Rabu, 21 Desember 2011

Bagaimana Berfilsafat dengan Anak-anak?


Penulis: Retno Susilowatie 
Surabaya News, tanggal 2003-10-05

          Anak-anak pada generasi sekarang memang bisa menikmati hasil kecanggihan budaya-budaya berpikir modern, tetapi sekaligus menanggung segala resiko buruknya. Salah satu resiko buruk itu adalah ketidakpastian pegangan dan arah untuk menentukan prioritas nilai dari makna hidup. Segala doktrin yang dahulu pernah kita anggap penting, kini tak lagi mudah mereka mengerti, apalagi mereka yakini. Sementara itu, sistem-sitem nilai semakin rancu sehingga sulit diidentifikasi. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan cara berpikir filosofis menjadi sangat penting. 
 
           Teka-teki yang membingungkan dan keingintahuan memang sangat dan keingintahuan memang sangat erat berkaitan. Aristoteles mengaitkan bahwa filsafat juga berangkat dari keingintahuan. Sementara itu Bertrand Russel mengemukakan bahwa filsafat "kalaupun tidak bisa menjawab semua pertanyaan yang kita ajukan, setidaknya memiliki kekuatan untuk bertanya tentang segala sesuatu yang akan menambah pesona alam semesta ini serta memapu menguak keanehan dan keajabian di balik segala sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari.

      Aristoteles juga mengemukakan bahwa keingintahuan yang melahirkan filsafat berkaitan sangat erat dengan kecenderungan manusia untuk berteka-teki.(hlm 27).

Buku ini juga menjelaskan kepada kita bahwa sesungguhnya persoalan filsafat tidak selalu berdekatan dengan seorang psikolog besar ataupun harus seorang akademis. Namun justru mereka yang berdekatan dan banyak memahami dunia filsafat anak-anak ini tidak lain adalah para penulis cerita anak-anak, paling tidak sebagian atau bahkan seluruhnya. Mereka adalah satu-satunya wakil dari golongan orang dewasa yang betul-betul menyadari bahwa sebagian besar anak kecuali seara alamiah juga memiliki ketertarikan dengan pertanyaan-pertanyaan filsafat.

       Dalam kenyataannya barangkali sebagai pembaca akan terusik oleh gagasan untuk menanggapi setiap pertanyaan dengan dan komentar filofofis dari anak-anak secara filosofis pula. Lantas bagaimana kita melakukan? Menurut buku ini, berbicara filsafat dengan anak kecil atau siapa pun sebenarnya sama dengan merenungkan sebuah teka-teki atau persolan konseptual tertentu untuk mempelajari apakah kita bisa mencari solusi atas teka-teki atau persoalan tersebut.

      Terkadang sebagian orang bisa melakukannya, tetapi sebagian lain tidak. Kadangkala semakin jelas pemahaman kita terhadap sesuatu justru akan menunjukkan bahwa kita sama sekali tidak paham hal lainnya. Jadi keterampilan menggunakan teknik-teknik tertentu untuk mengatasi persoalan filsafat di satu sisi, bisa merupakan satu satu kenungan tetapi di sisi lain bisa juga justru akan menjadi kendala.

      Oleh karena itu, resepnya agar kita mampu berfilsafat dengan anak-anak maka kita tidak perlu merasa malu bermain filsafat. Yang paling penting kita tidak bileh membiarkan anggapan bahwa orang-orang besar telah memikirkan apa yang aka kita pikirkan hingga menggangu kesenangan kita dalam melakukan olah pikiran kita itu. Yang kita butuhkan untuk berfilsafat pada dasarnya hanyalah menyadari bahwa siapapun yang menguasai bahasa dan konsep-konsep yang diungkapkan sudah dapar berfilsafat. Kita tinggal menambahnya dengan sedikit keuletan, kesabaran dan semangat untuk memikirkan sesuatu yang mungkin sangat sederhana atau pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar sekalipun.

        Agar berhasil berfikir filsafat dengan anak kecil, kita harus menghilangkan sifat defensif dalam diri kita. Kombinasi antara niat baik dan tanggung jawab yang diberikan orang dewasa ketika berhadapan dengan anak-anak akan menghasilkan suatu hubungan yang sangat istimewa. Orang dewasa lebih menguasai bahasa daripada anak-anak, termasuk konsep-konsep yang dikomunikasikan melalui bahasa. Meskipun begitu, anak-anak memiliki mata dan telinga yang lebih tajam untuk dapat memahami teka-teki dan keganjilan. Karena masing-masing pihak memiliki keunggulan sendiri, filsafat ini bisa menhadi proyek bersama; sesuatu yang sangat jarang terjadi ketika orang dewasa berhadapan dengan anak-anak.

         Aktifitas berfilsafat, menurut Matthews sesungguhnya telah secara alamiah dimulai sejak usia sangat dini, usia yang penuh keingintahuan yang tak terbendung. Inilah titik awal yang sederhana, tetapi sangat penting bagi orang dewasa untuk menikmati kembali filsafat yang umumnya terkesan rumit dan tidak membumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar