Penulis: Retno Susilowatie
Surabaya News, tanggal 2003-10-05
Anak-anak pada generasi sekarang memang bisa menikmati hasil kecanggihan budaya-budaya berpikir modern, tetapi sekaligus menanggung segala resiko buruknya. Salah satu resiko buruk itu adalah ketidakpastian pegangan dan arah untuk menentukan prioritas nilai dari makna hidup. Segala doktrin yang dahulu pernah kita anggap penting, kini tak lagi mudah mereka mengerti, apalagi mereka yakini. Sementara itu, sistem-sitem nilai semakin rancu sehingga sulit diidentifikasi. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan cara berpikir filosofis menjadi sangat penting.
Teka-teki
yang membingungkan dan keingintahuan memang sangat dan keingintahuan memang
sangat erat berkaitan. Aristoteles mengaitkan bahwa filsafat juga berangkat
dari keingintahuan. Sementara itu Bertrand Russel mengemukakan bahwa filsafat
"kalaupun tidak bisa menjawab semua pertanyaan yang kita ajukan,
setidaknya memiliki kekuatan untuk bertanya tentang segala sesuatu yang akan
menambah pesona alam semesta ini serta memapu menguak keanehan dan keajabian di
balik segala sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari.
Aristoteles
juga mengemukakan bahwa keingintahuan yang melahirkan filsafat berkaitan sangat
erat dengan kecenderungan manusia untuk berteka-teki.(hlm 27).
Buku ini
juga menjelaskan kepada kita bahwa sesungguhnya persoalan filsafat tidak selalu
berdekatan dengan seorang psikolog besar ataupun harus seorang akademis. Namun
justru mereka yang berdekatan dan banyak memahami dunia filsafat anak-anak ini
tidak lain adalah para penulis cerita anak-anak, paling tidak sebagian atau
bahkan seluruhnya. Mereka adalah satu-satunya wakil dari golongan orang dewasa
yang betul-betul menyadari bahwa sebagian besar anak kecuali seara alamiah juga
memiliki ketertarikan dengan pertanyaan-pertanyaan filsafat.
Dalam
kenyataannya barangkali sebagai pembaca akan terusik oleh gagasan untuk
menanggapi setiap pertanyaan dengan dan komentar filofofis dari anak-anak secara
filosofis pula. Lantas bagaimana kita melakukan? Menurut buku ini, berbicara
filsafat dengan anak kecil atau siapa pun sebenarnya sama dengan merenungkan
sebuah teka-teki atau persolan konseptual tertentu untuk mempelajari apakah
kita bisa mencari solusi atas teka-teki atau persoalan tersebut.
Terkadang
sebagian orang bisa melakukannya, tetapi sebagian lain tidak. Kadangkala
semakin jelas pemahaman kita terhadap sesuatu justru akan menunjukkan bahwa
kita sama sekali tidak paham hal lainnya. Jadi keterampilan menggunakan
teknik-teknik tertentu untuk mengatasi persoalan filsafat di satu sisi, bisa
merupakan satu satu kenungan tetapi di sisi lain bisa juga justru akan menjadi
kendala.
Oleh
karena itu, resepnya agar kita mampu berfilsafat dengan anak-anak maka kita
tidak perlu merasa malu bermain filsafat. Yang paling penting kita tidak bileh
membiarkan anggapan bahwa orang-orang besar telah memikirkan apa yang aka kita
pikirkan hingga menggangu kesenangan kita dalam melakukan olah pikiran kita
itu. Yang kita butuhkan untuk berfilsafat pada dasarnya hanyalah menyadari
bahwa siapapun yang menguasai bahasa dan konsep-konsep yang diungkapkan sudah
dapar berfilsafat. Kita tinggal menambahnya dengan sedikit keuletan, kesabaran
dan semangat untuk memikirkan sesuatu yang mungkin sangat sederhana atau
pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar sekalipun.
Agar
berhasil berfikir filsafat dengan anak kecil, kita harus menghilangkan sifat
defensif dalam diri kita. Kombinasi antara niat baik dan tanggung jawab yang
diberikan orang dewasa ketika berhadapan dengan anak-anak akan menghasilkan
suatu hubungan yang sangat istimewa. Orang dewasa lebih menguasai bahasa
daripada anak-anak, termasuk konsep-konsep yang dikomunikasikan melalui bahasa.
Meskipun begitu, anak-anak memiliki mata dan telinga yang lebih tajam untuk
dapat memahami teka-teki dan keganjilan. Karena masing-masing pihak memiliki
keunggulan sendiri, filsafat ini bisa menhadi proyek bersama; sesuatu yang
sangat jarang terjadi ketika orang dewasa berhadapan dengan anak-anak.
Aktifitas
berfilsafat, menurut Matthews sesungguhnya telah secara alamiah dimulai sejak
usia sangat dini, usia yang penuh keingintahuan yang tak terbendung. Inilah
titik awal yang sederhana, tetapi sangat penting bagi orang dewasa untuk
menikmati kembali filsafat yang umumnya terkesan rumit dan tidak membumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar