Rabu, 21 Desember 2011

Filsafat dan Sastra


Ridwan Pinat
 
MEN OF IDEAS
 
Dalam buku dengan judul diatas, Bryan Magee, berdialog dengan lima belas  filsuf
kontemporer dari berbagai  negara. Antara lain  dari Inggris, AS,  dan Perancis.
Dialog ini  mula-mula ditayangkan  melalui salah  satu saluran  televisi Inggris
beberapa tahun silam. Setelah diadakan sedikit perubahan di sana-sini,  terutama
penyesuaian dari bahasa lisan ke  bahasa tulisan agar dapat lebih  mudah dicerna
oleh orang awam, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan anak judul  'Some
Creators of Contemporary Philosophy'.
 
Melalui  prakata,  Magee  menegaskan  bahwa  penerbitan  dalam  bentuk  buku ini
terdorong oleh keinginan untuk memperkenalkan kepada masyarakat yang lebih  luas
beberapa wilayah yang menarik dalam aneka bidang filsafat. Pertanyaan-pertanyaan
seperti siapa tokoh filsafat yang menyandang nama besar, apa yang mereka lakukan
dan  kenapa  mereka  dianggap  besar,  apa  yang  dimaksudkan  dengan   filsafat
eksistensialisme, filsafat moral, filsafat politik, filsafat sains, dan filsafat
kesusastraan adalah  beberapa dari  seruntun pertanyaan  yang dijawab  oleh buku
itu. Berbagai  bidang filsafat  ini dikupas  dalam bentuk  diskusi, dan  menjadi
bacaan  yang  kian  menarik  karena  Bryan  Magee  memberi  penjelasan tambahan,
mengambil kesimpulan serta menyuguhkan latar belakang sejarah lapangan  filsafat
tertentu terutama filsafat Marxis, dan filsafat logika positif.
 
Bagi yang  ingin berkenalan  dengan filsafat,  pertanyaan paling  pertama muncul
dalam  pikiran mungkin  adalah: apakah  filsafat? Dan  justru memang  pertanyaan
filsafat yang  paling mendasar  inilah yang  diajukan oleh  Magee untuk  membuka
bagian pertama  dari lima  belas diskusi  yang dihimpunnya  ke dalam bentuk buku
yang diberinya judul 'Men of  Ideas'. Pertanyaan ini diserahkanya kepada  filsuf
Inggris, Sir  Isaiah Berlin  dari Oxford,  dan penulis  biografi Marx.   Diskusi
dengan Sir  Isaiah Berlin  yang diberi  judul 'Pengantar  ke Dalam Filsafat' ini
berkisar pada berbagai permasalahan yang mendasar dalam filsafat. Landasan titik
tolak  yang   diambil  oleh   filsafat  sebagaimana   secara  berlebar   panjang
dibentangkan  oleh  Isaiah  Berlin, kurang  lebih  dapat  kita simpulkan  dengan
mengatakan  bahwa  di  tengah perjuangan  mencari  pengetahuan  tentang manusia,
mereka pada umumnya mengajukan dua jenis pernyaan.
 
Pertama,  berbagai pertanyaan  mengenai dunia  semesta. Manusia  sepanjang masa
mencoba menemukan serta menguasai lingkungannya, atau menaklukkan lingkungannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang  menyangkut alam  semesta ini,  menurut Berlin, hanya
bisa terjawab pada akhirnya  dengan meninjau pertanyaan-pertanyaan itu  sendiri,
menyelidiki,  mengamati,  menguji,  melakukan  percobaan  terhadap  semesta  dan
seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan  itu bersifat  faktual, atau  sebagaimana yang
dikatakan oleh  para  filsuf:  bersifat  empiris.  Atau  jelasnya,  pertanyaan
pertanyaan yang berpaut dengan pengalaman.
 
Pertanyaan yang kedua  bersifat lebih  abstrak dan  formal. Misalnya  pertanyaan
pertanyaan dalam bidang matematika  atau logika. Pertanyaan jenis  ini berkaitan
dengan hubungan timbal-balik antara berbagai kesatuan dengan sistem formal,  dan
oleh karena itu tidak dapat  dijawab hanya dengan meninjau alam  semesta. Dengan
mengatakan hal ini, menurut  Berlin lagi, tidaklah dimaksudkan  bahwa pertanyaan
itu berada  pada jarak  yang jauh  dari perhatian  kita sehari-hari. Satu sistem
formal yang  sudah sangat  biasa kita  pakai dalam  kehidupan sehari-hari adalah
aritmatik.
 
Sistem  itu kita  pergunakan setiap  hari untuk  menghitung sesuatu,  menentukan
waktu, membilang uang  dan sebagainya. Suatu  sistem niskala memang  bisa sangat
berguna dan penting dalam  kehidupan praktis kita sehari-hari.  Dengan demikian,
terdapat  dua  golongan  besar  pertanyaan:  berbagai  pertanyaan  empiris  yang
melibatkan ikhtiar meninjau berbagai fakta dan pertanyaan-petanyaan formal  yang
melibatkan upaya menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Hampir  seluruh
pertanyaan, dan  karena itu  seluruh pengetahuan,  termasuk ke  dalam salah satu
dari golongan pertanyaan tadi. Namun tidaklah demikian halnya dengan pertanyaan
pertanyaan yang bersifat filosofis.  Hampir seluruh pertanyaan yang  menunjukkan
tanda-tanda pertanyaan filosofis tidak termasuk ke dalam dua golongan pertanyaan
tadi.
 
Pertanyaan seperti apakah yang dimaksudkan dengan hak, keindahan, dan  keadilan,
tidak dapat  sekadar dijawab  hanya dengan  meneliti ikatan  suatu sistem formal
atau meninjau fakta-fakta. Oleh sebab  itu kita tidak mengetahui apa  yang harus
diperbuat untuk menemukan jawabannya. Timbulnya pertanyaan yang menuntut jawaban
tanpa suatu pengertian yang jelas tentang bagaimana menemukan jawabannya  adalah
awal dari  langkah filsafat.  Anggapan keliru  yang terlanjur  meluas di  tengah
masyarakat adalah  perkiraan bahwa  filsafat dapat  memberikan petunjuk-petunjuk
moral tentang bagaimana semestinya  kehidupan ini harus dijalani,  atau berharap
bahwa filsafat dapat  menyodorkan penjelasan tantang  manusia dan alam  semesta,
tentang  rahasia   kehidupan.  Atau,   dengan  lain   perkataan,  orang  mencoba
menghampiri filsafat untuk menemukan jawaban-jawaban yang serba pasti.
 
Seorang filsuf memang bisa bicara tentang moral, tapi dalam hal ini kedudukannya
hanya sebagai penasehat filosofis. Bukanlah tugasnya untuk berkhotbah,  mengutuk
atau memuji, atau memberi berbagai petunjuk tentang bagaimana orang harus hidup.
Tugas  seorang  filsuf,  menurut Berlin,  hanyalah  menempatkan  arah dari  satu
tindakan dalam  hubungan moralnya.  Menentukan posisinya  berdasarkan suatu peta
moral, menguhubungakan sifat, motif, tujuannya pada kaitan seluk-beluk nilai  ke
dalam mana tindakan  itu tergolong. Menarik  garis dari berbagai  akibatnya yang
mungkin  terjadi  serta  berbagai  implikasinya  yang  berpautan  atau  relevan,
memberikan  berbagai   argumen  yang   pro  atau   menentangnya  dengan  seluruh
pengetahuan, pengertian, kecakapan logika dan kedalaman moral yang dimiliki oleh
sang filsuf.
 
Dengan  demikian,  maka  ia telah  menjalankan  tugasnya  bukan sebagai  seorang
pengkhotbah  atau  juru  mudi  kehidupan,  melainkan  sekadar  sebagai   seorang
penasehat filosofis. Seorang filsuf tidak dapat berbuat lebih jauh dari itu atau
melampaui batas tugasnya sebagai seorang penasehat filosofis.
 
Berpijak  pada pandangan  tadi, Berlin  menyuarakan keberatannya  pada sebagian
besar filsuf  moral dan  politik, mulai  dari Plato  dan Aristoteles sampai pada
Immanuel Kant, Stuart  Mill, Moore, serta  kebanyakan para pemikir  kontemporer.
Menurut  Berlin,  para filsuf  itu  justru berbuat  sebaliknya.  Mereka berusaha
mengajarkan  bagaimana   membedakan  antara   yang  buruk   dengan  yang   baik,
menganjurkan  penerapan  pola-pola yang  benar  ke dalam  tingkah  laku manusia.
Kendati demikian, diakui pula oleh Berlin bahwa filsafat mengemban tugas  ganda:
menyelidiki, khususnya mengecam pra-anggapan atas ketentuan-ketentuan nilai yang
ditetapkan  atau  dirumuskan  oleh  manusia  dengan  pikiran  maupun tindakanya.
Sedangkan tugas  lain adalah  menampung atau  melayani berbagai  pertanyaan yang
tidak termasuk baik  ke dalam golongan  formal maupun ke  dalam golongan empiris
yang telah disinggung dipermulaan tadi.
 
Buku  yang  diawali dengan  memperkenalkan  filsafat melalui  dialog  dengan Sir
Isaiah Berlin  itu, kemudian  beranjak menelusuri  berbagai pokok  pikiran dalam
banyak lapangan filsafat lainya.  Filsafat Marxis misalnya, dibicarakan  melalui
dialog  dengan  Charles  Taylor  dari  All  Souls  College,  Oxford.    Filsafat
eksistensialisme moderen  yang dikatakan  lahir sebagai  akibat pecahnya  perang
dunia II, yang diduga bermula di Perancis. Tetapi sebenarnya berawal di  Jerman.
Tokohnya bukan  Jean Paul  Sartre melainkan  Heiderger. Ini  dibicarakan melalui
diskusi  dengan  William  Barret,  seorang guru  besar  filsafat  pada  New York
University, pengarang  buku terkenal  'Irrational Man'.   Filsafat moral dibahas
dalam tanya jawab dengan Prof. R.M. Hare.
 
Namun yang ingin  dibicarakan di sini  secara lebih panjang  lebar adalah bagian
terakhir  itu: dialog  Magee dengan  Iris Murdoch,  seorang filsuf  dan novelis
berdarah Irlandia terkenal yang  telah memperkaya khasanah kesusastraan  Inggris
kontemprorer dengan  sejumlah novelnya,  dan seperti  Salman Rushdie,  ia pernah
pula meraih hadiah  sastra prestisius: 'Booker's  Prize'. Beberapa filsuf  besar
memang sekaligus pula  pengarang besar atau  pujangga besar. Mereka  juga banyak
menetaskan buku-buku  kesusastraan. Contoh  yang paling  jelas adalah  Plato, St
Augustine,  dan   Schopenhaeur.  Sejumlah   nama-nama  besar   lain  juga  dapat
dikatambahkan dalam kaitan ini seperti Nietzsche, Descartes, Berkeley dan  Hume.
Dan yang muncul abad ini: Bertrand Russel, serta Jean Paul Sartre. Kedua  filsuf
yang  disebut  terakhir  ini  bahkan  berhasil  memenangkan  hadiah  Nobel dalam
kesusastraan. Begitupun,  Magee berpendapat  bahwa kesusastraan  tidaklah begitu
saja dapat dianggap sebagai cabang dari filsafat. Kalau seorang filsuf  berhasil
menciptakan karya  sastra yang  baik, ini  merupakan satu  kelebihan baginya. Ia
menjadi tumpuan perhatian yang lebih menarik untuk dikaji.
 
Namun keberhasilannya mencipta karya sastra yang baik tidaklah dengan sendirinya
membuatnya menjadi seorang filsuf yang baik. Karena kwalitas serta arti  penting
filsafat bukan diperhitungkan berdasarkan nilai-nilai sastra atau estetika.  Hal
ini agaknya memang perlu ditekankan  karena dalam beberapa segi antara  filsafat
dengan  kesusastraan,  dua  bidang yang  sama  sekali  berbeda, ternyata  memang
seringkali mengalami tumpang  tindih. Orang mencampur-baurkannya  sehingga tidak
terlihat  lagi perbedaan  antara keduanya.   Dan masalah  inilah yang  menguasai
diskusi Bryan Magee dengan Iris Murdoch, seorang yang seperti sudah  dikemukakan
tadi, menyandang predikat filsuf yang sekaligus juga novelis internasional  yang
produktif. Sayang ia telah berpulang belum lama berselang.
 
Pada  bagian  diskusi  pertama  dibicarakan  perbedaan  antara  filsafat  dengan
kesusastraan.   Di  bagian   kedua  didiskusikan   ide-ide  filosofis   mengenai
kesusastraan, dan di  bagian terakhir kedua  tokoh tadi membahas  filsafat dalam
kesusastraan.
 
Menurut Iris Murdoch, filsafat  bertujuan memperjelas dan menerangkan,  filsafat
mencoba memecahkan  persoalan-persoalan yang  sulit dan  sangat teknis sifatnya.
Penulisan filsafat harus  dengan patuh berangkat  menuju tujuan itu.   Sedangkan
kesusastraan adalah satu seni. Satu  segi dari suatu bentuk seni.   Kesusastraan
mengemban   tujuan-tujuan   kesenian.   Kesusastraan   merupakan   satu   bentuk
pengungkapan  diri, sementara  filsafat tidak  demikian halnya.  Filsafat tidak
menuju  pada  satu bentuk  penyempurnaan  formal demi  kepentingan  filsafat itu
sendiri, padahal kesusastraan bergelut dalam permasalahan kompleks dalam  bentuk
estetika.  Kesusastraan mencoba  menghasilkan suatu  macam penyelesaian.   Karya
sastra   berusaha  menciptakan   ilusi,  sementara   filsafat  justru   berjuang
melenyapkan  ilusi. Karya  sastra adalah  karya seni,  sementara karya  filsafat
adalah sesuatu yang lain.
 
Memang  ada, tutur  Murdoch, tetapi  sangat jarang,  karya filsafat  yang dapat
sekaligus  dinilai  sebagai karya  sastra  atau seni  seperti  'Symposium' karya
Plato. Ditegaskan pula olehnya bahwa adalah dalam kaitannya dengan bagian  karya
filsafat  Plato yang  lain, 'Symposium'  dapat dinilai  sebagai satu  pernyataan
filsafat. Banyak pemikir besar yang sekaligus juga pengarang besar, namun mereka
tidak bisa  disebut filsuf.  Contoh yang  dikemukakan Iris  Murdoch adalah Soren
Kierkergard  dan  Nietzsche, dua  tokoh  yang oleh  Dr  Fuad Hassan  dalam  buku
'Berkenalan dengan Existensialisme'  terbitan Universitas Indonesia  dibicarakan
sebagai filsuf Existensialist.
 
Kendati  Murdoch  berpendapat  bahwa  kesusastraan  dan  filsafat  merupakan dua
lapangan yang berlainan,  namun ia sendiri  ternyata tidak mampu  mendefinisikan
apa  sebenarnya  yang  dimaksud  dengan  kesusastraan.  Walaupun  demikian,   ia
mengatakan  orang  secara  kasar  memahami  apa  yang  diartikan  dengan istilah
kesusastraan. Kesusastaran adalah bentuk seni yang menggunakan medium kata-kata.
Karya  jurnalistik karena  itu juga  dapat dinilai  sebagai karya  kesusastraan.
Tulisan ilmiah juga bisa  dianggap sebagai karyaa sastra.  Kesusastraan, menurut
Murdoch, beragam bentuknya dan amat luas. Filsafat dinilainya sempit dan  sulit.
Begitupun,  Murdoch  menandaskan  bahwa filsafat  bukan  suatu  jenis pencapaian
sainstifik.  Filsafat  menggoncangkan konsep-konsep  semi-estetis  terhadap mana
kita umumnya bergantung. Dan katanya  pula, siapa saja yang mengandalkan  sains,
akan tersingkir ke luar wilayah filsafat. Filsafat adalah upaya untuk  mengamati
berbagai konsep  yang paling  umum dan  mendalam. Bukanlah  ikhtiar yang gampang
mengajak orang untuk dapat melihat tahap di mana filsafat melakukan operasinya.
 
Meskipun Iris Murdoch bisa menerima filsafat dan kesusastraan sebagai dua bidang
yang berlainan, namun ia juga  mengakui bahwa terdapat pula persamaan  di antara
keduanya. Filsafat dan kesusastraan, kata Murdoch, adalah pencari kebenaran  dan
berupaya  mengungkapkan  kebenaran. Keduanya  merupakan  kegiatan yang  disadari
serta dilandaskan pada pengertian,  atau bersifat kognitif. Kesusastraan  adalah
aktivitas imajinatif,  begitu juga  halnya dengan  filsafat. Tetapi  pertanyaan
pertanyaan yang  dikejar oleh  filsafat secara  keseluruhan tidak  serupa dengan
pertanyaan-pertanyaan kongkrit yang ingin digapai oleh kesusastraan.
 
Berbagai  metoda  yang  diterapkan,  serta  suasana  yang  melingkupi  filsafat,
sebagaimana  pada sains,  berusaha menangkis  berbagai godaan  fantasi pribadi,
sementara imajinasi kreatif serta fantasi amat erat dan merupakan kekuatan  yang
tidak dapat  dielakkan oleh  seorang pencipta  karya sastra.  Filsuf wanita  itu
menilai bahwa hasrat untuk mengungkapkan diri, untuk memperjelas dan  menentukan
nilai diri,  merupakan motivasi  yang kuat  untuk berkarya.  Dalam hal  ini yang
dimaksudkan Murdoch adalah karya sastra.  Karena itu ia berpendapat bahwa  lebih
menyenangkan untuk  menjadi seorang  seniman daripada  berusaha menjadi  seorang
filsuf.
 
Sastra  bisa  dianggap  satu  tehnik  disiplin  untuk  membangkitkan emosi-emosi
tertentu,  termasuk emosi-emosi  yang merangsang  sensasi khayalan  dan sensasi
fisik. Sebagian besar wujud kesenian, kata Murdoch, dikaitkan dengan sex, sengan
berbagai fantasi yang  tidak baik. Yang  ia maksudkan dengan  fantasi tidak baik
itu adalah fantasi yang mengundang imaji pornografis, menimbulkan  bentuk-bentuk
pemanjaan diri sendiri dan yang biasanya menghasilkan berbagai nilai yang  salah
seperti pemujaan pada kekuasaan, status dan kekayaan.  Dengan alasan ini pulalah
sementara filsuf berbalik memusuhi seni. Bahkan melalui salah satu bukunya  yang
berjudul 'The Fire  and The Sun',  Iris Murdoch secara  khusus berbicara tentang
sikap permusuhan Plato terhadap seni, padahal Plato sendiri dalam karya-karyanya
justru  sering  menggunakan  bentuk-bentuk seni.  Atau  seperti  dikatakan Bryan
Magee, jelas terlihat banyak bentuk seni dalam karya-karya Plato. Lantas  kenapa
Plato,  sebagaimana  yang  dinilai oleh  Murdoch,  bukan  hanya bapak  filsafat,
melainkan  juga  seorang  filsuf  terbaik,  justru  mengambil  sikap  bermusuhan
terhadap seni?
 
Dari  titik  tolak  pertanyaan  itulah  Murdoch  kemudian  berangkat menguraikan
teorinya  mengenai  pandangan filsafat  terhadap  kesusastraan. Sebagai  seorang
pakar teori politik, kata Murdoch, Plato takut terhadap kekuatan emosional  yang
irrasional  dalam  seni.  Kekuatan untuk  menyebarkan  berbagai  kebohongan yang
menarik atau kebenaran-kebenaran subversif. Plato menyepakati sensor yang  keras
serta pembasmian para pengarang lakon  sandiwara. Plato taat pada agama,  dan ia
merasa bahwa  seni memusuhi  agama dan  filsafat. Seni  menurut Plato  merupakan
suatu pengganti yang egoistis bagi  disiplin agama. Kenyataan bahwa karya  Plato
sendiri merupakan karya seni yang besar adalah dalam pengertian bahwa ia sendiri
secara  teoritis tidak  mengakuinya. Dikatakannya,  terdapat pertenggkaran  yang
sudah berlangsung lama antara filsafat dengan puisi. Dan kita harus ingat, tutur
Murdoch, pada  masa Plato  filsafat baru  saja muncul  atau lahir  dari berbagai
bentuk puisi dan spekulasi teologis.  Filsafat memang mengalami kemajuan  dengan
membatasi dirinya  sebagai sesuatu  yang tersendiri.  Pada masa  Plato, filsafat
memisahkan diri dari kesusastraan. Pada abad ketujuh belas memisahkan diri  ilmu
alam. Pada abad  kedua puluh memisahka  diri dari psychologi.  Plato berpendapat
seni  adalah  usaha meniru,  tetapi  peniruan yang  buruk.  Murdoch berpendapat,
memang benar  bahwa lebih  banyak seni  yang buruk  daripada seni  yang bagus di
sekitar kita.   Dan Ironisnya  orang justru  lebih menyukai  seni yang buruk itu
daripada yang baik. Plato berkeyakinan bahwa seni pada hakikatnya adalah fantasi
pribadi, suatu bentuk  perayaan terhadap hal-hal  tanpa nilai atau  suatu bentuk
penyelewengan dari hal-hal yang baik.
 
Selanjutnya  Murdoch   mengatakan  bahwa   Plato  menilai   seni  sebagai  usaha
penjiplakan yang  remeh terhadap  obyek tertentu  tanpa mengandung  arti penting
umum. Pendapat  Plato ini  menurut Murdoch  tidaklah secara  keseluruhan berbeda
dengan  pandangan Bapak  psikologi, Sigmund  Freud. Freud  menilai seni  sebagai
fantasi seorang seniman  yang berbicara langsung  kepada fantasi penikmat  karya
seninya. Seni  dalam pandangan  Freud adalah  satu bentuk  hiburan pribadi, satu
jembatan untuk  memperoleh kepuasan  yang tidak  sempat didapat  dalam kehidupan
nyata. Oleh  karena itu,  kata Murdoch,  kita bisa  menyaksikan bagaimana sebuah
cerita  menegangkan atau  filem yang  sentimental dengan  mudah bisa  merangsang
fantasi  pribadi  para  pembaca atau  penonton.  Pornografi  adalah contoh  yang
ekstrim dari seni tersebut.
 
Namun dipertanyakan oleh  Bryan Maggee apakah  kritik semacam itu  hanya berlaku
untuk  seni  yang  buruk.  Bagaimana  halnya  dengan  seni  yang  baik? Menjawab
pertanyaan ini, Iris  Murdoch mengatakan bahwa  seorang penikmat seni  bisa saja
menggunakan hasil  seni untuk  melayani tujuannya  sendiri, dan  hanya seni yang
bagus  sanggup  menolak tujuan-tujuan  yang  tidak baik  dengan  lebih berhasil.
Maksudnya seseorang mungkin saja mengunjungi satu galeri hanya untuk menyaksikan
citra  (image) yang  pornografis, padahal  karya seni  yang dipamerkan  di sana
barangkali tidak semuanya  bisa menimbulkan citra  pornografis. Dan karena  itu,
kemungkinan suatu karya seni ditafsirkan secara tidak baik bukanlah sesuatu yang
mustahil terjadi. Murdoch secara tegas menolak pornografi. Ditandaskannya  bahwa
pornografi mendatangkan akibat yang  benar-benar merusak dan memerosotkan  nilai
seni. Dan disayangkannya pula bahwa lebih banyak orang justru menyukai,  seperti
yang dikatakannya sendiri, karya seni picisan itu.
 
Lalu karya  seni bagaimana  yang dinilai  baik oleh  Murdoch? Saya kira, katanya
menerangkan, karya seni yang baik  adalah karya seni yang mengandung  imajinasi,
bukan  fantasi.  Karya  itu hendaknya  mampu  mematahkan  kebiasaaan kita  untuk
berfantasi, dan  sekaligus mendorong  kita berusaha  untuk mendapatkan pandangan
yang benar tentang hidup dan  kehidupan. Kita seringkali tidak berhasil  melihat
kenyataan dunia  yang luas  ini, karena  pandangan kita  dibutakan oleh  obsesi,
kekhawatiran, rasa iri,  kejengkelan dan ketakutan.  Kita membangun dunia  kecil
kita untuk diri kita sendiri, dan kita terkungkung di dalamnya. Seni yang bagus,
karya seni  yang besar,  kata filsuf  wanita itu  pula, adalah  karya seni  yang
bersifat  membebaskan,  yang  memungkinkan kita  untuk  melihat  dan mendapatkan
kesenangan dari sesuatu yang bukan melulu kupuasan kita akan diri kita  sendiri.
Karya  sastra  yang  baik,  tambah Murdoch,  adalah  karya  sastra  yang sanggup
mendorong serta memuaskan rasa ingin tahu kita, yang mampu membuat kita  menaruh
perhatian kepada  orang lain  serta masalah-masalah  lain, yang  sanggup membuat
kita  bertenggang  rasa  dan  lapang  dada.  Dikatakannya  pula,  bahwa   dengan
berpandangan demikian, bukan berarti dirinya hanya menilai seni semata-mata dari
sudut  pendidikan serta  faedahnya saja.  Seni lebih  luas dari  gagasan-gagasan
sempit  seperti itu,  tegas Murdoch.  Plato setidaknya  juga berpendapat  betapa
pentingnya seni itu  dalam kehidupan manusia.  Dan Plato sekaligus  mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan yang menarik tentang itu.
 
Iris  Murdoch  menilai  para  filsuf  secara  keseluruhan  tidak sungguh-sungguh
berusaha menulis dengan baik tentang seni karena mereka menganggap seni  sebagai
masalah kecil. Dalam pada itu Magee berpandapat bahwa tidak seperti hampir semua
filsuf lainnya,  filsuf Perancis  Shopenhauer menilai  seni sebagai  titik pusat
kehidupan manusia, dan sang filsuf  berbicara secara mendalam mengenai hal  itu.
Memang benar, kata Murdoch, Schopenhaeur memang bertikai pendapat dengan  Plato.
Ia bahkan memutar  balik pandangan Plato  tentang seni. Schopenhaeur  mengatakan
bahwa seni menguakkan cadar  atau kabut subyektivitas, menangkap  arus pancaroba
kehidupan, dan membuat kita bisa melihat dunia nyata serta menghayati keindahan.
Ia menilai seni sebagai kegiatan kecendekiaan, aktivitas moral yang tinggi, satu
usaha untuk  mengatasi diri  dan melihat  dunia. Sekalipun  demikian, ditegaskan
oleh  Murdoch bahwa  Schopenhauer hanyalah  satu perkecualian  di kalangan  para
filsuf yang benar-benar mencintai dan menghargai seni.
 
Dan untungnya,  ujar Murdoch,  seniman tidak  terlalu banyak  memperhatikan para
filsuf. Filsafat terkadang bisa merusak  seni. Filsafat bisa membuat orang  buta
terhadap beberapa  jenis seni,  atau hanya  mampu menghasilkan  jenis-jenis seni
tertentu. Pendapat Murdoch  ini dikuatkan oleh  Bryan Magee dengan  mengemukakan
contoh  justru di  dunia moderen.  Di antara  filsafat yang  merusak seni,  kata
Magee, adalah Marxisme. Menurut teori Marxis, seni memiliki satu peranan khusus,
yakni menjadi alat atau instrumen dari revolusi sosial.  Semua hasil seni Marxis
itu, seperti dalam bentuk novel,  sandiwara, lukisan, seni rupa dan  sebagainya,
dinilai Magee sebagai sampah. Alasannya, penciptaan seni Marxis itu sama  sekali
tidak digerakkan oleh dorongan seni yang murni.
 
Dalam  pada itu  Murdoch menolak  anggapan bahwa  tugas seorang  seniman adalah
melayani  atau mengabdi  kepada masyarakat.  Marxis, kata  Murdoch, beranggapan
demikian:   tugas   seorang  seniman   mengabdi   kepada  masyarakat,   meskipun
dikatakannya pula sudah lama timbul pertikaian pendapat mengenai hal itu. Segera
setelah seorang pengarang  berkata kepada dirinya  sendiri, kata Murdoch,  bahwa
saya  harus  mengubah  masyarakat  melalui  tulisan-tulisan  saya,  maka   besar
kemungkinan pengarang  itu akan  merusak karya-karyanya.  Tapi apakah pernyataan
Murdoch yang terakhir ini bisa  berlaku untuk Charles Dickens misalnya?  Charles
Dickens salah seorang pengarang  besar Inggris dengan tujuan-tujuan  sosial yang
murni. Ia  tidak  diragukan  lagi telah  berhasil  mendatangkan,  melalui karya
karyanya,  pengaruh sosial  yang luas.  Dickens, kata  Murdoch, memang  berhasil
berbuat banyak hal. Ia misalnya berhasil sebagai pengarang besar yang imajinatif
dan seorang  kritikus sosial  yang kukuh  dan lantang.  Namun hal ini disebabkan
oleh karena adanya berbagai skandal dalam masyarakat. Dickens sangat berhubungan
erat dengan kegaduhan serta perubahan sosial yang secara amat mendalam  menjerat
imajinasinya.  Dickens menjadi  pengarang besar berkat  kemampuannya menciptakan
perwatakan  para  pelakunya,  di samping  karena  kedahsyatan  imajinasinya yang
sedikit saja berkaitan dengan pembaharuan atau perubahan sosial.
 
Dengan  mengatakan itu,  Murdoch tetap  berkeras untuk  tidak beranggapan  bahwa
seniman, atau sentengah seniman, mengemban satu tugas besar terhadap masyarakat.
Seorang warga negara memang memikul tugas kemasyarakatan, dan seorang  pengarang
memang mungkin kadang-kadang  merasa punya keharusan  menulis sebuah artikel  di
surat kabar untuk membujuk atau meyakinkan masyarakat, namun itu merupakan  satu
kegiatan  yang  lain sifatnya.  Kewajiban  seorang seniman  adalah  kepada seni,
mengungkapkan kebenaran melalui media seni yang dipilihnya. Tugas utama  seorang
pengarang adalah menciptakan karya-karya sastra sebaik yang dapat  dilakukannya,
dan ia harus berusaha untuk dapat melaksanakanya. Sebuah karya teater yang penuh
propaganda  dan bersikap  acuh tak  acuh terhadap  seni, mengandung  kemungkinan
menjadi sebuah pernyataan yang  menyesatkan, walaupun karya teater  itu diilhami
oleh sekian  prinsip yang  baik. Apabila  seni yang  betul-betul seni  dijadikan
sebagai tujuan, kata Murdoch lebih lanjut, maka keadilanlah yang harus dijadikan
tujuan utama.
 
Sebuah  tema  sosial yang  ditampilkan  melalui satu  bentuk  karya seni,  besar
kemungkinan  akan  menjadi lebih  jelas  ditangkap maksudnya  walaupun  tema itu
barangkali  kurang mengandung  daya untuk  meyakinkan masyarakat.  Dan seniman,
sembarang  seniman, boleh  saja secara  sambil lalu  melayani masyarakat  dengan
mengungkapkan  hal-hal yang  tidak diperhatikan  atau difahami  oleh masyarakat
tersebut. Dalam setiap masyarakat,  kata Murdoch, terdapat propaganda,  memiliki
kemungkinan-kemungkinan   propaganda,   sehingga   kemampuan   untuk  membedakan
propaganda ini, termasuk usaha melestarikan kesucian serta kemandirian penerapan
praktek-praktek seni adalah penting sekali. Satu masyarakat yang baik,  demikian
Murdoch, adalah masyarakat di mana  para senimannya bisa melakukan berbagai  hal
yang berlainan. Masyarakat yang buruk, adalah masyarakat yang menindas kebebasan
seniman karena  masyarakat itu  tahu bahwa  seniman bisa  mengungkapkan berbagai
kebenaran.




 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar