukan
pendidikan, baik formal, informal, maupun non formal.
Demikian juga sebaliknya, proses pendidikan tidak akan banyak berperan,
jika lahan kajiannya –manusia—merupakan makhluk yang bersifat pasif dan statis,
sebagaimana potensi yang dimiliki makhluk Allah selain manusia. Artinya,
manusialah –merupakan makhluk Allah—yang dapat dan memerlukan pendidikan untuk
mempersiapkan dirinya mampu mengembangkan dan memikul amanat yang diberikan
Allah kepadanya.
Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan islam ukan hanya sekedar proses
pentrensferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dari satu generasi kepada
generasi berikutnya, akan tetapi jauh dari itu, pendidikan islam merupakan
suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta
didiknya, yang meliputi pengembangan jasmani , rasionalitas, intelektualitas,
emosi, dan akhlak, yang berfungsi menyiapkan individu muslim yang memilki
kepribadian paripurna bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Dengan demikian,
berarti pendidikan islam merupakan proses peneneman nilai Ilahiyah yang
diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yang disesuaikan dengan kemampuan
dan perkembangan potensi peserta didik. Artinya, pola pendidikan yang
ditawarkan harus disesuaikan dengan kebutuhan fisik dan psikis peserta
didik sebagai subyek pendidikan. Jika tidak, proses pendidikan yang ditawarkan
akan mengalami kebekuan dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan
harus mampu menyentuh kesemua asfek manusia secara utuh, yaitu asfek jasamaniah
dan rohaniah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar